Gempa berkekuatan 6,1 SR yang terjadi kemarin siang tak hanya melahirkan kepanikan, namun juga sejumlah hoaks yang disebar entah apa tujuannya. Hingga Selasa malam (23/1), setidaknya ada tiga kabar bohong yang menyamar sebagai informasi sungguhan, seperti video truk dan mobil goyang serta foto jalan retak.
Sebaran hoaks di tengah bencana terasa begitu menyebalkan dibanding sebaran hoaks di sela-sela pertarungan politik pemilu. Peneliti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Levy Abubakar menjelaskan, pada era-era awal terbentuknya pola penyebaran informasi palsu, para penyebar hoaks biasanya berkutat pada topik seputar politik.
Perkembangan teknologi informasi membawa perubahan dalam pola sebaran hoaks. Kini, media mainstream yang memiliki kredibilitas pun kerap terlibat sebagai agen penyebar hoaks. ntah disengaja atau tidak. Yang jelas, sebagaimana teori awal sebaran hoaks, lagi-lagi media massa mainstream yang kerap menyebar hoaks biasanya memiliki keterkaitan kuat dengan kekuasaan. Menurut Levy, sebaran hoaks melalui media mainstream jauh lebih berbahaya, lantaran media mainstream biasanya lebih dipercaya dengan embel-embel kredibilitasnya. Meski begitu, tak selamanya media mainstream sengaja menyebar hoaks untuk kepentingan tertentu. Dalam konteks peristiwa atau bencana alam, biasanya media mainstream ikut terjebak sebagai penyebar hoaks karena tuntutan persaingan aktualitas.
(GFD-2018-2394) [BERITA] “Sebaran Hoaks di Tengah Kepanikan Bencana”
Sumber: Media DaringTanggal publish: 24/01/2018