• Benar, Klaim Anies Baswedan bahwa Puluhan Ribu Guru Honorer Belum Diangkat dan 1,6 Juta Guru Belum Tersertifikasi

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/02/2024

    Berita


    Calon Presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, mengatakan bahwa puluhan ribu guru honorer yang belum diangkat sebagai guru honorer dan ada 1,6 juta guru belum tersertifikasi. 
    “Jadi masalah-masalah yang kita miliki sekarang, misalnya ada puluhan ribu guru honorer belum diangkat menjadi guru PPPK. Ada 1,6 juta guru belum tersertifikasi. Lalu beban administrasi. Itu semua bisa diselesaikan dengan prinsip tadi. Bahwa kita harus bertanggung jawab atas kesejahteraan pendidiknya,” kata Anies Baswedan dalam debat ke 5 Capres, Minggu 4 Februari 2024.
    Apa benar puluhan ribu guru honorer tidak diangkat jadi guru PPPK dan 1,6 Juta guru belum tersertifikasi?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: Puluhan ribu guru honorer belum diangkat jadi PPPK
    PPPK adalah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja adalah guru yang diangkat oleh pemerintah sebagai ASN namun bukan PNS. 
    Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan klaim yang disampaikan Anies lebih rendah dari situasi faktualnya. Pada 2023, masih ada 742 ribu guru honorer di sekolah negeri.
    Nabiyla Risfa, Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, mengatakan masih ada ratusan ribu guru honorer yang menunggu diangkat untuk menjadi PPPK. Target di tahun 2024 adalah 1 juta guru, namun hingga 2023 masih 544.000 orang yang diangkat. 
    Klaim 2: 1,6 juta guru belum tersertifikasi
    Menurut Peneliti The SMERU Research Institute, Luhur Arief Bima, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengakui sebanyak 1,6 juta guru belum menerima penghasilan yang layak.
    Kepala Badan Standar, Kurikulum & Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo mengatakan hal itu terjadi lantaran mereka masih menunggu sertifikasi program pendidikan profesi guru (PPG) sebagai syarat memperoleh tunjangan profesi guru (TPG). Jumlah guru honorer sekolah pada tahun 2022 sebanyak 704 ribu, sementara pada 2023 kemendikbud mengangkat 296 ribu guru P3K. 
    Laporan Kompas.id, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat, jumlah guru yang tersertifikasi di Indonesia belum mencapai 50 persen. Sekitar 1,6 juta dari total 3,1 juta guru belum disertifikasi, padahal sertifikasi menjadi ukuran dalam menentukan kelayakan profesi.
    Persentase guru yang tersertifikasi terbanyak ada di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) sebesar 48,44 persen, berikutnya di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sebesar 45,77 persen. Sementara persentase terkecil di jenjang sekolah menengah kejuruan (SMK) yang hanya 28,49 persen.
    Mengutip data Data resmi KemenPAN-RB, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Klara Esti, menyebutkan dari jumlah total tenaga honorer yang mencapai 2.355.092 orang, sebanyak 731.524 diantaranya merupakan guru honorer. Sementara, jumlah formasi PPPK Guru 2023 instansi daerah hanya 296.084. Sementara belum tersertifikasi berjumlah 1,6 juta guru. 

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan Fakta Tempo bersama ahli, puluhan ribu guru honorer tidak diangkat jadi guru PPPK dan 1,6 Juta guru belum tersertifikasi adalah benar.
    Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengakui sebanyak 1,6 juta guru belum menerima penghasilan yang layak dan masih ada ratusan ribu guru honorer yang menunggu diangkat untuk menjadi PPPK.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Sebagian Benar, Klaim Ganjar Pranowo bahwa Anggaran Kesehatan Tidak Mencapai 5-10 persen dari APBN

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/02/2024

    Berita


    Calon Presiden Republik Indonesia nomor urut 3, Ganjar Pranowo dalam debat presiden sesi 5 menyebutkan anggaran kesehatan kerap terpotong sehingga tidak mencapai 5-10 persen dari APBN.
    “Pada tahap berikutnya kita berikan fasilitas kesehatan sampai ke desa-desa, 1 desa satu faskes satu naskes hanya memang ketika UU sebelumnya mengatur persentase dari anggaran untuk kesehatan yang diberikan angka 5 sampai 10% itu terpotong, itu harus dikembalikan”
    Lantas, benarkah anggaran kesehatan terpotong sehingga tidak mencapai 5-10 persen dari APBN?

    Hasil Cek Fakta


    Sesuai UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, memandatkan bahwa minimal alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN. Menurut Data Indonesia yang merujuk data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 2010-2022, pemerintah hanya berhasil memenuhi kewajiban tersebut pada empat tahun.
    Rasio anggaran kesehatan sebesar 5% pada 2016. Kemudian, rasio anggaran kesehatan kembali melebihi 5% pada 2020, 2021, dan 2022. Besarnya rasio anggaran kesehatan pada tiga tahun terakhir terjadi seiring dengan pandemi Covid-19. Pemerintah harus mengeluarkan dana yang besar untuk program penguatan 3T (testing, tracing, and treatment), klaim biaya perawatan pasien Covid-19, penyediaan obat, insentif tenaga kesehatan, serta vaksinasi.
    Walaupun ada mandatory spending sebesar 5%, rasio anggaran kesehatan Indonesia terbilang masih sangat kecil jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB), yakni 1,51%. Persentase ini masih jauh dari ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang sebesar 4%-5% dari PDB.

    Anis Fuad, Dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FK-KMK Universitas Gadjah Mada mengatakan, dalam UU Kesehatan yang baru nomor 17 tahun 2023, tidak diatur lagi mengenaimandatory spending. Sebelum UU Kesehatan yang baru disahkan, belanja wajib minimal kesehatan 5 persen, namun, dalam pelaksanaannya, memang sering tidak dapat mencapai. 
    Klara Esti,senior research associateCentre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mengatakan dalam APBN 2024, anggaran kesehatan Indonesia sebesar Rp 186,4 triliun atau sebesar 5,6% dari APBN. Namun pada 2023 anggaran kesehatan Indonesia hanya mencapai Rp 96,6 triliun atau 4,3 persen.  
    Pada tahun anggaran 2024 misalnya anggaran kesehatan Indonesia mencapai 184 triliun atau 5,6 persen dari total rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Angka tersebut naik 8,05 persen dibandingkan pada outlook APBN 2023 yang sebesar Rp 172,5 triliun. Peningkatan anggaran kesehatan tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2021 yang mencapai Rp 312 triliun. 

    Kesimpulan


    Hasil pemeriksaan fakta Tempo, pernyataan Calon Presiden Republik Indonesia nomor urut 3, Ganjar Pranowo dalam debat presiden sesi 5 yang menyebutkan anggaran kesehatan kerap terpotong sehingga tidak mencapai 5-10 persen dari APBN adalahsebagian benar. 
    Dalam kurun waktu lima tahun anggaran Kesehatan Indonesia sesungguhnya selalu mengalami peningkatan meski di beberapa periode tahun anggaran tidak mencapai 5 persen. Hal ini dikarenakan mandatory spending atau belanja wajib di sektor kesehatan sudah tidak lagi dikunci pada kisaran 5 persen dari APBN.
    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
    Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 16 media dan 7 pane

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Benar, Klaim Prabowo Bahwa Stroke dan Jantung Penyebab Kematian Utama Indonesia dan Jumlah Dokter Spesialis yang Belum Memadai

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/02/2024

    Berita


    Calon Presiden nomor urut 2 untuk Pilpres 2024, Prabowo Subianto, mengatakan bahwa terdapat dua penyebab utama angka kematian penduduk Indonesia, yakni penyakit stroke dan jantung.
    Hal itu disebabkan di beberapa kabupaten tidak ada dokter spesialis jantung dan stroke, serta tidak ada fasilitasCT scanyang memadai.
    “Jadi saya lebih ke arah solutif langsung dan cepat, masalah kesehatan di Indonesia adalah kurangnya dokter, kurang 140.000 dokter itu yang utama. Bayangkan kalau ada yang kena stroke atau jantung, dua sebab kematian di beberapa kabupaten tidak ada dokter spesialis jantung atau spesialis stroke. Dua, perlengkapan yang memadaiCT scan, jarang ada di kabupaten. Ini harus kita atasi,” kata Prabowo dalam Debat Capres Pilpres yang digelar KPU, Minggu, 4 Februari 2024.
    Namun, benarkah klaim yang mengatakan angka kematian penduduk Indonesia yang utama adalah stroke dan jantung?

    Hasil Cek Fakta


    Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) seperti dikutip dari Kata Data, terdapat 10 penyakit sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
    Urutan pertama adalah stroke dengan 131,8 kasus kematian per 100 ribu penduduk. Kedua, ada jantung iskemik atau penyebab serangan jantung dengan 95,68 kasus.
    Dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) Anis Fuad, S.Ked, DEA, menyatakan benar bahwa penyakit stroke dan jantung merupakan salah satu penyebab utama kematian penduduk Indonesia.
    “Namun demikian ketersediaan dokter spesialis, sarana, prasarana dan alkes untuk diagnostik dan penanganan penyakit jantung yang tidak merata menjadi salah satu sebab penanganan yang tidak optimal,” kata Anis, Minggu, 4 Februari 2024.
    Ia mengutip data yang dilaporkan Suara.com, yang mengatakan bahwa Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) menyatakan bahwa terdapat empat provinsi di Indonesia yang memiliki dokter spesialis jantung kurang dari lima orang.
    Empat provinsi itu adalah Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Bengkulu. Dengan demikian rasio antara jumlah dokter spesialis jantung dan jumlah penduduk yang dilayani tidak proporsional.
    Rasio proporsional seharusnya 28 orang dokter spesialis jantung melayani 100 ribu penduduk. Namun dengan kondisi yang ada, berarti rasionya sekitar satu dokter spesialis jantung melayani 100 ribu penduduk.
    "Masih banyak memang, di kabupaten sekitar 230 kabupaten memang belum memiliki dokter spesialis jantung. Jadi ini baru sampai ke kota ibu kota provinsi," kata Ketua PERKI, Dr. Radityo Prakoso, SpJP(K), pada 4 Agustus 2022.

    Kesimpulan


    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Prabowo terkait penyakit jantung dan stroke menjadi salah satu penyebab kematian utama penduduk Indonesia dan jumlah dokter spesialisnya yang belum memadai terjadi di sejumlah kabupaten, adalahbenar.
    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
    Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 16 media dan 7 panel ahli di Indonesia.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Sebagian Benar, Klaim Anies Baswedan bahwa 45 Juta Orang Indonesia Belum Bekerja dengan Layak dan 70 Juta tidak Punya Jaminan Sosial

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/02/2024

    Berita


    Sebut 45 juta orang di Indonesia belum bekerja dengan layak. Selain itu, Capres nomor urut 1 Anies Baswedan menyebut 70 juta orang di Indonesia tidak punya Jaminan Sosial. Hal ini disampaikan Anies dalam debat ke 5 Capres Pemilu 2024, Minggu 4 Februari 2024.  
    “Bicara jaminan sosial, lebih dari 70 juta orang tidak punya jaminan sosial. Bicara pendidikan, jauh dari kota, terpencil, masa depan jadi suram. Kemampuan tinggi, kesempatan tidak ada,” kata Anies saat menyampaikan visi misi.
    Apa benar 45 juta orang Indonesia belum bekerja dengan layak dan  70 juta orang tidak punya Jaminan Sosial?

    Hasil Cek Fakta


    Klaim 1: 45 juta orang belum bekerja dengan layak
    Mengutip data Badan Pusat Statistik atau BPS, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Klara Esti mengatakan jumlah buruh dengan upah rendah yaitu dari 13,59 juta orang pada 2021 meningkat menjadi 14,83 juta pada 2022.
    Menurut Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa, Klaim "45 juta orang belum bekerja dengan layak" kemungkinan merujuk pada orang yang bekerja, namun pekerjaannya tidak layak. Jika kita melihatnya dalam konteks pekerja yang berada dalam sektor informal, maka data BPS tahun 2023 mencatat bahwa pekerja di sektor informal ada di angka 82,57 juta orang. 
    Klaim 2: 70 juta orang tidak punya jaminan sosial
    Berdasarkan arsip berita Tempo, Data Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan bahwa jumlah pekerja di Indonesia mencapai 120 juta. Dari angka tersebut, 92 juta pekerja memiliki potensi yang harus dilindungi, tapi baru 52 juta tenaga kerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, dan dari 52 juta yang mendaftar baru 32 juta yang aktif membayar iuran. 
    Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo menyatakan hal tersebut menjadi tantangan badan yang dipimpinnya saat ini. "Artinya tugas kami masih belum selesai, karena masih banyak di luaran sana para pekerja yang terpapar risiko, tapi belum memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan,” ujar dia di gedung BP Jamsostek, Jakarta Selatan, Kamis, 8 September 2022.
    Jika dari 92 juta yang aktif tersebut, kata Anggoro, hanya 32 juta pekerja, artinya ada 60-an juta pekerja yang belum terlindungi. Menurut dia, mereka semua pekerja memiliki risiko kecelakaan, menghadapi hari tua, pensiun, kehilangan pekerjaan, bahkan kematian.
    Menurut Peneliti The SMERU Research Institute, Luhur Arief Bima, pernyataan Anies Baswedan Tidak sepenuhnya Benar. Berdasarkan data BPS 2022, ada sekitar 60 juta pekerja yang  belum terlindungi oleh jaminan sosial.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta bersama para ahli, klaim Anies Baswedan bahwa  45 juta orang Indonesia belum bekerja dengan layak dan 70 juta orang tidak punya Jaminan Sosial adalah Sebagian Benar. 
    Data BPS tahun 2023 mencatat bahwa pekerja di sektor informal ada di angka 82,57 orang. Masih dari Data BPS, sebanyak 60-an juta pekerja di Indonesia belum terlindungi jaminan sosial.
    **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id
    Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 16 media dan 7 panel ahli di Indonesia

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini