• Belum Ada Bukti, Klaim bahwa Pandemic Treaty Ancam Keselamatan Rakyat

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita



    Sebuah potongan video wawancara Dharma Pongrekun yang menyebut tentang Pandemic Treaty akan mengancam keselamatan rakyat dan jiwa keluarga. Video itu merupakan potongan dari siniar (podcast) Cerita Untungs diunggah di Facebook pada 25 Maret 2024 yang menghadirkan bakal Calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen tersebut.

    “Kita akan kehilangan semuanya. Catat ini. Dan undang-undang yang akan dipraktekan nanti, melanjutkan perjanjian WHO tersebut sudah siap,” kata Dharma sambil memperlihatkan dokumen ke kamera.

     

    Benarkah klaim bahwa Pandemic Treaty WHO yang akan disahkan pada Mei 2024 akan mengancam keselamatan rakyat?

    Hasil Cek Fakta



    Podcast yang menghadirkan Dharma Pongrekeun selengkapnya ditayangkan di podcast Cerita Untungs edisi 14 Februari 2024, berjudul Berani Bongkar!! Misi Dari Who Untuk Indonesia Part 3. 

    Pandemic treaty adalah istilah untuk menyebut tentang perjanjian untuk mengatasi masalah-masalah dalam penanganan pandemi seperti ketimpangan akses pada kebutuhan pandemi serta minimnya inisiatif kerja sama antar negara. Perjanjian atau instrumen tersebut diinisiasi pada World Health Assembly (WHA) November 2021 lalu yang disepakati oleh negara-negara anggota WHO. Instrumen tersebut akan disusun melalui perundingan formal melalui Intergovernmental Negotiating Body (INB) dan diharapkan dapat selesai dan diadopsi pada tahun 2024.

    Siradj Okta (2021) dalam artikelnya di The Conversation berjudul “Indonesia dan Thailand perlu yakinkan negara ASEAN lain dukung perjanjian pandemi global”, mengatakan dampak pandemi Covid-19 yang meluas, tidak terbatas pada negara tertentu saja, dunia membutuhkan solidaritas global, strategi global, dan juga kehadiran suatu otoritas agar perjanjian pandemi internasional dapat dipatuhi setiap anggota.

    Pengalaman dari pandemi Covid-19, setiap negara merespons pandemi ini dengan cara yang berbeda-beda, sesuai kapasitas, pengetahuan, dana, dan kemauan politik pemimpinnya, walau ada panduan umum dari Organisasi Kesehatan Dunia.

    Tujuan awal dari Pandemic Treaty tersebut ini adalah membahas masalah bagaimana memastikan bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi dan perusahaan swasta berperilaku adil, tidak menimbun jutaan dosis vaksin berlebih atau menolak untuk berbagi pengetahuan dan produk yang dapat menyelamatkan jiwa, dan bahwa terdapat mekanisme untuk melakukan hal tersebut. 

    Masalah lainnya adalah memastikan bahwa negara-negara bekerja sama dan bukan saling bertentangan. Isu-isu ini masih menjadi permasalahan utama dalam perundingan saat ini: akses dan pembagian manfaat (siapa mendapat apa, berapa banyak, dan kapan) serta tata kelola dan akuntabilitas (sejauh mana suatu negara diharuskan melakukan sesuatu).

    Namun kritik terhadap draft terakhir, menunjukkan tujuan dari perjanjian tersebut belum sepenuhnya terlihat, bahkan jauh dari kata adil. Editorial dari jurnal The Lancet berjudul “ The Pandemic Treaty: shameful and unjust ”, menyoroti Pasal 12 yang menetapkan bahwa WHO hanya memiliki akses terhadap 20% produk terkait pandemi untuk didistribusikan berdasarkan risiko dan kebutuhan kesehatan masyarakat. 

    Sementara 80% lainnya—baik vaksin, pengobatan, atau diagnostik—akan menjadi korban pergolakan internasional seperti yang terjadi pada COVID-19, yang menyebabkan teknologi kesehatan penting, dijual kepada penawar tertinggi. Sebagian besar masyarakat dunia tinggal di negara-negara yang mungkin tidak mampu membeli produk-produk ini, namun tampaknya hanya 20% saja yang bersedia disetujui oleh negara-negara berpendapatan tinggi.

    Sorotan lainnya adalah terkait peran pemantauan independen terhadap apakah negara-negara mematuhi komitmen mereka, sangat penting untuk efektivitas perjanjian ini. Namun semua indikasi menunjukkan bahwa mekanisme tata kelola dan akuntabilitas perjanjian tersebut semakin dirusak. Hanya ada sedikit kewajiban yang jelas untuk mencegah wabah penyakit zoonosis, menerapkan prinsip-prinsip One Health, memperkuat sistem kesehatan, atau melawan disinformasi.  

    Indonesia sendiri, seperti dikutip dari laman resmi Kemenlu RI, menyatakan dukungan atas Pandemic Treaty yang dinilai dapat memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Selain itu Pandemic Treaty juga dimaksudkan sebagai upaya kolektif untuk memastikan akses yang adil ke penyelesaian masalah kesehatan dan teknologi untuk negara berkembang.

    Dilansir Indonesia for Global Justice, terdapat beberapa pembahasan yang perlu menjadi perhatian masyarakat sipil:

    1. Akses ke teknologi: Produksi dan Distribusi Berkelanjutan dan transfer teknologi. Ketimpangan akses pada produk-produk pandemi harus diatasi dengan peningkatan produksi yang didistribusikan secara lebih adil. Mendorong mekanisme multilateral yang inovatif dan insentif transfer teknologi. Diatur juga di luar masa pandemi, pihak-pihak harus memperkuat koordinasi dan kolaborasi. Serta pada masa pandemi untuk mempercepat atau meningkatkan produksi dengan fleksibilitas TRIPS, mengesampingkan paten, dan penelitian dengan pendanaan publik agar dapat digunakan oleh publik.

    2. Peningkatan kapasitas Research and Development. Peningkatan kapasitas R&D difokuskan pada sharing of knowledge atau pertukaran pengetahuan yang lebih luas. Terutama ketika R&D disokong oleh pendanaan publik, maka hasil penelitian harus didiseminasikan secara luas serta persyaratan penetapan harga, pembagian data dan transfer teknologi, hingga publikasi kontrak.

    3. Pathogen Access and Benefit-Sharing. Mekanisme pembagian data dan informasi patogen harus disertai dengan mekanisme akses dan pembagian manfaat yang memadai. Sehingga dapat mendorong kesetaraan akses pada produk yang dibutuhkan dan dihasilkan dari mekanisme pembagian informasi dan data patogen.

    4. Strengthening and Sustaining a Skilled and Competent Health Workers. Diperlukannya pengakuan terhadap peran penting pekerja kesehatan dengan peralatan alat pelindung diri yang memadai. Tenaga kesehatan harus dilindungi dengan jaminan pekerjaan dan kondisi kerja yang layak terutama bagi tenaga kesehatan migran dari negara berkembang.

    5. Global Supply and Logistics Network

    6. Pembiayaan. Mekanisme pembiayaan didorong melalui Global Public Investment.

    Kesimpulan



    Hasil verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Pandemic Treaty berbahaya bagi rakyat adalah Belum Ada Bukti.

    WHO telah menetapkan batas waktu pada Mei 2024 untuk negosiasi Perjanjian Pandemi atau Pandemic Treaty. Perjanjian tersebut ditujukan untuk memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Meski begitu masih banyak kritik atas substansi terkait akses terhadap kebutuhan selama pandemi dan tanggung negara untuk mencegah pandemi berulang. Karena perjanjian ini belum dilaksanakan, belum ada bukti yang bisa dirujuk bahwa Pandemic Treaty membahayakan keselamatan rakyat Indonesia.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Keliru, Video yang Diklaim Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres 2024

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita



    Sebuah video beredar di Facebook akun ini [ arsip ], ini, dan ini, serta di Twitter, dengan narasi bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa Pilpres 2024 telah keluar. Selain itu, terdapat klaim bahwa hakim MK memutuskan mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dari perhelatan Pilpres 2024.

    Video itu memperlihatkan Ketua MK Suhartoyo sedang memimpin sidang sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024. Suara dalam video dikatakan sebagai bacaan keputusan MK, yakni pertama mengabulkan seluruh permohonan pemohon dengan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran serta membatalkan Keputusan KPU Nomor 1632 Tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.

    Berikut narasi yang disertakan: *alhamdulilah. akhirnya paslon 02 prabowo-gibran didiskualifikasi dan ada pemilu ulang... makasih yaa allah... mahkamah konstitusi... mari saudaraku viralkan ke seantero negeri dan dunia. allahu akbar....!!!*



    Namun, benarkah video itu memperlihatkan hakim MK yang sedang membacakan putusan kasus sengketa Pilpres 2024? 

    Hasil Cek Fakta



    Tempo memverifikasi narasi itu dengan mencari sumber video, menggunakan mesin pencari Google. Ditemukan sejumlah informasi terverifikasi mengenai video yang beredar tersebut.

    Berikut hasil penelusurannya:

    Verifikasi Video



    Video yang beredar memperlihatkan Hakim MK Suhartoyo di ruang sidang serta teks berisi sejumlah poin. Video Suhartoyo dalam konten tersebut sama dengan siaran langsung saluran YouTube Mahkamah Konstitusi RI, tertanggal 27 Maret 2024.

    Sesungguhnya Suhartoyo dalam video itu tidak sedang membacakan putusan hakim. Video itu memperlihatkan tahap Penyampaian Permohonan Pemohon dari rangkaian proses sengketa hasil Pilpres 2024 di MK, bukan sidang pembacaan putusan.



    Sementara teks dan suara dalam video yang beredar, sama dengan unggahan saluran YouTube Metro TV, tertanggal 27 Maret 2024. Video itu memperlihatkan pembacaan tuntutan oleh Bambang Widjojanto terkait sengketa Pilpres 2024 di MK.

    Bambang adalah mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjadi bagian dari tim hukum pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam sengketa Pilpres 2024.

    Sembilan poin tuntutan yang dibacakan dalam video yang beredar itu sama dengan sembilan tuntutan tim hukum kubu Anies-Muhaimin dalam sengketa Pilpres 2024 di MK, yang diberitakan CNBC Indonesia.

    Sehingga bisa disimpulkan, suara dalam video yang beredar bukan dari Suhartoyo yang membacakan putusan, melainkan suara Bambang yang sedang membacakan sembilan poin tuntutan kubu Anies-Muhaimin.

    Jadwal Persidangan MK

    Tahapan proses sengketa Pilpres 2024 di MK dimulai dengan pengajuan permohonan dari pemohon yang bisa dilakukan pada tanggal 21 sampai 23 Maret 2024. Tahap berikutnya adalah pemeriksaan pendahuluan pada 27 Maret 2024.

    Persidangan pertama atas kasus sengketa Pilpres 2024 dilaksanakan 28 Maret 2024, lalu persidangan kedua pada tanggal 1 sampai 18 April 2024. Pengucapan putusan akan dilaksanakan tanggal 22 April 2024. Artinya, saat ini proses di MK belum sampai pada tahap pembacaan putusan hakim.

    Yang menjadi hakim dalam proses persidangan ini adalah Ketua MK Suhartoyo, Wakil Ketua MK Saldi Isra, serta enam hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, M Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan narasi yang mengatakan video yang beredar memperlihatkan Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan hakim MK atas sengketa Pilpres 2024, adalah klaim keliru.

    Video yang beredar sesungguhnya gabungan dari bagian-bagian video pembacaan tuntutan dalam sengketa Pilpres 2024 di MK. Video telah direkayasa sehingga seakan-akan memperlihatkan pembacaan putusan hakim, padahal bukan.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Menyesatkan, Pernyataan Donald Trump Hubungkan Pandemi Covid-19 dengan Kecurangan Pemilu AS

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita



    Sebuah video beredar di Facebook [ arsip ] memuat pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat tentang kelompok kiri yang dinilai akan menghidupkan kembali lockdown, pembatasan Covid-19, mandat memakai masker dan vaksinasi. Menurut pria yang kini menjadi kandidat utama Partai Republik untuk Pilpres 2024 itu, munculnya varian baru virus penyebab Covid-19 diklaim sebagai propaganda untuk menimbulkan ketakutan. 

    Langkah-langkah itu, kata Trump, bertujuan untuk mencurangi Pemilu 2024 seperti yang diklaimnya terjadi pada Pemilu 2020 sehingga menyebabkan ia kalah melawan Joe Biden. “Mereka ingin mengulangi histeria Covid-19,” kata dia.



    Artikel ini akan memverifikasi dua hal:

    1. Benarkah pidato Donald Trump tersebut?

    2. Benarkah pandemi Covid-19 berkaitan dengan kecurangan Pemilu AS? 

    Hasil Cek Fakta



    Klaim 1: Benarkah Donald Trump berpidato soal klaim lockdown Covid-19 bertujuan untuk mencuranginya di Pemilu 2024?

    Fakta: Donald Trump memang benar menyatakan hal itu, sesuai video yang diunggah oleh akun Twitter @TeamTrump pada 31 Agustus 2023. Akun Twitter itu dikelola tim kampanye Trump sebagai calon presiden dalam Pilpres Amerika Serikat tahun 2024.



    Dikutip dari NewsWeek, konteks pernyataan Trump itu, dia mencela berita bahwa beberapa institusi di Amerika Serikat yang menerapkan kembali mandat penggunaan masker karena meningkatnya varian virus corona baru, dan menghubungkan dugaan “ketakutan” dengan klaim pribadinya bahwa pemilu 2024 akan menjadi sasaran kecurangan.

    Pada tanggal 19 Agustus, terdapat lebih dari 15.000 pasien rawat inap yang tercatat di Amerika Serikat karena infeksi COVID-19, menurut data dari CDC. Jumlah itu meningkat hampir 19 persen dari minggu sebelumnya.  

    Beberapa institusi swasta, operator rumah sakit, dan perguruan tinggi di AS telah menerapkan kembali persyaratan bagi staf atau pengunjung untuk memakai masker saat berada di lokasi mereka untuk membatasi penyebaran varian virus corona baru—EG.5 dan BA.2.86—yang baru-baru ini muncul.

    Klaim 2: Benarkah lockdown selama pandemi Covid-19 untuk mencurangi pemilu 2020 di AS?

    Fakta: Klaim itu dilontarkan Donald Trump selama Pemilu 2020. Namun, dikutip dari Cek Fakta Reuters bahwa klaim tersebut tidak pernah disertai bukti adanya kecurangan dalam surat suara.

    Saat itu, narasi yang beredar bahwa Partai Demokrat memenangkan Pemilu AS dengan mencurangi surat suara di tengah pandemi Covid-19. Riset Onyeaka et., al.,  (2021) berjudul “COVID-19 pandemic: A review of the global lockdown and its far-reaching effects” mengungkapkan, penguncian secara global atau lockdown, disebabkan oleh sindrom pernapasan akut parah virus corona-2 (SARS-CoV-2). Hal ini juga dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020. Lockdown bertujuan untuk membendung penyebaran virus dan meratakan kurva pandemi, meski kemudian memberikan dampak pada berbagai sektor kehidupan.

    Lockdown yang ditujukan untuk menghentikan penyebaran virus, juga terjadi di banyak negara lainnya, bukan hanya di Amerika Serikat. Maka, ini tidak ada kaitannya dengan Pemilu AS.

    Ungkapan-ungkapan Kontroversial

    Semasa menjabat, Trump beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang kontroversial, termasuk tentang pandemi Covid-19. Salah satunya pernyataannya tentang Partai Demokrat Amerika Serikat mempolitisir pandemi untuk memojokkan dirinya.

    Hal itu menimbulkan kesalahpahaman dan kontroversi di tahun 2020. Kalimatnya dianggap menyatakan bahwa pandemi Covid-19 adalah hoax yang dibuat politikus Partai Demokrat. Padahal maksud sebenarnya menyatakan Partai Demokrat memojokkan dirinya menggunakan isu pandemi, sebagaimana diberitakan Politifact.com.

    Disebutkan juga bahwa Factcheck.org, The Washington Post, Snopes, dan AP, menyimpulkan sesungguhnya konteks kalimat Trump saat itu tidak menyatakan bahwa pandemi atau virus Covid-19 tipuan belaka.

    Trump juga pernah mempublikasikan cuitan kontroversial yang menyinggung tes Covid-19, berita palsu, dan media konspirasi, jelang Pemilu Amerika Serikat 2020. Tweet itu ia keluarkan saat kasus baru Covid-19 jumlahnya naik hingga memecahkan rekor baru, sebagaimana diberitakan CNBC.

    Trump dinilai meremehkan pandemi Covid-19. Hal itu tampak dari dia membandingkan virus Covid-19 dengan flu biasa, menyampaikan jumlah korban lebih sedikit dari data sesungguhnya, dan mengusulkan anggaran pengendalian Covid-19 yang sangat sedikit dibanding ekspektasi kongres, sebagaimana dilaporkan NBC News.

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang menyatakan video yang beredar memperlihatkan Trump mengatakan ada kelompok orang yang berencana menciptakan pandemi lagi pada tahun 2024, adalah klaim yang menyesatkan.

    Sesungguhnya Trump mengatakan bahwa kelompok sayap kiri di negaranya, pada Agustus 2023 itu, merencanakan memberlakukan lockdown karena meningkatnya sub varian baru Covid-19. Ia khawatir hal itu merugikannya sebagai capres dalam Pemilu AS 2024.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Keliru, Klaim Vaksin Covid-19 Sebabkan Penyakit Lambung pada Perempuan

    Sumber:
    Tanggal publish: 01/04/2024

    Berita



    Sebuah akun di Facebook [ arsip ] mengunggah konten dengan klaim seorang pelajar yang pernah mendapatkan vaksin Covid-19 mengalami penyakit lambung. Pelajar perempuan disebut sebagai yang paling rentan mendapatkan ancaman itu.  

    Konten itu memuat penjelasan bahwa vaksin Covid-19 dapat menyerang dan menginfeksi lambung agar penderita tidak bisa mendapatkan saripati dari makanan. “Dengan kata lain lambungnya sengaja di-blocked. Karena lambung sudah ter-blocked maka obat kimia sintetis apapun ditelan akan berubah menjadi racun sekalipun itu paracetamol atau obat dosis ringan sekelas obat warung."

     

    Konten itu disertai foto hasil tangkapan layar ucapan duka pada seorang perempuan berhijab yang mengenakan seragam sekolah. Tertulis pada foto itu bahwa ia meninggal dunia karena penyakit lambung. Namun, benarkah klaim bahwa vaksin Covid-19 menyebabkan penyakit lambung pada perempuan?

    Hasil Cek Fakta



    Tim Cek Fakta Tempo mengkonfirmasi klaim di atas dengan mewawancarai Ketua Dokter Indonesia Bersatu, Eva Sri Diana. Ia menjelaskan konsep vaksin.

    Vaksin sengaja dimasukkan seakan-akan mirip dengan virus aslinya dalam bentuk yang bisa dikontrol tubuh sehingga aman. Tujuannya agar sel-sel tubuh kita yang berfungsi melindungi, bisa mengenalinya kemudian menyimpan memori yang gunanya jika ada virus asli masuk suatu saat, maka tubuh langsung memberi perlawanan.

    “Jadi vaksin membentuk kekebalan/imunitas sebelum terpapar. Tidak benar cairan vaksin Covid-19 itu menyerang dan menginfeksi lambung,” kata Eva lewat pesan singkat kepada Tempo, Kamis, 28 Maret 2024.

    Menurut epidemiolog Dicky Budiman, keluhan pada lambung bisa saja merupakan dampak lanjut infeksi Covid-19 berulang atau risiko long covid. Infeksi covid bisa terjadi pada berbagai organ tubuh.

    “Namun untuk memastikannya, tentu perlu pemeriksaan intensif oleh ahli. Yang terpenting lakukan perilaku hidup sehat dan bersih. Dan jangan lupa booster immune dengan vaksinasi, terutama bagi yang rentan,” kata Dicky melalui pesan singkat, kemarin.

    Dikutip dari situs Centers for Disease Control and Prevention bahwa penelitian menunjukkan orang yang tertular Covid-19 setelah vaksinasi lebih kecil kemungkinannya untuk melaporkan Long Covid-19 –istilah untuk menyebut dampak lanjutan setelah terinfeksi virus penyebab penyakit Covid-19, dibandingkan dengan orang yang tidak divaksinasi. Meskipun Long Covid tampaknya lebih jarang terjadi pada anak-anak dan remaja dibandingkan pada orang dewasa, efek jangka panjang setelah COVID-19 memang terjadi pada anak-anak dan remaja.

    Mantan Ketua Satgas Covid-19 IDI, Prof Dr dr Zubairi Djoerban SpPD-KHOM menyampaikan, pada sebuah laporan penelitian, ada beberapa orang yang melaporkan timbulnya gejala GERD, seperti mulas selama atau setelah terjangkit Covid-19.

    “Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) terjadi ketika asam lambung mengalir kembali ke kerongkongan yang menyebabkan sering mengalami mulas, regurgitasi atau nyeri. Ada kemungkinan Covid-19 berkontribusi terhadap GERD karena dapat menimbulkan gejala pencernaan,” ungkap Zubairi lewat pesan singkat.

    National Library of Medicine melansir bahwa Covid-19 utamanya menyerang sistem pernapasan. Namun dapat berdampak pada sistem organ lain, khususnya sistem pencernaan. Pada penelitian yang melibatkan 561 pasien Covid-19, hasilnya hampir 40% pasien mengalami gejala gastrointestinal, terutama kehilangan nafsu makan, mual, muntah dan diare. Namun, adanya gejala gastrointestinal tidak dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk seperti angka kematian, masuk ICU, lama rawat inap di rumah sakit, dan peningkatan intubasi mekanis pada pasien Covid-19.

    Kesimpulan



    Hasil verifikasi Tempo, klaim vaksin Covid-19 menyebabkan penyakit pada lambung adalah keliru.

    Sebaliknya, vaksin membentuk kekebalan tubuh dari virus penyebab Covid-19. Terinfeksi virus Covid-19 bisa berdampak pada sistem organ pencernaan.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini