Dalam paparan visi dan misinya, capres nomor urut 02, Prabowo Subianto mengatakan, dia dan Sandiaga Uno berpandangan bahwa bangsa Indonesia selama ini dan sudah sejak lama berada dalam arah yang salah.
"Ini sudah terbukti bahwa kita telah menyimpang dari cita-cita pendiri bangsa," kata dia. "Kita tidak bisa membiarkan kekayaan nasional ke luar negeri," tambah Prabowo.
Ia menambahkan, sudah diakui oleh pemerintah bahwa terjadi deindustrialisasi. "Sekarang bangsa Indonesia tidak produksi apa-apa. Kita hanya menerima industri dari bangsa lain," tambah dia.
Benarkah Indonesia saat ini mengalami deindustrialisasi?
(GFD-2019-1792) Prabowo: Terjadi Deindustrialisasi, Bangsa Kita Tidak Memproduksi Apa-Apa
Sumber: Debat Pilpres 2019Tanggal publish: 13/04/2019
Berita
Hasil Cek Fakta
Fathya Nirmala Hanoum, Peneliti CORE Indonesia mengatakan pertumbuhan industri di Indonesia memang melambat pascakrisis 1998.
Sementara itu, seperti dikutip dari beritagar.id, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Berikut cuplikan dalam artikel berjudul Kembang kempis laju industri nasional:
Seperti dimuat dalam Ketergantungan pada sektor komoditas telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat sejak krisis finansial 1998.
Sektor industri manufaktur merupakan motor utama pendorong ekonomi Indonesia. Namun, sektor ini terus mendapat sorotan dari pemerintah karena indikasi adanya fenomena deindustrialisasi prematur.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendefinisikan deindustrialisasi sebagai proses kebalikan dari industrialisasi; yaitu penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Padahal menurut Bappenas, Indonesia belum semestinya mengalami deindustrialisasi karena sedang dalam fase mengembangkan sektor tersebut -- terutama industri pengolahan sumber daya alam.
Sebelum krisis 1998, Indonesia sempat menjadi negara tujuan investasi manufaktur berbasis sumber daya manusia (labor intensive) karena upah buruh yang cenderung lebih murah. Namun, krisis ekonomi ternyata menyerang sektor manufaktur lantaran banyak yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS.
Lokadata Beritagar.id mencoba mengolah data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Per kuartal III tahun 2018, BPS mencatat porsi industri manufaktur terhadap PDB mencapai 19,66 persen.
Data menunjukkan tingkat pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur sepanjang 2008 hingga 2017 tidak pernah mencapai dua digit dan cenderung stagnan. Pertumbuhan industri manufaktur pernah mencapai puncaknya pada 2011, yakni 6,26 persen.
Namun, sejak saat itu, tingkat pertumbuhan industri manufaktur terus menurun hingga mencapai 4,27 persen pada 2017. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,07 persen tahun lalu
Sementara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional, demikian dikutip dari artikel berjudul Alasan Bappenas Sebut Indonesia Mengalami Deindustrialisasi Dini, seperti dikutip dari Tempo.co.
Berikut cuplikannya:
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional.
"Ini ditandai dari pertumbuhan manufaktur yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi," kata Bambang dalam acara peluncuran buku Policies to Support the Development of Indonesia's Manufacturing Sector during 2020-2024 bersama Asian Development Bank (ADB) di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Februari 2019.
Buku ini merupakan hasil kerja sama antara Bappenas dan ADB untuk persiapan studi Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024. Dalam buku ini, ADB mengingatkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih tidak terdiversifikasi karena banyak bertumpu pada ekspor komoditas. Perbaikan di sektor ini penting agar Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada lima tahun ke depan.
Bambang melanjutkan, bahwa sebelum krisis ekonomi 1998, pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia sebenarnya lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi. Tapi setelah itu, kondisi pun berbalik. Artinya, kata Bambang, pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor lain seperti perdagangan, telekomunikasi, dan transportasi. "Itu gejala dari pre-mature deindustrialization."
Gejala kedua datang dari peralihan tenaga kerja Indonesia yang meninggalkan sektor tradisional seperti pertanian. Hanya saja, kata Bambang, di negara dengan industrialisasi yang baik seperti Korea Selatan, Cina, dan Taiwan, tenaga kerja ini masuk ke sektor manufaktur lebih dahulu, baru ke sektor jasa. Di Indonesia, tenaga kerja pertanian langsung masuk ke sektor jasa.
Walhasil, banyak masyarakat kemudian terserap di pasar jasa namun dengan kemampuan dan produktivitas yang rendah. Ini tercermin dari data kemampuan tenaga kerja Indonesia yang dikumpulkan Bappenas. 99,41 persen tenaga kerja sektor pertanian adalah low-skilled labor. 90,45 persen low-skilled labor di sektor manufaktur serta 52 persen semi-skilled labor di sektor jasa dan yang lainnya.
Lali gejala terakhir adalah peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia yang rendah. Semakin rendah angkanya, kata Bambang, maka sektor manufaktur di negara tersebut makin tidak punya nilai tambah. Ini mengapa Indonesia larut dalam kegiatan ekspor komoditas yang selama ini gampang terpengaruh harga internasional. "Untuk itu, kami berupaya meningkatkan nilai tambah industri manufaktur lokal, pabrik baterai di Morowali, adalah re-emergence of industrialization di Indonesia."
Sementara, dalam artikel berjudul INDEF: Indonesia alami deindustrialisasi yang dimuat antaranews.com pada 29 Juni 2018, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melaporkan, Indonesia dalam 10 tahun terakhir mengalami deindustrialisasi karena kontribusinya pada perekonomian menurun.
Sementara itu, seperti dikutip dari beritagar.id, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Berikut cuplikan dalam artikel berjudul Kembang kempis laju industri nasional:
Seperti dimuat dalam Ketergantungan pada sektor komoditas telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat sejak krisis finansial 1998.
Sektor industri manufaktur merupakan motor utama pendorong ekonomi Indonesia. Namun, sektor ini terus mendapat sorotan dari pemerintah karena indikasi adanya fenomena deindustrialisasi prematur.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendefinisikan deindustrialisasi sebagai proses kebalikan dari industrialisasi; yaitu penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, dalam CNBC Indonesia (5/2/2018), mengatakan saat ini Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi prematur. Ini terjadi lantaran porsi manufaktur di dalam PDB kian mengempis sebelum benar-benar mencapai puncaknya.
Bappenas menyebutkan, Indonesia memang sudah masuk fase deindustrialisasi. Sektor industri sudah tidak mampu tumbuh di atas pertumbuhan PDB dan sumbangannya ke PDB terus menurun.
Padahal menurut Bappenas, Indonesia belum semestinya mengalami deindustrialisasi karena sedang dalam fase mengembangkan sektor tersebut -- terutama industri pengolahan sumber daya alam.
Sebelum krisis 1998, Indonesia sempat menjadi negara tujuan investasi manufaktur berbasis sumber daya manusia (labor intensive) karena upah buruh yang cenderung lebih murah. Namun, krisis ekonomi ternyata menyerang sektor manufaktur lantaran banyak yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS.
Lokadata Beritagar.id mencoba mengolah data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Per kuartal III tahun 2018, BPS mencatat porsi industri manufaktur terhadap PDB mencapai 19,66 persen.
Data menunjukkan tingkat pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur sepanjang 2008 hingga 2017 tidak pernah mencapai dua digit dan cenderung stagnan. Pertumbuhan industri manufaktur pernah mencapai puncaknya pada 2011, yakni 6,26 persen.
Namun, sejak saat itu, tingkat pertumbuhan industri manufaktur terus menurun hingga mencapai 4,27 persen pada 2017. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,07 persen tahun lalu
Sementara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional, demikian dikutip dari artikel berjudul Alasan Bappenas Sebut Indonesia Mengalami Deindustrialisasi Dini, seperti dikutip dari Tempo.co.
Berikut cuplikannya:
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia masih menunjukkan gejala pre-mature deindustrialization alias deindustrialisasi dini. Sebab, sektor manufaktur tidak cukup berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi secara nasional.
"Ini ditandai dari pertumbuhan manufaktur yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi," kata Bambang dalam acara peluncuran buku Policies to Support the Development of Indonesia's Manufacturing Sector during 2020-2024 bersama Asian Development Bank (ADB) di Gedung Bappenas, Jakarta Pusat, Jumat, 8 Februari 2019.
Buku ini merupakan hasil kerja sama antara Bappenas dan ADB untuk persiapan studi Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024. Dalam buku ini, ADB mengingatkan bahwa sektor manufaktur Indonesia masih tidak terdiversifikasi karena banyak bertumpu pada ekspor komoditas. Perbaikan di sektor ini penting agar Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 7 persen pada lima tahun ke depan.
Bambang melanjutkan, bahwa sebelum krisis ekonomi 1998, pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia sebenarnya lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi. Tapi setelah itu, kondisi pun berbalik. Artinya, kata Bambang, pertumbuhan ekonomi berasal dari sektor lain seperti perdagangan, telekomunikasi, dan transportasi. "Itu gejala dari pre-mature deindustrialization."
Gejala kedua datang dari peralihan tenaga kerja Indonesia yang meninggalkan sektor tradisional seperti pertanian. Hanya saja, kata Bambang, di negara dengan industrialisasi yang baik seperti Korea Selatan, Cina, dan Taiwan, tenaga kerja ini masuk ke sektor manufaktur lebih dahulu, baru ke sektor jasa. Di Indonesia, tenaga kerja pertanian langsung masuk ke sektor jasa.
Walhasil, banyak masyarakat kemudian terserap di pasar jasa namun dengan kemampuan dan produktivitas yang rendah. Ini tercermin dari data kemampuan tenaga kerja Indonesia yang dikumpulkan Bappenas. 99,41 persen tenaga kerja sektor pertanian adalah low-skilled labor. 90,45 persen low-skilled labor di sektor manufaktur serta 52 persen semi-skilled labor di sektor jasa dan yang lainnya.
Lali gejala terakhir adalah peringkat kompleksitas ekonomi Indonesia yang rendah. Semakin rendah angkanya, kata Bambang, maka sektor manufaktur di negara tersebut makin tidak punya nilai tambah. Ini mengapa Indonesia larut dalam kegiatan ekspor komoditas yang selama ini gampang terpengaruh harga internasional. "Untuk itu, kami berupaya meningkatkan nilai tambah industri manufaktur lokal, pabrik baterai di Morowali, adalah re-emergence of industrialization di Indonesia."
Sementara, dalam artikel berjudul INDEF: Indonesia alami deindustrialisasi yang dimuat antaranews.com pada 29 Juni 2018, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) melaporkan, Indonesia dalam 10 tahun terakhir mengalami deindustrialisasi karena kontribusinya pada perekonomian menurun.
Rujukan
- https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/3941028/cek-fakta-prabowo-terjadi-deindustrialisasi-bangsa-kita-tidak-memproduksi-apa-apa
- https://cekfakta.tempo.co/fakta/215/fakta-atau-hoaks-benarkah-indonesia-mengalami-deindustrialisasi-seperti-dinyatakan-calon-presiden-prabowo-subianto
- https://money.kompas.com/read/2019/04/13/213942426/cek-fakta-prabowo-sebut-terjadi-deindustrialisasi-di-indonesia
- https://news.solopos.com/read/20190413/496/985115/cek-faktaprabowo-sebut-indonesia-alami-deindustrialisasi
- https://www.timesindonesia.co.id/read/210088/20190413/210719/cek-fakta-prabowo-bangsa-indonesia-tidak-produksi-apaapa/