• [Fakta atau Hoaks] Benarkah Tidak Adanya Klaster Demo Tunjukkan Covid-19 adalah Konspirasi?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/10/2020

    Berita


    Klaim bahwa jumlah kasus Covid-19 di DKI Jakarta justru menurun pasca demonstrasi beredar di Facebook. Beberapa waktu yang lalu, memang digelar sejumlah unjuk rasa yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di ibukota. Menurut klaim ini, turunnya jumlah kasus itu mematahkan kecemasan soal munculnya klaster demo, dan menunjukkan bahwa Covid-19 hanya konspirasi.
    Akun yang membagikan klaim tersebut adalah akun Arba, tepatnya pada 24 Oktober 2020. Dalam unggahannya, akun ini membagikan gambar tangkapan layar cuitan akun Twitter @OposisiCerdas yang berbunyi, "Patahkan Kecemasan Klaster Baru, Covid-19 Jakarta Justru Menurun Pasca Unjuk Rasa."
    Kemudian, akun tersebut menulis, "Semakin Nyata.. CORONA Cuma Konspirasi ..Dan Hanya Alasan Untuk Bancakan Duit Rakyat.. Apa Kabar 900 Triliun Dana Corona..? Bahkan BPK Pun Tak Boleh Audit.." Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari 700 reaksi dan dibagikan lebih dari 450 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Arba.
    Apa benar tidak adanya klaster demo menunjukkan bahwa Covid-19 adalah konspirasi?

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, tidak adanya lonjakan jumlah kasus Covid-19 pasca demonstrasi Omnibus Law UU Cipta Kerja bukan berarti Covid-19 hanyalah konspirasi. World0meters mencatat SARS-CoV-2, virus Corona baru penyebab Covid-19, telah menginfeksi lebih dari 43 juta orang di seluruh dunia hingga 27 Oktober 2020. Sementara jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai 396.454 kasus dengan 13.512 kematian.
    Laporan John Hopkins University pun menyebut jumlah kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai 1.118.635 kematian. Angka ini lebih tinggi dibandingkan jumlah kematian karena flu di seluruh dunia, yang menurut WHO, diperkirakan sekitar 290 ribu-650 ribu orang setiap tahun.
    Lonjakan jumlah kasus Covid-19 di Jakarta tidak terjadi sepanjang Oktober 2020 karena banyak faktor, seperti penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jilid II serta jumlah tes dan tracing yang belum maksimal. Di sisi lain, unjuk rasa di tempat terbuka dan pesertanya disiplin menggunakan masker berpeluang memiliki risiko penularan yang lebih rendah.
    Demonstrasi dan jumlah kasus Covid-19 di Jakarta
    Untuk memeriksa klaim dalam unggahan akun Arba, Tim CekFakta Tempo menggunakan dua metode, yakni mewawancarai ahli biologi molekuler lulusan Harvard Medical School, Amerika Serikat, Ahmad Rusdan Utomo serta menelusuri penjelasan dari sejumlah ahli kesehatan yang menganalisa aksi demonstrasi Black Live Matters di AS yang dianggap tidak signifikan menyumbang lonjakan kasus Covid-19.
    Pada awal Oktober 2020, Ketua Tim Mitigasi Pengurus Bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi memperkirakan Indonesia akan mencatatkan lonjakan masif jumlah kasus Covid-19 dalam 1-2 pekan. Penyebabnya, klaster penularan baru lewat rangkaian demonstrasi besar di berbagai daerah yang dipicu oleh pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
    Namun, menurut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, seperti dikutip dari Kompas.com pada 26 Oktober 2020, tidak terdapat peningkatan kasus yang signifikan selama perpanjangan PSBB transisi sejak 12 Oktober. Rata-rata persentase kasus Covid-19 dalam sepekan terakhir adalah 9,9 persen dengan rasio tes 5,8 per 1.000 penduduk. Angka keterisian tempat tidur isolasi di 98 rumah sakit rujukan dalam dua pekan terakhir juga menurun.
    Ahmad Rusdan Utomo menjelaskan belum adanya lonjakan jumlah kasus Covid-19 di Jakarta bisa disebabkan oleh kombinasi dari dua faktor utama. Pertama, penerapan PSBB jilid II pada 14 September-11 Oktober 2020 dan PSBB transisi pada 12-25 Oktober 2020. Kedua, jumlah tes dan tracing di Jakarta masih kalah dibandingkan dengan New York misalnya yang punya standar tracing minimal 30 orang.
    Selain itu, belum adanya laporan yang menunjukkan lonjakan kasus Covid-19 yang disumbang oleh demonstran bisa disebabkan oleh beberapa hal. Dari aspek lingkungan, kerumunan yang berada di ruangan terbuka memiliki risiko penularan yang lebih rendah, karena sirkulasi udara lebih baik, meski tetap ada peluang terjadinya penularan apabila tidak disertai dengan penerapan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker dan menjaga jarak.
    Menurut Ahmad, risiko lebih tinggi justru ada di dalam rumah dan perkantoran, karena berada di ruangan tertutup dalam jangka waktu yang lama, apalagi jika sirkulasi udaranya yang buruk. “Karena itu, klaster keluarga dan perkantoran lebih banyak muncul,” kata Ahmad pada 27 Oktober 2020.
    Dari aspek manusia, dalam hal ini demonstran, didominasi oleh kelompok usia muda yang secara umum kondisi kesehatannya lebih baik, meskipun ada sejumlah pasien Covid-19 yang berusia muda dengan gejala berat. Namun, Ahmad mengingatkan kelompok usia muda tetap berisiko menjadi orang tanpa gejala (OTG) yang bisa menularkan Covid-19 ke orang tua di rumah yang lebih rentan terinfeksi karena faktor usia atau memiliki penyakit penyerta. Sehingga, menurut Ahmad, demo justru berpeluang menambah kasus dari klaster keluarga.
    Demonstrasi Black Lives Matter
    Perdebatan yang sama pernah terjadi di AS mengenai apakah demo Black Lives Matter pada Mei-Juni 2020 memainkan peran penting dalam penyebaran Covid-19. Para politikus menyalahkan demonstran karena diagnosis Covid-19 meningkat sebulan pasca aksi, mencapai level tertinggi sejauh ini. Namun, beberapa ahli menyebut kontribusi aksi Black Lives Matter terhadap penyebaran Covid-19 tidak signifikan, walaupun ini bukan berarti mereka mengabaikan risiko demo di tengah pandemi.
    Dikutip dari Vox, menurut data awal yang dilaporkan oleh Wall Street Journal dan BuzzFeed, tidak ditemukan peningkatan kasus Covid-19 di kota-kota di AS yang menggelar demo besar. Bahkan, kertas kerja yang diterbitkan oleh Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) menemukan "tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tren (Covid-19) setelah demonstrasi antara negara-negara yang menggelar unjuk rasa dan yang tidak".
    Menurut ahli kesehatan, peningkatan kasus Covid-19 di AS lebih disebabkan oleh pelonggaran pembatasan di beberapa negara, sehingga memungkinkan adanya pertemuan dalam ruangan, seperti bar, restoran, tempat pangkas rambut, dan tempat kerja, di mana virus Corona penyebab Covid-19 lebih mungkin menyebar.
    Sejauh ini, unjuk rasa Black Lives Matter tidak menjadi sumber utama peningkatan kasus Covid-19. Alasannya, disiplin dalam penggunaan masker dan jaga jarak, usia demonstran yang relatif masih muda, jumlah demonstran yang kecil dibandingkan populasi, serta faktor keberuntungan.
    Dilansir dari The Guardian, Direktur Institute Kesehatan Global Harvard Ashish Jha memperkuat alasan tersebut. Menurut Jha, peserta aksi Black Lives Matter telah melakukan mitigasi dengan tetap menggunakan masker yang secara substansial dapat menurunkan risiko penyebaran dan keparahan penyakit.
    Selain itu, hasil penelitian menyebut aktivitas di luar ruangan jauh lebih aman daripada aktivitas di dalam ruangan. Hal ini diperkuat dengan semakin banyaknya bukti yang menunjukkan sebagian besar infeksi terjadi di dalam ruangan. Selain itu, terdapat bukti awal bahwa mereka yang berada dalam kerumunan dan bergerak (rally) risiko penularannya lebih rendah dibandingkan di dalam massa yang tidak bergerak.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "tidak adanya klaster demo menunjukkan bahwa Covid-19 adalah konspirasi" keliru. Terdapat sejumlah kemungkinan mengapa unjuk rasa Omnibus Law  UU Cipta Kerja tidak berkontribusi terhadap lonjakan jumlah kasus Covid-19, sebagaimana yang juga terjadi dalam aksi Black Lives Matter di AS pada Mei-Juni 2020. Covid-19 pun bukan konspirasi. Penyakit ini telah menginfeksi lebih dari 43 juta orang di dunia dengan lebih dari 1 juta kematian.
    IKA NINGTYAS
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pogba Pensiun dari Timnas Prancis karena Ucapan Presiden Macron soal Islam?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 28/10/2020

    Berita


    Klaim bahwa bintang sepak bola Prancis, Paul Pogba, pensiun dari tim nasional (timnas) karena ucapan Presiden Prancis Emmanuel Macron soal Islam beredar di media sosial. Klaim ini menyebar setelah Macron menyatakan bahwa pembunuhan guru bahasa Prancis Samuel Paty merupakan serangan teroris Islam.
    Klaim itu terdapat dalam sebuah gambar yang memuat foto Pogba dan Macron. Dalam gambar tersebut, terdapat teks yang berbunyi: "BREAKING NEWS. Paul Pogba telah memutuskan berhenti bermain untuk timnas Perancis menyusul komentar dari Presiden Perancis, Emmanuel Macron yg mengatakan Islam adalah sumber terorisme internasional dunia."
    Di Facebook, gambar itu dibagikan salah satunya oleh akun Berita Bola, tepatnya pada 26 Oktober 2020. Akun ini pun menulis, "Pogba memilih pensiun dari timnas karena pernyataan kontroversi presiden Perancis. Gimana slur? Apakah kalo islam yang buat jahat lantas disebut teroris sedangkan kalo yang jahat non muslim cuma dibiarkan?"
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan lebih dari 1.500 reaksi dan 71 komentar serta telah dibagikan lebih dari 150 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Berita Bola.
    Apa benar Pogba pensiun dari timnas Prancis karena ucapan Presiden Macron soal Islam?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait di media kredibel dengan memasukkan kata kunci "Pogba hengkang dari timnas Prancis". Lewat cara ini, ditemukan informasi bahwa isu tersebut adalah hoaks. Paul Pogba pun telah mengklarifikasi hal tersebut di akun media sosial pribadinya.
    Menurut arsip berita Tempo pada 26 Oktober 2020, bintang Manchester United itu dikabarkan mundur dari timnas Prancis karena komentar Presiden Emmanuel Macron bahwa pembunuhan guru bahasa Prancis Samuel Paty merupakan serangan teroris Islam. Belum lama ini, Paty, 47 tahun, diserang dan kepalanya dipenggal.
    Ketika itu, Paty sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menengah pertama tempat dia mengajar di Conflans-Sainte-Honorine, sekitar 40 kilometer di sisi barat laut Paris. Paty kemudian dianugerahi Legiun Prancis d'honneur, tanda jasa tertinggi dari negara Prancis. Macron pun menyampaikan, "Persatuan dan ketegasan adalah satu-satunya jawaban atas kejahatan terorisme Islam."
    Setelah kabar soal pensiun itu beredar, termasuk di surat kabar Inggris The Sun, Pogba bersuara di akun Instagram-nya dan menyatakan bahwa kabar tersebut hoaks. "Jadi, The Sun melakukannya lagi. Berita itu 100 persen tidak benar dan tidak berdasar. Saya terkejut, marah, dan frustrasi karena beberapa 'media' menggunakan saya untuk membuat headline palsu tentang situasi terkini di Prancis, mengaitkannya dengan agama saya serta timnas Prancis."
    "Saya menentang segala bentuk teror dan kekerasan. Agama saya adalah agama yang damai dan harus dihormati. Sayangnya, beberapa orang media bertindak secara tidak bertanggung jawab dan menyalahgunakan kebebasan pers." Pogba pun menambahkan, "Mereka tidak memverifikasi apa yang mereka tulis dan telah menciptakan rantai gosip tanpa memedulikan dampaknya terhadap kehidupan saya dan masyarakat."
    Gambar tangkapan layar unggahan Paul Pogba di Instagram pada 26 Oktober 2020.
    Tempo pun menelusuri unggahan Pogba di Instagram yang berisi bantahan tersebut. Dalam unggahannya pada 26 Oktober 2020, Pogba membagikan gambar tangkapan layar berita di The Sun yang menyatakan bahwa ia hengkang dari timnas karena komentar Macron soal Islam. Di atas gambar itu, tertera stempel dengan teks "Unacceptable Fake News" atau "berita palsu yang tidak bisa diterima".
    Dalam unggahan itu, gelandang Manchester United tersebut juga menulis bakal mengambil tindakan hukum terhadap penerbit dan penyebar berita palsu tersebut. "Untuk The Sun, yang biasanya tidak peduli, beberapa dari kalian mungkin bersekolah dan ingat bagaimana guru kalian mengingatkan untuk selalu memeriksa sumber kalian, jangan menulis tanpa memastikan terlebih dahulu. Tapi, hei, sepertinya kalian melakukannya lagi dan kali ini pada topik yang sangat serius."

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Paul Pogba pensiun dari timnas Prancis karena ucapan Presiden Macron soal Islam keliru. Pogba telah membantah isu tersebut lewat akun Instagram-nya, dan menyatakan bahwa kabar itu 100 persen tidak benar dan tidak berdasar.
    IBRAHIM ARSYAD
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaim-klaim soal Covid-19 oleh Aliansi Dokter Dunia di Video Ini?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 27/10/2020

    Berita


    Video yang berisi klaim-klaim seputar Covid-19 yang dilontarkan oleh sekumpulan dokter yang menamakan diri sebagai World Doctors Alliance atau Aliansi Dokter Dunia viral. Menurut para dokter yang berbasis di Eropa itu, Covid-19 adalah flu biasa. Mereka juga mengklaim tidak ada pandemi Covid-19.
    Dalam video berdurasi sekitar 9 menit tersebut, salah satu dokter menyatakan bahwa tes polymerase chain reaction (PCR) memunculkan hasil positif palsu pada 89-94 persen kasus Covid-19. Ada pula dokter yang mengatakan bahwa penderita Covid-19 bisa dirawat dengan steroid, hydroxychloroquine, dan zinc.
    Di Instagram, video itu dibagikan salah satunya oleh akun @pongrekundharma88, tepatnya pada 25 Oktober 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah ditonton lebih dari 16 ribu kali. Selain di Instagram, video ini juga banyak dibagikan di Facebook serta YouTube.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @pongrekundharma88 yang berisi video dari Aliansi Dokter Dunia.
    Bagaimana kebenaran klaim-klaim terkait Covid-19 oleh Aliansi Dokter Dunia dalam video tersebut?

    Hasil Cek Fakta


    Dilansir dari organisasi cek fakta Amerika Serikat FactCheck, Aliansi Dokter Dunia baru dibentuk pada 10 Oktober 2020. Video asli yang berisi klaim-klaim terkait Covid-19 di atas, sekaligus pembentukan aliansi ini, berdurasi sekitar 18 menit. Video itu sempat diunggah di YouTube. Namun, YouTube telah menghapus video itu karena melanggar aturan platform.
    Dikutip dari Detik.com, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menyebut Aliansi Dokter Dunia itu sebagai organisasi jadi-jadian. Sebagai orang yang telah lama malang-melintang di berbagai organisasi kedokteran, ia tidak pernah mengenal organisasi tersebut. "Kalau di dunia itu kan ada misalnya, di bidang penyakit dalam, International Society of Internal Medicine. Kemudian, World Medical Association," katanya.
    Ari menyatakan tidak pernah mengetahui para dokter dalam Aliansi Dokter Dunia tersebut tergabung dalam organisasi kedokteran, baik organisasi dokter dunia maupun organisasi dokter penyakit dalam dunia. Selain itu, Ari menegaskan bahwa klaim-klaim yang disampaikan Aliansi Dokter Dunia dalam video yang viral itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
    Untuk memeriksa klaim yang dilontarkan oleh Aliansi Dokter Dunia tersebut, Tim CekFakta Tempo mengutip sejumlah pemberitaan dan hasil pemeriksaan fakta oleh berbagai organisasi cek fakta.
    Klaim 1: Tidak ada pandemi Covid-19
    Fakta:
    Menurut arsip artikel cek fakta Tempo pada 18 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Penetapan ini didasarkan pada hasil penilaian WHO terhadap tingkat sebaran dan jumlah korban yang kian meningkat sejak kasus pertama diumumkan di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Saat itu, menurut WHO, terdapat lebih dari 118.000 kasus Covid-19 di 114 negara, dan 4.291 orang di antaranya meninggal.
    Secara teori, Covid-19 pun telah memenuhi kriteria sebagai pandemi. Pandemi merujuk pada penyakit yang menyebar ke banyak orang di beberapa negara dalam waktu yang bersamaan. Kasus Covid-19 meningkat secara signifikan secara global. Ciri-ciri pandemi adalah sebagai berikut: merupakan jenis virus baru, dapat menginfeksi banyak orang dengan mudah, dan bisa menyebar antar manusia secara efisien. Covid-19 memiliki tiga karakteristik tersebut.
    Sebelum menaikkan status Covid-19 ke pandemi, WHO juga terlebih dulu menetapkan Covid-19 sebagai wabah penyakit pada 5 Januari 2020. Kemudian, pada 30 Januari 2020, WHO memperingatkan bahwa Covid-19 mengancam secara global menyusul laporan bahwa telah ada 7.818 kasus Covid-19, baik di Cina maupun di 18 negara lainnya. Pada 31 Januari 2020, WHO mengumumkan penyebaran Covid-19 sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC).
    Klaim 2: Tes PCR memunculkan hasil positif palsu pada 89-94 persen kasus Covid-19
    Fakta:
    Positif palsu terjadi ketika seseorang tidak terinfeksi Covid-19, namun dinyatakan positif. Dilansir dari FactCheck, hingga kini, angka positif palsu tes PCR Covid-19 masih diteliti lebih lanjut. Namun, studi pendahuluan menunjukkan bahwa angka positif palsu tes ini jauh lebih kecil ketimbang klaim di atas.
    Menurut sebuah studi yang terbit baru-baru ini di The Lancet Resporatory Medicine, di Inggris, angka positif palsu berada di kisaran 0,8-4 persen. Sementara angka negatif palsu, ketika seseorang terinfeksi Covid-19 tapi dinyatakan negatif, mencapai 33 persen.
    Dikutip dari Associated Press (AP), Michael Joseph Mina, dokter dan profesor epidemiologi di sekolah kesehatan masyarakat Harvard, mengatakan tidak benar bahwa sebagian besar tes PCR Covid-19 memberikan hasil positif palsu dan tidak menguji virus Corona penyebab Covid-19.
    “Banyak yang terlambat positif, yang berarti RNA masih ada tapi virus yang hidup telah hilang,” kata Mina. “Jadi, orang-orang ini kemungkinan sudah tidak menularkan lagi, tapi hasilnya akurat, PCR dapat mendeteksi RNA SARS-CoV-2 (virus Corona baru penyebab Covid)," ujarnya.
    Klaim 3: Covid-19 adalah flu biasa
    Fakta:
    Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS ( CDC ) menyatakan flu dan Covid-19 merupakan penyakit pernapasan yang menular, tapi disebabkan oleh virus yang berbeda. Covid-19 disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 dan flu disebabkan oleh infeksi virus influenza. Selain itu, sejauh ini, Covid-19 menyebar lebih mudah daripada flu dan menyebabkan penyakit yang lebih serius pada beberapa orang.
    Covid-19 juga bisa membutuhkan waktu yang lebih lama sebelum orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Menurut CDC, meskipun sebagian besar penderita Covid-19 memiliki gejala ringan, tapi penyakit ini juga dapat menyebabkan komplikasi yang parah bahkan kematian. Perbedaan penting lainnya, terdapat vaksin untuk melindungi diri dari flu. Sementara untuk Covid-19, saat ini, belum ada vaksinnya.
    Menurut arsip artikel cek fakta Tempo pada 21 Oktober 2020, berdasarkan data WHO, tingkat kematian Covid-19 lebih tinggi daripada flu, meskipun tingkat kematian Covid-19 yang sebenarnya masih perlu diikuti lebih jauh. Hingga kini, data WHO menunjukkan rasio kematian kasar (jumlah kematian yang dilaporkan dibanding kasus yang dilaporkan) adalah sekitar 3-4 persen. Sedangkan flu musiman, angka kematiannya di bawah 0,1 persen.
    Laporan John Hopkins University menyebut kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia mencapai 1.118.635 orang. Sementara di Amerika Serikat, sebanyak 220.133 orang telah meninggal karena Covid-19 sepanjang Januari hingga 20 Oktober 2020. Sedangkan kematian karena flu di seluruh dunia, menurut WHO, diperkirakan sekitar 290 ribu-650 ribu orang setiap tahun.
    Klaim 4: Virus Corona penyebab Covid-19 adalah virus musiman, yang menyebabkan penyakit pada Desember-April. Bagi orang yang memiliki gejala tersebut, terdapat perawatan seperti menghirup steroid, hydroxychloroquine, dan zinc.
    Fakta:
    Dilansir dari Live Science, Covid-19 bisa menjadi penyakit musiman seperti flu, tapi ketika populasi telah mencapai herd immunity, yang berarti sudah cukup banyak orang yang kebal untuh mencegah penyebaran virus secara konstan. Hingga saat itu tiba, menurut sebuah studi di jurnal Frontiers in Public Health pada 15 September 2020, Covid-19 kemungkinan menyebar sepanjang tahun.
    "Covid-19 akan bertahan dan akan terus menyebabkan wabah sepanjang tahun sampai herd immunity tercapai," kata penulis senior studi tersebut, Hassan Zaraket, yang juga merupakan asisten profesor virolofi di American University of Beiru, Lebanon. Karena itu, masyarakat harus terus mempraktikkan tindakan pencegahan terbaik, termasuk memakai masker dan menjaga jarak fisik.
    Dikutip dari The Jakarta Post,

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim-klaim terkait Covid-19 oleh Aliansi Dokter Dunia dalam video di atas keliru. Empat klaim, mulai dari "tidak ada pandemi Covid-19", "tes PCR memunculkan hasil positif palsu pada 89-94 persen kasus Covid-19", "Covid-19 adalah flu biasa", hingga "virus Corona penyebab Covid-19 adalah virus musiman dan bisa dirawat dengan steroid, hydroxychloroquine, serta zinc", tidak akurat.
    SITI AISAH | ANGELINA ANJAR SAWITRI
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [Fakta atau Hoaks] Benarkah Ini Video Gempa di Arab Saudi pada 24 Oktober 2020?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 26/10/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan longsornya tanah di depan sebuah gedung perkantoran beredar di Facebook pada 24 Oktober 2020. Dalam video berdurasi 30 detik ini, terlihat pula bahwa tempat parkir yang berada di depan gedung tersebut runtuh. Video itu diklaim sebagai video gempa di Arab Saudi.
    Salah satu akun yang membagikan video beserta klaim itu adalah akun Cahaya Hati. Akun ini menulis, "Gempa di Saudi arabian. Mohon doanya moga semuanya baik" aja amin" ya Allah yarobal alamin." Di kolom komentar, akun ini juga menulis bahwa video itu dikirim oleh seorang ulama.
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah mendapat lebih dari 500 reaksi dan sebanyak 141 komentar serta dibagikan lebih dari 500 kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Cahaya Hati.
    Apa benar video tersebut merupakan video gempa di Arab Saudi pada 24 Oktober 2020?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengantoolInVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya denganreverse image toolGoogle.
    Hasilnya, ditemukan informasi bahwa video tersebut merupakan video tanah longsor di depan sebuah gedung di Al Khobar, Arab Saudi, bukan video gempa. Peristiwa itu pun terjadi pada 18 Oktober 2020, sepekan sebelum akun Cahaya Haiti mengunggah video tersebut.
    Video ini pernah dimuat oleh situs media Al Jazeera pada 18 Oktober 2020 dalam artikelnya yang berjudul “Arab Saudi: tanah longsor di tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan di Khobar”. Selain video itu, situs ini juga memuat video-video lain dari peristiwa yang sama.
    Menurut laporan Al Jazeera, video itu menunjukkan runtuhnya tempat parkir di kompleks komersial Al-Saeed di distrik Al Rakah, Provinsi Al Khobar, Arab Saudi timur, akibat tanah longsor. Juru bicara pertahanan sipil Arab Saudi mengatakan terdapat dua orang yang terluka karena kejadian itu.
    Video yang sama juga pernah dimuat oleh kanal YouTube Seeking Truth pada 18 Oktober 2020. Dalam video ini, terdapat pula rekaman kamera CCTV yang menunjukkan terjadinya peristiwa tersebut. Video tersebut, menurut kanal ini, adalah video tanah longsor di tempat parkir sebuat pusat perbelanjaan di Al Khobar, Arab Saudi timur.
    Foto-foto yang menujukkan tanah longsor di kompleks komersial Al-Saeed, Al Khobar, itu juga dimuat oleh situs Akhbaar24 pada 18 Oktober 2020. Menurut Direktorat Jenderal Pertahanan Sipil, dua orang yang terjebak telah diselamatkan. Runtuhnya sebagian tempat parkir itu menyebabkan kerusakan pada sejumlah mobil.
    Dilansir dari CNN, menurut juru bicara Direktorat Jenderal Pertahanan Sipil Arab Saudi Letnan Kolonel Abdul Hadi Al-Shahrani, operasi pencarian dan penyelamatan masih terus dilakukan untuk memastikan tidak ada orang yang berada di bawah reruntuhan. Dia juga mengatakan puing-puing dan beton yang runtuh yang menimpa mobil di lantai bawah tanah sedang ditangani.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video di atas merupakan video gempa di Arab Saudi pada 24 Oktober 2020 menyesatkan. Video tersebut merupakan video peristiwa tanah longsor yang terjadi di kompleks komersial Al-Saeed, distrik Al Rakah, Provinsi Al Khobar, Arab Saudi timur, pada 18 Oktober 2020. Tanah longsor ini menyebabkan tempat parkir kompleks tersebut runtuh.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini