narasi:
Potong kuku 10 hari sebelum hari raya idul adha apakah dilarang?
(GFD-2019-3088) Hukum Memotong Kuku dan Rambut saat Qurban, Begini Penjelasannya
Sumber: Media OnlineTanggal publish: 16/09/2019
Berita
Hasil Cek Fakta
Jakarta - Ada dua pendapat ulama, tentang hukum memotong kuku dan rambut bagi orang yang akan melaksanakan qurban (https://www.detik.com/tag/kurban) di bulan Dzulhijjah. Begini penjelasannya.
Tidak sedikit yang bingung, boleh atau tidaknya potong kuku dan rambut, bagi orang yang ingin berqurban. Namun bukan kali ini saja, bahkan ulama terdahulu sudah mendiskusikan hal ini. Berikut penjelasannya, dirangkum dari berbagai sumber:
1. Berawal Dari Satu Hadits
Perbedaan ini berawal dari pendapat ulama memahami hadits riwayat Ummu Salamah, yang termaktub dalam banyak kitab hadits. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:
إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي
Artinya: "Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berqurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban," (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Dari hadits di atas, muncul dua pendapat ulama. Pendapat pertama memahami hadits ini, dengan mengatakan bahwa Nabi SAW melarang orang yang berqurban memotong kuku, dan rambutnya. Sementara pendapat kedua mengatakan, yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berqurban (al-mudhahhi), tetapi hewan qurban (al-mudhahha).
2. Pendapat Pertama Dari Hadits Tersebut
Orang yang ingin berqurban dilarang memotong kuku dan rambut, oleh Nabi Muhammad SAW. Sejak awal bulan Dzulhijjah hingga ia setelah ia selesai berqurban. Namun, terjadi perbedaan pendapat lagi terkait maksud dan implikasi dari larangan tersebut. Ada yang mengharamkan, makruh, dan mubah.
Seorang ulama ahli hadits yang bermazhab Hanafi, Mulla `Ali al-Qari rahimahullah, dalam kitab Mirqatul Mafatih menyimpulkan:
الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه
Artinya, "Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi'i disunahkan tidak memotong rambut, dan kuku bagi orang yang berqurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan, maka dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku, dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya untuk dipotong."
3. Pendapat Kedua Dari Hadits Tersebut
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dilarang adalah memotong bulu dan kuku hewan qurban, bukan kuku atau rambut orang yang ingin berqurban. Alasannya, karena bulu, kuku, dan kulit hewan qurban tersebut akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.
Pendapat tersebut tidak populer dalam kitab fikih, terutama fikih klasik. Bahkan Mulla `Ali Al-Qari Rahimahullah menyebut dalam kitab Mirqatul Mafatih, sebagai pendapat gharib (aneh/unik/asing). Namun oleh almarhum Kyai Ali Mustafa Yaqub, pendapat kedua ini dikuatkan. Dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiyai Ali mengatakan, memahami hadits Ummu Salamah di atas perlu dikomparasikan dengan riwayat 'Aisyah yang berbunyi sebagai berikut.
ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا
Artinya, "Rasulullah SAW mengatakan, 'Tidak ada amalan anak Adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berqurban. Karena ia akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Saking cepatnya, pahala qurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berqurban (HR Ibnu Majah).
dan hadits riwayat al-Tirmidzi:
لصاحبها بكل شعرة حسنة
Artinya, "Bagi orang yang berqurban, setiap helai rambut (bulu hewan qurban) adalah kebaikan," (HR At-Tirmidzi).
Berdasarkan pertimbangan dua hadits ini, Kyai Ali menyimpulkan bahwa yang dilarang Nabi itu bukan memotong rambut, dan kuku orang yang berqurban, tapi hewan qurban. Karena, rambut dan kuku hewan itulah yang nanti menjadi saksi di akhirat kelak.
Kedua pendapat di atas merupakan upaya masing-masing ulama memahami dalil. Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa konteks hadits di atas tertuju bagi orang yang berqurban saja, bukan untuk semua orang. Bagi orang yang tidak berqurban, tidak masalah jika ia akan memangkas rambut, atau memotong kukunya.
Tidak sedikit yang bingung, boleh atau tidaknya potong kuku dan rambut, bagi orang yang ingin berqurban. Namun bukan kali ini saja, bahkan ulama terdahulu sudah mendiskusikan hal ini. Berikut penjelasannya, dirangkum dari berbagai sumber:
1. Berawal Dari Satu Hadits
Perbedaan ini berawal dari pendapat ulama memahami hadits riwayat Ummu Salamah, yang termaktub dalam banyak kitab hadits. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:
إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي
Artinya: "Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berqurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban," (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).
Dari hadits di atas, muncul dua pendapat ulama. Pendapat pertama memahami hadits ini, dengan mengatakan bahwa Nabi SAW melarang orang yang berqurban memotong kuku, dan rambutnya. Sementara pendapat kedua mengatakan, yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berqurban (al-mudhahhi), tetapi hewan qurban (al-mudhahha).
2. Pendapat Pertama Dari Hadits Tersebut
Orang yang ingin berqurban dilarang memotong kuku dan rambut, oleh Nabi Muhammad SAW. Sejak awal bulan Dzulhijjah hingga ia setelah ia selesai berqurban. Namun, terjadi perbedaan pendapat lagi terkait maksud dan implikasi dari larangan tersebut. Ada yang mengharamkan, makruh, dan mubah.
Seorang ulama ahli hadits yang bermazhab Hanafi, Mulla `Ali al-Qari rahimahullah, dalam kitab Mirqatul Mafatih menyimpulkan:
الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه
Artinya, "Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi'i disunahkan tidak memotong rambut, dan kuku bagi orang yang berqurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan, maka dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku, dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya untuk dipotong."
3. Pendapat Kedua Dari Hadits Tersebut
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dilarang adalah memotong bulu dan kuku hewan qurban, bukan kuku atau rambut orang yang ingin berqurban. Alasannya, karena bulu, kuku, dan kulit hewan qurban tersebut akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.
Pendapat tersebut tidak populer dalam kitab fikih, terutama fikih klasik. Bahkan Mulla `Ali Al-Qari Rahimahullah menyebut dalam kitab Mirqatul Mafatih, sebagai pendapat gharib (aneh/unik/asing). Namun oleh almarhum Kyai Ali Mustafa Yaqub, pendapat kedua ini dikuatkan. Dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiyai Ali mengatakan, memahami hadits Ummu Salamah di atas perlu dikomparasikan dengan riwayat 'Aisyah yang berbunyi sebagai berikut.
ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا
Artinya, "Rasulullah SAW mengatakan, 'Tidak ada amalan anak Adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berqurban. Karena ia akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Saking cepatnya, pahala qurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berqurban (HR Ibnu Majah).
dan hadits riwayat al-Tirmidzi:
لصاحبها بكل شعرة حسنة
Artinya, "Bagi orang yang berqurban, setiap helai rambut (bulu hewan qurban) adalah kebaikan," (HR At-Tirmidzi).
Berdasarkan pertimbangan dua hadits ini, Kyai Ali menyimpulkan bahwa yang dilarang Nabi itu bukan memotong rambut, dan kuku orang yang berqurban, tapi hewan qurban. Karena, rambut dan kuku hewan itulah yang nanti menjadi saksi di akhirat kelak.
Kedua pendapat di atas merupakan upaya masing-masing ulama memahami dalil. Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa konteks hadits di atas tertuju bagi orang yang berqurban saja, bukan untuk semua orang. Bagi orang yang tidak berqurban, tidak masalah jika ia akan memangkas rambut, atau memotong kukunya.