• Keliru, Video Berisi Klaim Pertolongan Pertama Penyakit Stroke dengan Menusuk Jari

    Sumber:
    Tanggal publish: 13/05/2024

    Berita



    Sebuah video berisi tutorial pertolongan pertama pada orang yang terkena stroke dengan menusukkan jarum di ujung jari-jari, dibagikan di salah satu akun Facebook [ arsip ] pada 6 Mei 2024.

    Narator dalam video itu menjelaskan cara pertolongan pertama pada penyakit stroke dengan . Berikut narasi lengkapnya: “……selamatkan pertolongan pertama ya diantaranya, jika dia kerasa sebelah kanan, cepet tusuk dengan jarum ujung jari-jari, keluar darah sedikit, sudah pertolongan pertama bagi dia atau bisa dibekam langsung atau bisa di fashdu langsung. Sepulu cc keluar sudah gagal kena stroke solafia, ya tentunya dengan izin Allah Subhanahu wa ta'ala ini rahmat allah



    Hingga artikel ini diturunkan, video tersebut sudah 832 ribu kali ditonton, disukai 8,9 ribuan pengguna Facebook, 225 komentar dan 4,4 ribuan kali dibagikan ulang. Namun, benarkah pertolongan pertama penyakit stroke dengan menusuk jari pakai jarum?

    Hasil Cek Fakta



    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim Cek Fakta Tempo menghubungi Spesialis Neurologi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Abdoer Rahem Situbondo, dr. M. Reza Fathoni, Sp.N.

    Penyembuhan stroke tidak dapat dilakukan dengan cara menusuk ujung jari-jari pakai jarum, atau dengan sistem bekam dan fashdu. Langkah tersebut, seperti fashdu bisa dilakukan jika tujuannya hanya untuk memperlancar peredaran darah.

    “Jika untuk menyembuhkan, jelas salah. Sifatnya sampai sekarang di bidang kedokteran hanya terapi komplementer (terapi pelengkap/tambahan),” kata Reza kepada Tempo saat dihubungi melalui pesan singkat, Sabtu, 11 Mei 2024.

    Terapi utama untuk stroke dengan memperhatikan faktor risiko stroke, yaitu menormalkan tekanan darah, kolesterol, kencing manis, karena ini penyebab terjadinya aterosklerosis yang merupakan cikal bakal terjadinya serangan stroke selanjutnya.

    Reza menambahkan, pasien setelah terkena stroke terutama jenis trombotik atau penyumbatan pasti mengalami pengentalan darah. Sehingga, seumur hidup memerlukan obat antiplatelet (pengencer darah), seperti jenis aspilet, clopidogrel, untuk diminum setiap hari, sebagai secondary prevention terjadinya serangan stroke ulang.

    Dikutip dari situs resmi Universitas Gadjah Mada, Dr. dr. Ismail Setyopranoto Sp.S(K), dari Departemen Neurologi, FK-KMK UGM, menjelaskan ada dua macam faktor risiko yang dapat meningkatkan seseorang terkena stroke, yaitu faktor risiko yang dapat dikendalikan dan yang tak dapat dikendalikan.

    Faktor risiko yang tidak bisa dikendalikan antara lain umur, jenis kelamin tertentu, keturunan, dan orang yang pernah terkena stroke. Faktor risiko yang bisa dikendalikan antara lain diabetes, obesitas, hipertensi, kurang aktivitas dan olahraga, merokok, alkohol, dsb.

    “Stroke dapat dicegah dengan pola hidup yang sehat (makan makanan sehat, olahraga teratur, tidak merokok, minum alkohol sesuai takaran), menurunkan tingkat kolesterol & tekanan darah tinggi, dan menjaga kadar normal gula darah,” ujarnya.

    Kesimpulan



    Berdasarkan pemeriksaan fakta, video berisi klaim pertolongan pertama penyakit stroke dengan menusuk jari pakai jarum adalah keliru.

    Penyembuhan stroke tidak dapat dilakukan dengan cara menusuk ujung jari-jari pakai jarum, atau dengan sistem bekam dan fashdu. Langkah tersebut, seperti fashdu bisa dilakukan jika tujuannya hanya untuk memperlancar peredaran darah.

    Setelah terkena stroke terutama jenis trombotik atau penyumbatan pasti mengalami pengentalan darah. Sehingga, seumur hidup memerlukan obat antiplatelet (pengencer darah), seperti jenis aspilet, clopidogrel, untuk diminum setiap hari, sebagai secondary prevention terjadinya serangan stroke ulang.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Keliru, Konten Berisi Klaim Penerima Vaksin Covid-19 mRNA akan Meninggal Dalam 3 atau 5 Tahun

    Sumber:
    Tanggal publish: 13/05/2024

    Berita



    Sebuah gambar disebarkan di Facebook oleh akun ini dan ini, yang diklaim memperlihatkan ilmuwan terkenal di bidang kesehatan yang menyatakan orang yang telah menerima vaksin Covid-19 berbasis mRNA akan meninggal dunia dalam tiga sampai lima tahun.

    Narasi tersebut diklaim bersumber dari Profesor Dr. Dolores Cahill yang disebut ahli selama 25 tahun dalam isu susunan protein dan antibodi. Berikut narasi lengkapnya: Seorang ilmuwan terkenal di dunia dan ahli imunologi terkemuka telah menaikkan alarm peringatan eksplosif kepada publik bahwa setiap orang yang telah divaksin dengan suntikan COVID mRNA akan mati dalam 3 sampai 5 tahun, bahkan jika mereka hanya memiliki satu suntikan. 



    Namun, benarkah orang yang telah menerima vaksin Covid-19 berbasis mRNA pasti akan meninggal dunia dalam tiga atau lima tahun?

    Hasil Cek Fakta



    Tempo memverifikasi narasi tersebut, dengan menelusuri sumber gambar dan informasi konten yang beredar, menggunakan mesin pencari Google dan kata kunci. Ditemukan sumber gambar dan informasi dalam narasi yang beredar tersebut. Berikut hasil penelusurannya:

    Verifikasi Gambar



    Gambar tangkapan layar dalam konten yang beredar sesungguhnya menampilkan sosok Cahill di website Slaynews.com. Artikel itu berjudul “Ilmuwan Terkemuka: Semua Orang yang Telah Divaksin akan meninggal dunia dalam tiga sampai lima hari.

    Artikel tertanggal 1 Mei 2024 itu mengatakan Cahill mengeluarkan peringatan terbaru terkait efek vaksinasi Covid-19 berbasis mRNA. Dituliskan bahwa menurutnya setiap orang yang mendapat vaksin itu akan meninggal pada tiga atau lima tahun kemudian.

    Setelah artikel itu disimak, diketahui bahwa Cahill tidak menyertakan penelitian atau sumber informasi yang relevan sebagai dasar klaim-klaimnya. Factcheck.org menyatakan klaim Cahill itu keliru.

    Di sisi lain, Direktur Pusat Biodesain untuk Imunoterapi, Vaksin, dan Viroterapi di Arizona State University, Grant McFadden, menyatakan sesungguhnya catatan keamanan vaksin mRNA sangat baik.

    Dia mengatakan memang belum ada catatan rekam penggunaan vaksin Covid-19 berbasis mRNA dalam jangka waktu panjang. Demikian juga tidak ada bukti ilmiah yang mendukung prediksi bahwa vaksin tersebut akan menyebabkan komplikasi hingga kematian.

    Cahill merupakan salah satu penyeru anti-vaksin Covid-19 yang terkenal secara global. Profesor asal Irlandia itu memiliki rekam jejak menyebarkan hoaks, misalnya pernah mengatakan bahwa semua orang di dunia telah memiliki kekebalan terhadap Covid-19 tanpa vaksinasi khusus Covid-19, sebagaimana telah diperiksa oleh AP News.

    Klaim Cahill itu tidak sesuai dengan fakta di Indonesia, di mana ada lebih dari 161 ribu orang meninggal dunia karena disebabkan Covid-19, bukan karena vaksin berbasis mRNA. Korban meninggal di Amerika Serikat bahkan tercatat lebih dari satu juta orang, sebagaimana ditampilkan Statista.com, juga karena infeksi virus penyebab Covid-19, bukan vaksin mRNA.

    Cahill juga pernah mengatakan bahwa vaksin flu biasa bisa melindungi manusia dari serangan Covid-19. Padahal menurut pemeriksa fakta AFP, keterangan resmi tentang vaksin flu biasa di Amerika Serikat, tidak menyatakan produk itu bisa menangkal serangan Covid-19. 

    Perbedaan Vaksin AstraZeneca dan mRNA

    Dilansir Tempo, perusahaan AstraZeneca baru-baru ini diberitakan menerbitkan dokumen untuk pengadilan Inggris, yang sebagian isinya mengakui produk mereka dapat memberi efek samping yang sangat jarang, berupa Sindrom Thrombosis dengan Trombositopenia (TTS). 

    Sindrom itu bisa menyebabkan seseorang mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah menjadi rendah. Kasus seperti itu beberapa kali diajukan ke pengadilan oleh keluarga korban, dengan terlapor perusahaan AstraZeneca.

    Perusahaan juga menarik kembali seluruh vaksin Covid-19 mereka dari berbagai negara. Namun, perusahaan mengaku melakukan penarikan bukan karena isu efek samping yang naik ke pengadilan, melainkan telah ada vaksin lain yang lebih baik.

    Dilansir website Mayoclinic.org, vaksin AstraZeneca berbeda dengan vaksin Covid-19 berbasis mRNA. Berdasarkan cara kerjanya, terdapat setidaknya tiga jenis vaksin Covid-19, yakni Messenger RNA (mRNA), Vektor, dan Subunit Protein.

    Vaksin berjenis mRNA bekerja dengan memberi instruksi sel tubuh untuk membuat protein S yang mirip permukaan luar virus Covid-19, sehingga antibodinya bisa berlatih mengidentifikasi dan melawan virus Covid-19. Vaksin berjenama Pfizer-BioNTech dan Moderna termasuk jenis ini.

    Kemudian vaksin jenis vektor bekerja menggunakan bagian dari virus Covid-19 yang telah dimasukkan ke virus lain yang telah dimodifikasi (virus vektor), untuk memantik antibodi manusia untuk membentuk kekebalan tubuh pada virus Covid-19.

    Jenama vaksin Covid-19 yang termasuk jenis ini ialah Janssen/Johnson & Johnson serta AstraZeneca dan Universitas Oxford. Kedua jenama vaksin Covid-19 itu telah ditarik dari pasaran.

    Sedangkan sub unit protein adalah jenis vaksin yang menggunakan bagian dari virus yang paling merangsang kekebalan tubuh. Vaksin Novavax menggunakan metode ini. Pada umumnya, ketiga jenis vaksin berupaya membuat protein S yang tidak berbahaya, untuk melatih antibodi melawan virus Covid-19. 

    Sementara Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( CDC ), berdasarkan pemantauan tahun 2023-2024, merekomendasikan pemakaian vaksin Pfizer-BioNTech, Moderna, atau Novavax untuk melawan virus Covid-19.

    Untuk menghindari efek samping yang parah seperti TTS, CDC menyarankan masyarakat memilih vaksin berbasis mRNA. Berdasarkan pemantauan di Amerika Serikat selama ini, vaksin Covid-19 yang mereka gunakan tidak meningkatkan risiko kematian.

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan penerima vaksin Covid-19 berbasis mRNA pasti akan meninggal dunia dalam tiga atau lima tahun adalah keliru.

    Berdasarkan pemantauan pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah pakar, penggunaan vaksin Covid-19 berbasis mRNA tidak meningkatkan risiko kematian terhadap seseorang.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [SALAH] Tsunami Japan 2024

    Sumber: Facebook.com
    Tanggal publish: 14/05/2024

    Berita

    Tsunami Japan 2024

    The Tsunami that Hit Japan was Terrifying

    SUBBAHANALLAH

    Hasil Cek Fakta

    Beredar video di Facebook pada 4 April 2024 mengenai klaim bencana tsunami di Jepang pada tahun 2024.

    Untuk mencari tahu kebenaran dari klaim tersebut, dilakukan pencarian di Google Lens. Hasilnya ditemukan beberapa video identik. Video pertama diunggah oleh channel Youtube CNN yang berjudul “Watch a massive tsunami engulf entire towns in Japan (2011)”. Video tersebut menampilkan peristiwa tsunami yang terjadi di wilayah Prefektur Miyagi Jepang, pada 11 Maret 2011.

    Kemudian untuk klip yang kedua berasal dari video Youtube ABC News yang berjudul “Whirlpool forms after Japan earthquake” yang diunggah pada 12 Maret 2011. Video tersebut memperlihatkan pusaran air saat terjadinya tsunami di Jepang pada 2011.

    Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa klaim mengenai terjadinya bencana tsunami di Jepang pada tahun 2024 adalah salah. Faktanya tsunami yang melanda Jepang terjadi pada 11 Maret 2011.

    Kesimpulan

    Klaim mengenai terjadinya bencana tsunami di Jepang pada tahun 2024 adalah salah. Faktanya tsunami yang melanda Jepang terjadi pada 11 Maret 2011.

    Rujukan

    • Mafindo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [SALAH] Kasus Demam Berdarah di Indonesia Meningkat karena Efek Vaksin Covid-19 atau Wolbachia

    Sumber: Facebook.com
    Tanggal publish: 14/05/2024

    Berita

    DBD meningkat bahkan ada yang sampai meninggal, efek vaksin covid atau nyamuk wolbachia yang gagal?

    Hasil Cek Fakta

    Artikel disadur dari Tempo.

    Pada 3 Mei 2024 lalu beredar unggahan di media sosial Facebook yang berisi klaim bahwa peningkatan kasus demam berdarah di Indonesia karena efek dari vaksin Covid-19 dan diterapkannya metode Wolbachia.

    Faktanya, klaim tersebut adalah tidak benar. Dilansir dari Tempo.com, Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Erni Juwita Nelwan, mengatakan faktor lingkungan berperan penting dalam lonjakan kasus DBD karena nyamuk Aedes aegypti biasanya bertelur saat musim panas. Telur-telur tersebut dapat bertahan hingga delapan bulan dan akan menetas saat tergenang air. Maka, musim panas berkepanjangan karena El Niño membuat stok telur Aedes aegypti meningkat dan saat hujan jumlah nyamuk yang lahir jauh lebih banyak dari biasanya.

    Dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada (UGM), penerapan metode Wolbachia untuk memberantas DBD telah dilakukan di sejumlah lokasi permukiman warga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak tahun 2011. Hasil dari proyek tersebut mengatakan bahwa penerapan metode Wolbachia memiliki tingkat risiko yang rendah terhadap manusia. Bakteri Wolbachia juga tidak menular ke manusia, maupun menyebabkan sakit. Wolbachia justru bisa mengurangi transmisi infeksi virus dengue ke tubuh manusia. Nyamuk ber wolbachia efektif bisa menurunkan sampai 77% infeksi dengue dan mencegah hospitalisasi hingga 83%.

    Dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa klaim mengenai kasus DBD di Indonesia meningkat karena efek vaksin dan penggunaan metode Wolbachia adalah salah. Faktanya Wolbachia mampu mengurangi infeksi virus dengue ketubuh manusia. Nyamuk ber wolbachia mampu menurunkan infeksi dengue sampai dengan 77% dan mencegah hospitalisasi hingga 83%.

    Kesimpulan

    Klaim mengenai kasus DBD di Indonesia meningkat karena efek vaksin dan penggunaan metode Wolbachia adalah salah. Faktanya Wolbachia mampu mengurangi infeksi virus dengue ketubuh manusia. Nyamuk ber wolbachia mampu menurunkan infeksi dengue sampai dengan 77% dan mencegah hospitalisasi hingga 83%.

    Rujukan

    • Mafindo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini