(GFD-2023-14603) [HOAKS] Rohingya Bukan Penduduk Asli Myanmar

Sumber: kompas.com
Tanggal publish: 18/12/2023

Berita

KOMPAS.com - Narasi di media sosial menyebutkan, etnis Rohingya bukan penduduk asli Myanmar. Mereka diklaim datang bersama Inggris untuk menjajah Myanmar.
Narasi itu juga mengeklaim, gelombang pengungsi Rohingya datang ke Indonesia dengan tujuan sama, yakni menjajah.
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Kompas.com, narasi tersebut tidak benar atau hoaks.
Narasi yang mengeklaim etnis Rohingya menjajah Myanmar bersama Inggris dibagikan oleh akun Facebook ini pada Sabtu (16/12/2023).
Berikut narasi yang dibagikan:
Rohingya dan Inggris datang ke myanmar untuk menjajah kemudian rohingya tinggal disana. Nahhhh!! Sekarang rohingya berduyun-duyun dikirim ke Indonesia dengan motif yang kontras. Menjajah Indonesia.
Screenshot Hoaks, Rohingya bukan penduduk asli Myanmar dan datang ke Indonesia untuk menjajah

Hasil Cek Fakta

Setelah ditelusuri, narasi bahwa etnis Rohingya bukan penduduk asli Myanmar tidak sesuai fakta.
Dilansir Kompas.id, kelompok etnis Rohingya secara turun-temurun tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Nasib memilukan Rohingya disebabkan genosida sistematis yang dilakukan Pemerintah Myanmar selama berpuluh tahun.
Tindakan itu telah dilakukan sejak 1970-an dan puncaknya, pada awal 1980-an, Pemerintah Myanmar resmi menyatakan Rohingya bukanlah bagian dari etnis yang diakui.
Nasib kelompok Rohingya makin parah karena adanya sentimen rasial dari warga Myanmar yang mayoritas memeluk agama Buddha.
Sentimen ini pun makin menjadi karena perbedaan fisik yang kentara antara warga etnis Rohingya dan kebanyakan warga Myanmar yang lain.
Puncak kekerasan terhadap kelompok Rohingya terjadi pada 2017. Saat itu terjadi persekusi, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap etnik Rohingya oleh warga mayoritas.
Alih-alih meredakan, aparat keamanan dari pemerintah justru ikut melakukan kekerasan dan cenderung menjustifikasi persekusi yang diarahkan kepada kelompok tersebut.
Tak lama dari kejadian ini, lebih dari 742.000 warga Rohingya kabur ke Bangladesh, sekitar separuh dari angka tersebut adalah anak-anak.
Jumlah ini pun terus bertambah dari tahun ke tahun, dengan lebih dari 1,2 juta telah tercatat mengungsi dari Rakhine.
Sebagian besar dari pengungsi ini akhirnya tinggal di kamp Cox’s Bazar, sebuah kota pelabuhan di Bangladesh. Tak kurang dari 900.000 orang berkumpul di pengungsian ini.
Selain itu, narasi bahwa pengungsi Rohingya datang ke Indonesia dengan tujuan untuk menjajah juga tidak sesuai fakta.
Kesulitan di kamp pengungsian memaksa warga Rohingya melarikan diri dan menjadikan mereka mangsa bagi sindikat penyelundup manusia.
Dilansir Kompas.id, Direktur Arakan Project Chris Lewa mengatakan, para penyelundup manusia itu menggunakan Indonesia sebagai titik transit sebelum para pengungsi itu diberangkatkan ke Malaysia. 
Investigasi yang dilakukan AFP pada 2020 mengungkap bahwa jaringan penyelundupan manusia melibatkan orang di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh hingga sindikat lain di Myanmar, Indonesia, Thailand, dan Malaysia.
Mereka yang terlibat dalam sindikat itu di antaranya adalah warga Rohingya sendiri. Selain menggunakan jalur laut, para penyelundup tersebut juga menggunakan jalur darat.
Seorang tokoh masyarakat Aceh Utara Saiful Afwadi membenarkan adanya sindikat itu.
"Kami muak dengan kehadiran mereka karena sesampainya di darat, kadang banyak yang kabur. Ada agen yang menjemput mereka. Ini perdagangan manusia," kata Saiful.
Beberapa tahun lalu, warga Aceh dengan senang hati dan terbuka menerima mereka. Namun, karena sejumlah hal, kini mereka enggan menerima para pengungsi Rohingya.
Kebaikan warga Aceh seakan-akan dimanfaatkan oleh jaringan penyelundup manusia tersebut.

Kesimpulan

Narasi yang mengeklaim etnis Rohingya bukan penduduk asli Myanmar dan datang ke Indonesia untuk menjajah adalah hoaks.
Rohingya secara turun-temurun tinggal di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Namun, mereka menjadi korban genosida sistematis yang dilakukan Pemerintah Myanmar sejak 1970-an.
Pada awal 1980-an Pemerintah Myanmar resmi menyatakan Rohingya bukanlah bagian dari etnis yang diakui. 
Puncak kekerasan terhadap Rohingya terjadi pada 2017. Saat itu terjadi persekusi, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap etnis Rohingya oleh warga mayoritas.
Narasi bahwa pengungsi Rohingya datang ke Indonesia dengan tujuan untuk menjajah juga tidak sesuai fakta.
Kesulitan di kamp pengungsian memaksa warga Rohingya melarikan diri dan menjadikan mereka mangsa bagi sindikat penyelundup manusia.
Para penyelundup manusia itu menggunakan Indonesia sebagai titik transit sebelum para pengungsi itu diberangkatkan ke Malaysia.

Rujukan