(GFD-2024-15319) Cek Fakta: Muhaimin Iskandar Klaim Anggaran Penanganan Krisis Iklim Minim

Sumber:
Tanggal publish: 21/01/2024

Berita

Krisis Iklim harus dimulai dengan etika. Sekali lagi etika. Etika lingkungan ini intinya adalah keseimbangan antara manusia dan alam. Tidak menang-menangan. Seimbang manusia dan alam. Akan tetapi kita menyaksikan bahwa kita tidak seimbang dalam melaksanakan pembangunan kita. Kita melihat ada yang namanya krisis iklim tidak diatasi dengan serius. Bahkan kita ditunjukkan bahwa anggaran mengatasi krisis iklim jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya

Hasil Cek Fakta

Hasil penelusuran tim Cek Fakta TIMES Indonesia bersama koalisi Cek Fakta serta panel ahli, menemukan bahwa pernyataan yang disampaikan Muhaimin Iskandar bisa ditelusuri sebagai berikut.

Panel Ahli Live Fact Checking Debat Pilpres 2024, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Darussalam Gontor, Afni Regita Cahyani Muis menyampaikan bahwa saat ini pembiayaan mitigasi perubahan iklim masih sebatas proyeksi.

Merujuk data dari DPR RI, Afni menyebut Indonesia belum serius dalam melakukan aksi penanggulangan perubahan iklim dari anggaran negara.

"Kebutuhan pembiayaan mitigasi perubahan iklim masih sebatas proyeksi dan belum maksimal. Selama 5 tahun terakhir rata-rata 9 (dari tahun 2022) belanja iklim hanya 3.9% dari alokasi APBN per tahun. Padahal isu lingkungan hidup tengah menjadi isu krusial di Indonesia," kata Afni.

Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia, Masitoh Nur Rohma mengatakan menurut data dari DPR dari perhitungan Kemenkeu RI kebutuhan pendanaan perubahan iklim mencapai Rp3.779 triliun jika mengikuti peta jalan Dokumen Kontribusi Nasional (NDC).

"Artinya, setiap tahun anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp200 triliun-Rp300 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 7-11 persen anggaran belanja negara 2022," kata Nur Rohma.

Senior Analyst Climatework Centre, Fikri Muhammad mengatakan Indonesia masih membutuhkan dana yang banyak untuk memenuhi target iklim, baik mitigasi dan adaptasi. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa angka kebutuhan ini sangat besar, sehingga pemerintah sendiri tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada anggaran negara.

Fikri juga merujuk pada data NDC Indonesia terbaru tahun 2022, Indonesia membutuhkan dana sekitar USD285 miliar (Rp4,450 triliun) antara tahun 2018-2030 untuk memenuhi target mitigasi iklim saja di NDC tahun 2030. Sementara berdasarkan Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 2018-2020, anggaran yang dikeluarkan tahun 2017 dan 2018 adalah sekitar USD10.49 miliar (Rp146.8 triliun) dan USD14.02 miliar (Rp196.3 triliun).

"Pemerintah masih perlu dana dari eksternal, baik swasta maupun internasional, untuk memenuhi target ini," kata Fikri Muhammad.

Lebih lanjut, Laporan terbaru dari Kementerain Keuangan (Kemenkeu RI) memberikan gambaran mendalam tentang alokasi anggaran perubahan iklim di Indonesia selama periode 2018 hingga 2020.

Sebesar Rp307,94 triliun telah dialokasikan oleh pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim, menghasilkan rata-rata sekitar Rp102,65 triliun per tahun. Meskipun angka ini mencakup 4,3% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama periode tersebut, terdapat tren menurun dalam alokasi ini.

Menurut Kemenkeu RI, dari total alokasi APBN kumulatif 2018-2019, pemerintah berhasil menghabiskan Rp209,57 triliun atau sekitar 91,1%. Namun, meskipun capaian ini mencerminkan komitmen nyata terhadap isu perubahan iklim, terdapat penurunan alokasi anggaran secara keseluruhan sepanjang 2018 hingga 2020.

Pada tahun 2018, alokasi anggaran perubahan iklim mencapai Rp132,47 triliun, dengan realisasi mencapai 95,14% dari total alokasi. Namun, pada tahun berikutnya, anggaran ini turun 26,27% (year-on-year/yoy) menjadi Rp97,66 triliun, meskipun realisasi masih mencapai 85,54%. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebesar Rp77,81 triliun pada tahun 2020, menunjukkan penurunan 20,32% (yoy) dari alokasi pada tahun sebelumnya.

Dari 2018 hingga 2019, anggaran perubahan iklim terutama digunakan untuk kegiatan mitigasi, mencapai Rp129,93 triliun atau sekitar 62% dari total realisasi anggaran. Sementara itu, kegiatan adaptasi perubahan iklim tetap menjadi fokus konsisten pemerintah, dengan total belanja selama 2018-2019 mencapai Rp66,64 triliun atau 31,8%, atau secara rata-rata sekitar Rp33,32 triliun per tahun.

Selain itu, laporan Kemenkeu RI mencatat bahwa kegiatan co-benefit, yang memiliki dampak positif secara bersamaan, mencapai Rp13,01 triliun (6,2%) sepanjang 2018-2019.

Pada tahun 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran belanja perubahan iklim sebesar Rp77,71 triliun. Komposisi anggaran tersebut mencakup mitigasi sebesar Rp41,65 triliun (53,5%), adaptasi sebesar Rp33,30 triliun (42,8%), dan co-benefit sebesar Rp2,86 triliun (3,7%).

Meskipun terdapat penurunan dalam alokasi anggaran perubahan iklim secara keseluruhan, gambaran ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Dengan terus memonitor dan mengevaluasi tren ini, Indonesia dapat terus mengembangkan strategi yang efektif untuk memitigasi dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang semakin mendesak.

Kesimpulan

Pernyataan Muhaimin Iskandar dalam debat Pilpres 2024 tentang anggaran anggaran penanganan krisis iklim minim, sebagian benar.

Data Kemenkeu RI pada periode 2018-2020 menunjukkan adanya penurunan anggaran perubahan iklim. Sejumlah Rp307,94 triliun telah dialokasikan oleh pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim, menghasilkan rata-rata sekitar Rp102,65 triliun per tahun. Meskipun angka ini mencakup 4,3% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama periode tersebut, terdapat tren menurun dalam alokasi ini.

Rujukan