Sebuah video yang beredar di WhatsApp arsip, Instagram, Tiktok, dan Facebook berisi klaim bahwa sosis babi dapat menyebarnya virus babi ke manusia.
Dalam video tersebut, terlihat pabrik pengolahan daging babi dari proses pemotongan hingga pemanfaatan semua organ dari tubuh babi yang dimanfaatkan menjadi makanan olahan sosis.
Pembaca Tempo meminta untuk memeriksa klaim tersebut. Benarkah virus babi disebabkan karena sosis yang dibuat dari babi?
(GFD-2025-25734) Sebagian Benar: Industri Sosis Babi Berpotensi Sebarkan Virus Babi pada Manusia
Sumber:Tanggal publish: 05/02/2025
Berita
Hasil Cek Fakta
Epidemiolog asal Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan ada beberapa jenis virus dan bakteri yang bisa ditemukan pada babi dan memiliki potensi menular ke manusia. Antara lain, virus Hepatitis E yang bisa ditularkan melalui konsumsi daging babi yang kurang matang.
Ada juga virus Nipah yang lebih sering ditularkan lewat kontak dengan sekresi babi yang terinfeksi. Kemudian, jenis streptococcus swis, jenis bakteri yang bisa menyebabkan meningitis, sepsis, infeksi virus lainnya yang menular jika berkontak langsung dengan babi atau konsumsi daging babi yang tidak matang.
Berikutnya adalah flu babi, penyakit pernapasan yang disebabkan virus influenza tipe A yang umum ditemukan pada babi. Strain yang paling dikenal adalah H1N1 yang bisa ditularkan dari babi ke manusia melalui kontak langsung dengan babi yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi oleh sekresi pernapasan si babi atau beberapa kasus terjadi penularan dari manusia ke manusia.
“Namun virus ini tidak menular melalui konsumsi daging babi atau produk olahannya, jika dimasak dengan suhu di atas 70 derajat Celcius,” kata Dicky, Selasa, 4 Februari 2025.
Menurut Dicky, tidak semua produk dari babi beresiko menularkan penyakit. Hal itu sangat bergantung pada proses pengolahan mulai dari tingkat suhu dan bagian tubuh yang dikonsumsi. “Jika yang dikonsumsi adalah organ dalam seperti hati atau usus, akan jauh lebih beresiko bagi kesehatan,” kata Dicky.
Pengolahan Sosis dari Hewan Ternak Hidup Tidak Lazim
Mengolah daging seperti sapi dan babi dari keadaan hidup, adalah proses teknologi pangan yang tidak lazim. Hal ini diungkapkan oleh Dosen Fakultas Teknobiologi program kekhususan Bionutrisi dan Inovasi Pangan Universitas Surabaya, Christina Mumpuni Erawati, STP, M.Si.
“Video itu kayaknya dipotong dan (bagian prosesnya) dipercepat, ya,” ujarnya saat dihubungi Tempo.
Pada umumnya, kata Christina, pengolahan daging hewan menjadi sosis harus lolos dari aspek higienitas, sanitasi, hingga Good Manufacturing Process (GMP) sejak masih berupa bahan baku asalnya. Termasuk keadaan hewan yang akan dipotong tidak boleh dalam keadaan stres. “Kalau stres, banyak glikogen yang hilang, warna menghitam, kualitas daging jadi turun. Dagingnya nanti alot atau keras.”
Agar tidak stres, hewan yang akan dipotong biasanya didatangkan pada malam hari. Kemudian diletakkan di ruangan terlebih dahulu dengan pencahayaan biru. Setelah dipotong, hewan yang mati harus didiamkan karena perlu melewati fase rigor mortis, yakni kondisi otot-otot yang menegang akibat kekurangan energi. Dikutip dari BeefResearch.org, rigor mortis pada karkas sapi terjadi antara 6 dan 12 jam setelah penyembelihan dan selesai selama karkas berada di kotak panas.
“Karena fase rigor mortis pada sapi atau babi itu lama, perusahaan pengolah sosis biasanya pakai bahan baku berupa frozen meat atau daging beku,” kata Christina.
Sedangkan ayam memiliki fase rigor mortis yang lebih cepat, sehingga proses pengolahan menjadi produk sosis dari tahap pemotongan bisa dilakukan sejak ternak masih dalam keadaan hidup. Setelah dipotong, diambil jeroan, dibilas, lalu diambil kepala dan kaki yang disebut karkas ayam. Usai pemotongan per bagian, karkas ayam didistribusikan dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ke pabrik pengolahan sosis.
“Di pabrik nanti di-fillet atau dihilangkan kulit dan tulangnya. Sama seperti di video, dagingnya dihancurkan atau digiling sampai halus,” imbuh Christina.
Tentang Sosis Babi Cina
Sebelumnya, kekhawatiran terhadap virus yang terkandung dalam sosis babi asal Cina mengemuka sejak negara tersebut terjadi demam babi Afrika pada 2018. Demam Babi Afrika (ASF) adalah penyakit virus yang menyerang babi domestik dan liar. Penyakit ini sangat menular dan mematikan bagi babi, namun tidak menular ke manusia.
Saat itu, Straits Times edisi 24 Oktober 2018 memberitakan bahwa otoritas Jepang menemukan 1,5 kg sosis yang terinfeksi virus di dalam koper seorang turis Tiongkok di sebuah bandara di Hokkaido.
Demam babi Afrika menyebar di Tiongkok sejak Juli 2018 yang saat itu diprediksi dapat menghancurkan industri daging babi Cina yang bernilai US$128 miliar (S$176 miliar).
Demam babi menjadi masalah karena virus dapat bertahan hidup selama lebih dari setahun dalam produk seperti ham kering. Jika sisa daging babi yang terinfeksi masuk ke pakan babi, akan mengancam babi-babi lain yang bersentuhan.
Hal itu membuat negara-negara di seluruh kawasan berupaya untuk melindungi peternakan babi mereka sendiri, seperti di Jepang. Kementerian Pertanian Jepang melarang mereka yang terlibat di industri tersebut agar tidak bepergian ke luar negeri, serta memberlakukan tindakan karantina yang lebih ketat di seluruh negeri.
Selain karena virus, Otoritas kesehatan Hongkong juga pernah memperingatkan mengenai risiko konsumsi sosis berlebihan asal Cina pada kesehatan. Dari 30 sampel produk sosis asal Cina yang diuji oleh Dewan Konsumen Hongkong menemukan semuanya mengandung kadar sodium dan 80 persen kadar gula yang tinggi.
Semua sampel mengandung kandungan natrium berkisar antara 1.258,5 hingga 1.971 miligram per 100 g, atau satu hingga 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan standar dari Pusat Keamanan Pangan yaitu 600 mg. Lebih dari 80 persen sampel memiliki kadar gula lebih tinggi dari 15 gram gula per 100 gram.
Ada juga virus Nipah yang lebih sering ditularkan lewat kontak dengan sekresi babi yang terinfeksi. Kemudian, jenis streptococcus swis, jenis bakteri yang bisa menyebabkan meningitis, sepsis, infeksi virus lainnya yang menular jika berkontak langsung dengan babi atau konsumsi daging babi yang tidak matang.
Berikutnya adalah flu babi, penyakit pernapasan yang disebabkan virus influenza tipe A yang umum ditemukan pada babi. Strain yang paling dikenal adalah H1N1 yang bisa ditularkan dari babi ke manusia melalui kontak langsung dengan babi yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi oleh sekresi pernapasan si babi atau beberapa kasus terjadi penularan dari manusia ke manusia.
“Namun virus ini tidak menular melalui konsumsi daging babi atau produk olahannya, jika dimasak dengan suhu di atas 70 derajat Celcius,” kata Dicky, Selasa, 4 Februari 2025.
Menurut Dicky, tidak semua produk dari babi beresiko menularkan penyakit. Hal itu sangat bergantung pada proses pengolahan mulai dari tingkat suhu dan bagian tubuh yang dikonsumsi. “Jika yang dikonsumsi adalah organ dalam seperti hati atau usus, akan jauh lebih beresiko bagi kesehatan,” kata Dicky.
Pengolahan Sosis dari Hewan Ternak Hidup Tidak Lazim
Mengolah daging seperti sapi dan babi dari keadaan hidup, adalah proses teknologi pangan yang tidak lazim. Hal ini diungkapkan oleh Dosen Fakultas Teknobiologi program kekhususan Bionutrisi dan Inovasi Pangan Universitas Surabaya, Christina Mumpuni Erawati, STP, M.Si.
“Video itu kayaknya dipotong dan (bagian prosesnya) dipercepat, ya,” ujarnya saat dihubungi Tempo.
Pada umumnya, kata Christina, pengolahan daging hewan menjadi sosis harus lolos dari aspek higienitas, sanitasi, hingga Good Manufacturing Process (GMP) sejak masih berupa bahan baku asalnya. Termasuk keadaan hewan yang akan dipotong tidak boleh dalam keadaan stres. “Kalau stres, banyak glikogen yang hilang, warna menghitam, kualitas daging jadi turun. Dagingnya nanti alot atau keras.”
Agar tidak stres, hewan yang akan dipotong biasanya didatangkan pada malam hari. Kemudian diletakkan di ruangan terlebih dahulu dengan pencahayaan biru. Setelah dipotong, hewan yang mati harus didiamkan karena perlu melewati fase rigor mortis, yakni kondisi otot-otot yang menegang akibat kekurangan energi. Dikutip dari BeefResearch.org, rigor mortis pada karkas sapi terjadi antara 6 dan 12 jam setelah penyembelihan dan selesai selama karkas berada di kotak panas.
“Karena fase rigor mortis pada sapi atau babi itu lama, perusahaan pengolah sosis biasanya pakai bahan baku berupa frozen meat atau daging beku,” kata Christina.
Sedangkan ayam memiliki fase rigor mortis yang lebih cepat, sehingga proses pengolahan menjadi produk sosis dari tahap pemotongan bisa dilakukan sejak ternak masih dalam keadaan hidup. Setelah dipotong, diambil jeroan, dibilas, lalu diambil kepala dan kaki yang disebut karkas ayam. Usai pemotongan per bagian, karkas ayam didistribusikan dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ke pabrik pengolahan sosis.
“Di pabrik nanti di-fillet atau dihilangkan kulit dan tulangnya. Sama seperti di video, dagingnya dihancurkan atau digiling sampai halus,” imbuh Christina.
Tentang Sosis Babi Cina
Sebelumnya, kekhawatiran terhadap virus yang terkandung dalam sosis babi asal Cina mengemuka sejak negara tersebut terjadi demam babi Afrika pada 2018. Demam Babi Afrika (ASF) adalah penyakit virus yang menyerang babi domestik dan liar. Penyakit ini sangat menular dan mematikan bagi babi, namun tidak menular ke manusia.
Saat itu, Straits Times edisi 24 Oktober 2018 memberitakan bahwa otoritas Jepang menemukan 1,5 kg sosis yang terinfeksi virus di dalam koper seorang turis Tiongkok di sebuah bandara di Hokkaido.
Demam babi Afrika menyebar di Tiongkok sejak Juli 2018 yang saat itu diprediksi dapat menghancurkan industri daging babi Cina yang bernilai US$128 miliar (S$176 miliar).
Demam babi menjadi masalah karena virus dapat bertahan hidup selama lebih dari setahun dalam produk seperti ham kering. Jika sisa daging babi yang terinfeksi masuk ke pakan babi, akan mengancam babi-babi lain yang bersentuhan.
Hal itu membuat negara-negara di seluruh kawasan berupaya untuk melindungi peternakan babi mereka sendiri, seperti di Jepang. Kementerian Pertanian Jepang melarang mereka yang terlibat di industri tersebut agar tidak bepergian ke luar negeri, serta memberlakukan tindakan karantina yang lebih ketat di seluruh negeri.
Selain karena virus, Otoritas kesehatan Hongkong juga pernah memperingatkan mengenai risiko konsumsi sosis berlebihan asal Cina pada kesehatan. Dari 30 sampel produk sosis asal Cina yang diuji oleh Dewan Konsumen Hongkong menemukan semuanya mengandung kadar sodium dan 80 persen kadar gula yang tinggi.
Semua sampel mengandung kandungan natrium berkisar antara 1.258,5 hingga 1.971 miligram per 100 g, atau satu hingga 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan standar dari Pusat Keamanan Pangan yaitu 600 mg. Lebih dari 80 persen sampel memiliki kadar gula lebih tinggi dari 15 gram gula per 100 gram.
Kesimpulan
Hasil verifikasi Tempo tentang klaim virus babi disebabkan karena sosis yang dibuat dari babi di Cina adalah sebagian benar.
Beberapa virus pada bisa berbahaya bagi manusia apabila tidak diproses dengan standar keamanan yang baik.
Beberapa virus pada bisa berbahaya bagi manusia apabila tidak diproses dengan standar keamanan yang baik.
Rujukan
- https://s3.eu-west-1.amazonaws.com/check-api-live/capi/2093389544420469
- https://www.instagram.com/sujionobasir/reel/DBvNwyLuknT/?locale=ru&hl=am-et
- https://www.tiktok.com/@mhr_akhoen/video/7401734966930902278
- https://web.facebook.com/reel/662639846088876
- https://www.beefresearch.org/grading/LMDisplay.html?chp=2&sc=5
- https://www.thestandard.com.hk/section-news/section/4/258806/Health-fears-over-Chinese-sausages