tirto.id - Beredar di media sosial, sebuah unggahan video yang mengeklaim adanya program pemberian subsidi bahan bakar minyak (BBM) gratis berjenis Solar, Premium, Pertalite, dan Pertamax, di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik Pertamina.
Dalam unggahan tersebut, dinarasikan bahwa masyarakat bisa mendapatkan BBM, mulai dari 10 liter, hingga maksimal 100 liter, secara gratis, dengan cara mendaftarkan diri melalui sebuah akun Telegram. Waktu maksimal pendaftaran disebut adalah tanggal 30 November 2024.
Narasi ini diunggah oleh akun Tiktok bernama “Pertamina889”, lewat beberapa unggahan (unggahan 1, unggahan 2,unggahan 3, unggahan 4). Akun tersebut juga nampak menggunakan foto profil yang mencatut logo resmi milik Pertamina.
“Pengumuman: Diberitahukan kepada seluruh pemilik kendaraan bermotor, roda dua atau roda empat. Mulai hari ini sampai tanggal 30 november akan diadakan pengisian BBM jenis solar-premium, pertalite dan pertamax secara gratis di SPBU. Syarat wajib memiliki akun telegram khusus pendaftaran barcode menggunakan telegram,” tulis keterangan dalam salah satu unggahan tersebut.
Sepanjang Sabtu (9/11/2024) hingga Senin (11/11/2024), atau selama dua hari tersebar di Tiktok, salah satu unggahan telah ditayangkan 1,1 juta kali, serta mendapat 14,5 ribu tanda suka, 1,256 komentar, dan telah dibagikan ulang sebanyak 4.277 kali.
Berdasarkan pengamatan Tirto di kolom komentar salah satu unggahan tersebut, beberapa orang mempertanyakan kebenaran adanya program BBM gratis ini.
Lantas, bagaimana kebenaran informasi tersebut?
Hoaks Program Subsidi BBM Gratis yang Mencatut Pertamina
Sumber:Tanggal publish: 11/11/2024
Berita
Hasil Cek Fakta
Tirto melakukan penelusuran dengan mengamati video tersebut dari awal hingga akhir. Kami tidak menemukan adanya satupun petunjuk yang dapat membuktikan bahwa ada program pemberian BBM gratis di SPBU milik Pertamina.
Audio yang disertakan dalam video tersebut justru membahas soal Presiden Prabowo yang memberikan arahan kepada seluruh Kepala Daerah dan jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Indonesia dalam Rakornas di Sentul, Kamis (7/11/2024).
Setelah ditelusuri, narasi yang tidak terkait dengan adanya program pembagian BBM gratis tersebut berasal dari unggahan akun TikTok resmi milik Metro TV.
Tirto kemudian mengeklik link pendaftaran program pemberian BBM gratis tersebut. Hasilnya, tautan tersebut mengarahkan kami ke situs pendaftaran barcode subsidi tepat My Pertamina. Namun, setelah ditelusuri, situs tersebut bukanlah situs resmi milik Pertamina. Situs resmi pendaftaran subsidi tepat My Pertamina ada di linkini.
Penelusuran dilanjutkan dengan mengunjungi situs resmi dari Pertamina. Hasilnya, kami tidak menemukan adanya pengumuman soal program pemberian BBM gratis mulai dari 10 liter hingga 100 liter, yang diklaim diadakan sampai tanggal 30 November 2024, seperti dalam klaim unggahan.
Namun, dari situs resmi Pertamina tersebut, kami mendapatkan petunjuk bahwa akun TikTok pengunggah klaim tersebut bukan merupakan akun resmi milik Pertamina. Akun TikTok resmi milik Pertamina adalah @pertamina dan telah terverifikasi, dengan tanda centang biru.
Untuk memastikan klaim ini, Tirto menghubungi Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso. Fadjar memastikan klaim adanya program pemberian BBM gratis sampai tanggal 30 November 2024 di SPBU milik Pertamina adalah hoaks.
“Pemberian BBM Gratis 10 Liter hingga 30 November dengan cara mendaftarkan diri melalui akun telegram adalah goax. Informasi resmi pendaftaran program subsidi tepat hanya melalui https://subsiditepat.mypertamina.id," kata Fadjar melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Minggu (10/11/2024).
Audio yang disertakan dalam video tersebut justru membahas soal Presiden Prabowo yang memberikan arahan kepada seluruh Kepala Daerah dan jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Indonesia dalam Rakornas di Sentul, Kamis (7/11/2024).
Setelah ditelusuri, narasi yang tidak terkait dengan adanya program pembagian BBM gratis tersebut berasal dari unggahan akun TikTok resmi milik Metro TV.
Tirto kemudian mengeklik link pendaftaran program pemberian BBM gratis tersebut. Hasilnya, tautan tersebut mengarahkan kami ke situs pendaftaran barcode subsidi tepat My Pertamina. Namun, setelah ditelusuri, situs tersebut bukanlah situs resmi milik Pertamina. Situs resmi pendaftaran subsidi tepat My Pertamina ada di linkini.
Penelusuran dilanjutkan dengan mengunjungi situs resmi dari Pertamina. Hasilnya, kami tidak menemukan adanya pengumuman soal program pemberian BBM gratis mulai dari 10 liter hingga 100 liter, yang diklaim diadakan sampai tanggal 30 November 2024, seperti dalam klaim unggahan.
Namun, dari situs resmi Pertamina tersebut, kami mendapatkan petunjuk bahwa akun TikTok pengunggah klaim tersebut bukan merupakan akun resmi milik Pertamina. Akun TikTok resmi milik Pertamina adalah @pertamina dan telah terverifikasi, dengan tanda centang biru.
Untuk memastikan klaim ini, Tirto menghubungi Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso. Fadjar memastikan klaim adanya program pemberian BBM gratis sampai tanggal 30 November 2024 di SPBU milik Pertamina adalah hoaks.
“Pemberian BBM Gratis 10 Liter hingga 30 November dengan cara mendaftarkan diri melalui akun telegram adalah goax. Informasi resmi pendaftaran program subsidi tepat hanya melalui https://subsiditepat.mypertamina.id," kata Fadjar melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Minggu (10/11/2024).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran fakta yang dilakukan, tidak ditemukan informasi di kanal resmi Pertamina, yang membuktikan klaim bahwa ada program pemberian BBM gratis, di SPBU milik Pertamina, sampai tanggal 30 November 2024.
Akun pengunggah klaim tersebut juga bukanlah akun resmi milik Pertamina. Begitu pula tautan pendaftaran akun Telegram yang disertakan dalam unggahan juga tak berhubungan dengan Pertamina.
VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, juga telah memastikan bahwa informasi tersebut adalah hoaks.
Jadi, klaim yang menyebutkan bahwa ada program pemberian BBM gratis, di SPBU milik Pertamina, sampai tanggal 30 November 2024, bersifat salah dan menyesatkan (false and misleading).
Akun pengunggah klaim tersebut juga bukanlah akun resmi milik Pertamina. Begitu pula tautan pendaftaran akun Telegram yang disertakan dalam unggahan juga tak berhubungan dengan Pertamina.
VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, juga telah memastikan bahwa informasi tersebut adalah hoaks.
Jadi, klaim yang menyebutkan bahwa ada program pemberian BBM gratis, di SPBU milik Pertamina, sampai tanggal 30 November 2024, bersifat salah dan menyesatkan (false and misleading).
Rujukan
- https://www.tiktok.com/@pertamina889
- https://www.tiktok.com/@pertamina889/photo/7434758690810449208?_d=secCgYIASAHKAESPgo8wzMOPzobBSYzqq6TBT3x6mfibbRF6BeTZNEWCOo080Znh4v333N3bG3n6slcQoS75o%2ByIk%2FJ3B%2BFDHt1GgA%3D&_r=1&aweme_type=150&checksum=b5eff79e770407bfcf98ccfa0efda317d27c471b346f0039649a8e748ac49826&link_reflow_popup_iteration_sharer=%7B%22click_empty_to_play%22%3A1%2C%22dynamic_cover%22%3A1%2C%22follow_to_play_duration%22%3A-1.0%2C%22profile_clickable%22%3A1%7D&mid=7434444137870461712&pic_cnt=1&preview_pb=0®ion=ID&sec_user_id=MS4wLjABAAAAgCgm2_7aP18DD5MCT2YCkymbdIdLXNHGnbSfdoEyZhLpi4SroEFHW0zyRMLujH0r&share_app_id=1180&share_item_id=7434758690810449208&share_link_id=6d019237-8283-4cb7-8706-090951372424&sharer_language=id&social_share_type=14&source=h5_t×tamp=1731212765&u_code=da8bi3dfllgmf7&ug_btm=b2001&ug_photo_idx=0&ugbiz_name=UNKNOWN&user_id=6779729821486318593&utm_campaign=client_share&utm_medium=android&utm_source=whatsapp
- https://www.tiktok.com/@pertamina889/photo/7434850914978106680
- https://www.tiktok.com/@pertamina889/photo/7435130222762036536
- https://www.tiktok.com/@pertamina889/photo/7435523534689979703
- https://tirto.id/prabowo-kumpulkan-kepala-daerah-hasan-nasbi-tak-bahas-pilkada-g5vF
- https://www.tiktok.com/@metro_tv/video/7434444111102414098
- https://mitrapertamina.biz.id/l/my-pertamina/pertamina/
- https://www.tiktok.com/@pertamina
Hati-Hati, Ada Situs SATUSEHAT Health Pass Palsu
Sumber:Tanggal publish: 06/11/2024
Berita
tirto.id - Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut adanya indikasi penggunaan situs SATUSEHAT Health Pass (SSHP) palsu yang tersebar di internet.
Adapun Kemenkes menggunakan situs SSHP sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran wabah Mpox di Indonesia. Menukil informasi dari situs resmi Kemenkes, SATUSEHAT Health Pass adalah kartu kesehatan yang berisikan deklarasi kesehatan yang wajib diisi oleh pelaku perjalanan luar negeri.
Terdapat situs yang berusaha mengambil keuntungan dengan membuat situs tiruan terkait portal SSHP ini. Salah satunya situs dengan URL https://sshp.id/. Dalam situs tersebut, pelaku perjalanan internasional diminta membayar sejumlah biaya agar bisa mengisi formulir SSHP.
Situs tersebut dengan jelas menggunakan nama dari singkatan SATU SEHAT Health Pass. Namun, ada hal yang mencurigakan, karena umumnya situs pemerintah menggunakan domain ".go.id".
Lantas, bagaimana faktanya? Apakah benar alamat situs tersebut mengarah ke situs resmi pemerintah?
Adapun Kemenkes menggunakan situs SSHP sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran wabah Mpox di Indonesia. Menukil informasi dari situs resmi Kemenkes, SATUSEHAT Health Pass adalah kartu kesehatan yang berisikan deklarasi kesehatan yang wajib diisi oleh pelaku perjalanan luar negeri.
Terdapat situs yang berusaha mengambil keuntungan dengan membuat situs tiruan terkait portal SSHP ini. Salah satunya situs dengan URL https://sshp.id/. Dalam situs tersebut, pelaku perjalanan internasional diminta membayar sejumlah biaya agar bisa mengisi formulir SSHP.
Situs tersebut dengan jelas menggunakan nama dari singkatan SATU SEHAT Health Pass. Namun, ada hal yang mencurigakan, karena umumnya situs pemerintah menggunakan domain ".go.id".
Lantas, bagaimana faktanya? Apakah benar alamat situs tersebut mengarah ke situs resmi pemerintah?
Hasil Cek Fakta
Melansir keterangan resmi yang Tirto terima dari Kemenkes, situs https://sshp.id/ adalah situs palsu. Situs resmi dari Kemenkes mempunyai domain dengan akhiran "kemkes.go.id".
“Kami mengimbau kepada publik untuk selalu waspada. Pengisian SSHP hanya melalui situs resmi sshp.kemkes.go.id atau SATUSEHAT Mobile dan tidak dipungut biaya sepeser pun,” ujar Chief of Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes RI, Setiaji, Selasa (5/11).
Lebih lanjut, kata Setiaji, pelaku perjalanan hanya perlu mengisi formulir daring (online) secara gratis di tautan berikut. Setelah itu, akan muncul barcode yang berisi riwayat kesehatan dan perjalanan orang tersebut. Barcode tersebut akan dipindai oleh petugas di pintu kedatangan bandara. Seterusnya, barcode juga dapat disimpan oleh pengguna.
Pada Rabu (6/11/2024), situs SSHP palsu ini sudah tidak dapat diakses. Namun, Setiaji mengimbau masyarakat, khususnya kepada pelaku perjalanan internasional, untuk tetap waspada terhadap potensi muncul kembalinya tindakan ilegal serupa.
Apabila menemukan tindakan ilegal semacam itu, masyarakat dapat ikut melapor melalui email helpdesk@kemkes.go.id.
Tidak hanya berpotensi merugikan secara finansial, tetapi juga tindakan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut juga dapat berdampak pada keamanan dan perlindungan data pribadi masyarakat,” tutup Setiaji.
Berdasar pemantauan Tirto, setibanya di bandara Indonesia, biasanya ada sejumlah papan kode barcode untuk mengakses ke situs SSHP dari Kemenkes tersebut.
“Kami mengimbau kepada publik untuk selalu waspada. Pengisian SSHP hanya melalui situs resmi sshp.kemkes.go.id atau SATUSEHAT Mobile dan tidak dipungut biaya sepeser pun,” ujar Chief of Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes RI, Setiaji, Selasa (5/11).
Lebih lanjut, kata Setiaji, pelaku perjalanan hanya perlu mengisi formulir daring (online) secara gratis di tautan berikut. Setelah itu, akan muncul barcode yang berisi riwayat kesehatan dan perjalanan orang tersebut. Barcode tersebut akan dipindai oleh petugas di pintu kedatangan bandara. Seterusnya, barcode juga dapat disimpan oleh pengguna.
Pada Rabu (6/11/2024), situs SSHP palsu ini sudah tidak dapat diakses. Namun, Setiaji mengimbau masyarakat, khususnya kepada pelaku perjalanan internasional, untuk tetap waspada terhadap potensi muncul kembalinya tindakan ilegal serupa.
Apabila menemukan tindakan ilegal semacam itu, masyarakat dapat ikut melapor melalui email helpdesk@kemkes.go.id.
Tidak hanya berpotensi merugikan secara finansial, tetapi juga tindakan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut juga dapat berdampak pada keamanan dan perlindungan data pribadi masyarakat,” tutup Setiaji.
Berdasar pemantauan Tirto, setibanya di bandara Indonesia, biasanya ada sejumlah papan kode barcode untuk mengakses ke situs SSHP dari Kemenkes tersebut.
Kesimpulan
Berdasar pernyataan Kemenkes, yang bertanggung jawab terhadap situs SSHP, portal resmi SATUSEHAT hanya ada di tautan sshp.kemkes.go.id atau aplikasi SATUSEHAT Mobile.
Kemenkes juga menegaskan, akses portal tersebut tidak dipungut biaya.
Oleh karena itu, situs lain yang mengatasnamakan SSHP, apalagi yang meminta bayaran untuk mengisi formulir, adalah situs palsu.
Kemenkes juga menegaskan, akses portal tersebut tidak dipungut biaya.
Oleh karena itu, situs lain yang mengatasnamakan SSHP, apalagi yang meminta bayaran untuk mengisi formulir, adalah situs palsu.
Rujukan
Tidak Benar WHO Akui Mpox sebagai Efek Samping Vaksin Covid-19
Sumber:Tanggal publish: 04/11/2024
Berita
tirto.id - Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) kembali menetapkan keadaan darurat terhadap wabah Mpox pada Agustus lalu. Selama 29 September – 12 Oktober 2024, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengumumkan tidak ada kasus konfirmasi Mpox baru di Indonesia. Sementara secara kumulatif, ada sekira 88 kasus yang tersebar di 6 provinsi dan semuanya telah dinyatakan sembuh.
Namun, baru-baru ini, muncul narasi di jagat maya yang mengaitkan Mpox dengan vaksin Covid-19. Akun Facebook dengan nama “Fernando Tambunan” salah satunya, menyebut kalau WHO mengakui Mpox sebagai efek samping vaksin messenger RNA/vaksin mRNA Covid-19.
Akun itu turut melampirkan tangkapan layar sebuah artikel dengan judul berbahasa Inggris, berbunyi “WHO Admits Monkeypox Is ‘Side Effect’ of Covid ‘Vaccine’”. Dalam unggahan itu, disebut bahwa pengakuan WHO terkubur dalam situs VigiAccess milik WHO.
“Situs web tersebut berisi basis data yang mencantumkan semua efek samping yang diketahui dari semua obat dan vaksin yang telah disetujui untuk penggunaan publik,” tulis akun pengunggah, Selasa (22/10/2024).
Lebih lanjut, akun itu juga menulis dalam takarirnya bahwa WHO mencantumkan “cacar monyet”, “cacar air”, dan “cacar sapi”, di bawah vaksin Covid-19 Pfizer BioNTech.
Meski hingga Senin (4/11/2024), unggahan ini tidak memperoleh impresi, narasi yang sama persis juga dibagikan oleh sejumlah akun Facebook lain, seperti ini dan ini. Ada pula akun Facebook yang menyebarkan klaim ini disertai tautan artikel Slay News dengan judul yang sama.
Lantas, bagaimana faktanya?
Namun, baru-baru ini, muncul narasi di jagat maya yang mengaitkan Mpox dengan vaksin Covid-19. Akun Facebook dengan nama “Fernando Tambunan” salah satunya, menyebut kalau WHO mengakui Mpox sebagai efek samping vaksin messenger RNA/vaksin mRNA Covid-19.
Akun itu turut melampirkan tangkapan layar sebuah artikel dengan judul berbahasa Inggris, berbunyi “WHO Admits Monkeypox Is ‘Side Effect’ of Covid ‘Vaccine’”. Dalam unggahan itu, disebut bahwa pengakuan WHO terkubur dalam situs VigiAccess milik WHO.
“Situs web tersebut berisi basis data yang mencantumkan semua efek samping yang diketahui dari semua obat dan vaksin yang telah disetujui untuk penggunaan publik,” tulis akun pengunggah, Selasa (22/10/2024).
Lebih lanjut, akun itu juga menulis dalam takarirnya bahwa WHO mencantumkan “cacar monyet”, “cacar air”, dan “cacar sapi”, di bawah vaksin Covid-19 Pfizer BioNTech.
Meski hingga Senin (4/11/2024), unggahan ini tidak memperoleh impresi, narasi yang sama persis juga dibagikan oleh sejumlah akun Facebook lain, seperti ini dan ini. Ada pula akun Facebook yang menyebarkan klaim ini disertai tautan artikel Slay News dengan judul yang sama.
Lantas, bagaimana faktanya?
Hasil Cek Fakta
Sebagai informasi awal, Mpox, yang sebelumnya dikenal sebagai cacar monyet atau Monkeypox, adalah penyakit zoonosis yang berarti ditularkan dari hewan ke manusia.
Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus dan penyebaran, seperti dilansir laman Kemenkes, ditemukan bahwa Mpox juga dapat menular antarmanusia, melalui kontak langsung dengan luka atau cairan tubuh orang yang terinfeksi, serta melalui kontak dengan benda atau permukaan yang telah terkontaminasi oleh virus.
Gejala awal Mpox biasanya muncul dalam waktu 5 hingga 21 hari setelah terpapar virus. Gejalanya mencakup demam, nyeri otot, sakit kepala, kelelahan, sakit punggung, pembengkakan kelenjar getah bening, dan ruam kulit yang berkembang secara bertahap.
Meski gejala Mpox pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh dengan sendiri dalam beberapa minggu, pada beberapa kasus Mpox dapat menyebabkan komplikasi serius, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok rentan, termasuk anak-anak, ibu hamil, dan penderita gangguan sistem imun.
Untuk mengecek apakah Mpox adalah efek samping vaksin Covid-19, Tim Riset Tirto berusaha melakukan penelusuran Google dengan kata kunci seperti judul artikel yang beredar, yakni “WHO Admits Monkeypox is Side Effect of Covid Vaccine”.
Dari pencarian itu kami menemukan bahwa klaim ini telah dinyatakan tidak benar oleh beberapa lembaga pemeriksa fakta, salah satunya Reuters.
Artikel Slay News yang dikutip oleh unggahan Facebook, terbit pada 11 Oktober 2024 dan berisi narasi tentang cacar monyet, cacar, dan cacar sapi yang disebut tercantum dalam VigiAccess milik WHO. Hal itu ditunjukkan terpampang di bawah vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech, sebagai bukti bahwa WHO telah mengakui infeksi ini merupakan efek samping dari produk tersebut.
Kendati begitu, tidak ada kasus Mpox, yang terdokumentasi, yang terbukti disebabkan oleh jenis vaksin apapun.
VigiAccess sendiri merupakan alat pencarian berbasis web milik WHO untuk mengakses basis data VigiBase, yang mencantumkan laporan reaksi obat yang merugikan dan kejadian buruk setelah imunisasi. Aduan itu dilaporkan oleh individu kepada otoritas kesehatan nasional mereka, yang selanjutnya dilaporkan ke Program Pemantauan Obat Internasional WHO (WHO PIDM).
Basis data yang dikelola oleh Pusat Pemantauan Uppsala (UMC)—sebuah yayasan nirlaba yang meneliti manfaat dan risiko produk obat, ini memang memperlihatkan enam laporan cacar monyet, lima laporan cacar sapi, dan 15 laporan cacar setelah menerima vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech.
Namun, juru bicara WHO mengatakan, data tersebut mencerminkan kemungkinan efek samping yang dilaporkan, bukan hubungan efek samping suatu produk yang dikonfirmasi.
“Informasi dalam VigiAccess tentang potensi efek samping tidak boleh ditafsirkan sebagai bukti bahwa produk obat atau zat aktifnya menyebabkan efek yang diamati atau tidak aman untuk digunakan,” kata juru bicara WHO, seperti dinukil Reuters, Rabu (30/10/2024).
Juru bicara tersebut menambahkan bahwa hubungan sebab akibat adalah proses rumit yang memerlukan penilaian menyeluruh dan evaluasi terperinci dari keseluruhan data.
Menyoal situs Slay News, Media Bias Fact Check mengidentifikasi situs ini sebagai situs yang memiliki kredibilitas rendah dan bias ekstrem sayap kanan. Situs Slay News disebut seringkali menyebarkan propaganda, konspirasi, pseudosains, dan konten-konten plagiat.
Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus dan penyebaran, seperti dilansir laman Kemenkes, ditemukan bahwa Mpox juga dapat menular antarmanusia, melalui kontak langsung dengan luka atau cairan tubuh orang yang terinfeksi, serta melalui kontak dengan benda atau permukaan yang telah terkontaminasi oleh virus.
Gejala awal Mpox biasanya muncul dalam waktu 5 hingga 21 hari setelah terpapar virus. Gejalanya mencakup demam, nyeri otot, sakit kepala, kelelahan, sakit punggung, pembengkakan kelenjar getah bening, dan ruam kulit yang berkembang secara bertahap.
Meski gejala Mpox pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh dengan sendiri dalam beberapa minggu, pada beberapa kasus Mpox dapat menyebabkan komplikasi serius, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok rentan, termasuk anak-anak, ibu hamil, dan penderita gangguan sistem imun.
Untuk mengecek apakah Mpox adalah efek samping vaksin Covid-19, Tim Riset Tirto berusaha melakukan penelusuran Google dengan kata kunci seperti judul artikel yang beredar, yakni “WHO Admits Monkeypox is Side Effect of Covid Vaccine”.
Dari pencarian itu kami menemukan bahwa klaim ini telah dinyatakan tidak benar oleh beberapa lembaga pemeriksa fakta, salah satunya Reuters.
Artikel Slay News yang dikutip oleh unggahan Facebook, terbit pada 11 Oktober 2024 dan berisi narasi tentang cacar monyet, cacar, dan cacar sapi yang disebut tercantum dalam VigiAccess milik WHO. Hal itu ditunjukkan terpampang di bawah vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech, sebagai bukti bahwa WHO telah mengakui infeksi ini merupakan efek samping dari produk tersebut.
Kendati begitu, tidak ada kasus Mpox, yang terdokumentasi, yang terbukti disebabkan oleh jenis vaksin apapun.
VigiAccess sendiri merupakan alat pencarian berbasis web milik WHO untuk mengakses basis data VigiBase, yang mencantumkan laporan reaksi obat yang merugikan dan kejadian buruk setelah imunisasi. Aduan itu dilaporkan oleh individu kepada otoritas kesehatan nasional mereka, yang selanjutnya dilaporkan ke Program Pemantauan Obat Internasional WHO (WHO PIDM).
Basis data yang dikelola oleh Pusat Pemantauan Uppsala (UMC)—sebuah yayasan nirlaba yang meneliti manfaat dan risiko produk obat, ini memang memperlihatkan enam laporan cacar monyet, lima laporan cacar sapi, dan 15 laporan cacar setelah menerima vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech.
Namun, juru bicara WHO mengatakan, data tersebut mencerminkan kemungkinan efek samping yang dilaporkan, bukan hubungan efek samping suatu produk yang dikonfirmasi.
“Informasi dalam VigiAccess tentang potensi efek samping tidak boleh ditafsirkan sebagai bukti bahwa produk obat atau zat aktifnya menyebabkan efek yang diamati atau tidak aman untuk digunakan,” kata juru bicara WHO, seperti dinukil Reuters, Rabu (30/10/2024).
Juru bicara tersebut menambahkan bahwa hubungan sebab akibat adalah proses rumit yang memerlukan penilaian menyeluruh dan evaluasi terperinci dari keseluruhan data.
Menyoal situs Slay News, Media Bias Fact Check mengidentifikasi situs ini sebagai situs yang memiliki kredibilitas rendah dan bias ekstrem sayap kanan. Situs Slay News disebut seringkali menyebarkan propaganda, konspirasi, pseudosains, dan konten-konten plagiat.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, unggahan media sosial yang mengutip artikel Slay News dan menyebut bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengakui Mpox sebagai efek samping vaksin Covid-19 bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
Tidak ada kasus Mpox atau cacar sapi, yang terdokumentasi, yang terbukti disebabkan oleh jenis vaksin apapun. Juru bicara WHO mengatakan, data laporan kasus Mpox yang diterima pihaknya setelah menerima vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech mencerminkan kemungkinan efek samping yang dilaporkan, bukan hubungan efek samping suatu produk yang dikonfirmasi.
Media Bias Fact Check mengidentifikasi situs Slay News sebagai situs yang memiliki kredibilitas rendah dan bias ekstrem sayap kanan. Situs ini disebut seringkali menyebarkan propaganda, konspirasi, pseudosains, dan konten-konten plagiat.
Tidak ada kasus Mpox atau cacar sapi, yang terdokumentasi, yang terbukti disebabkan oleh jenis vaksin apapun. Juru bicara WHO mengatakan, data laporan kasus Mpox yang diterima pihaknya setelah menerima vaksin Covid-19 Pfizer-BioNTech mencerminkan kemungkinan efek samping yang dilaporkan, bukan hubungan efek samping suatu produk yang dikonfirmasi.
Media Bias Fact Check mengidentifikasi situs Slay News sebagai situs yang memiliki kredibilitas rendah dan bias ekstrem sayap kanan. Situs ini disebut seringkali menyebarkan propaganda, konspirasi, pseudosains, dan konten-konten plagiat.
Rujukan
- https://tirto.id/kembali-darurat-mewaspadai-peluang-mpox-sebagai-pandemi-baru-g21U
- https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-mpox/update-mpox-minggu-ke-42-dan-ke-43-2024-13-26-oktober-2024
- https://web.facebook.com/photo/?fbid=27885141334410652&set=a.413643285320494&_rdc=1&_rdr
- https://web.facebook.com/photo/?fbid=1190739658693195&set=a.107111450389360&_rdc=1&_rdr
- https://web.facebook.com/photo/?fbid=997897192353706&set=a.471129961697101&_rdc=1&_rdr
- https://web.facebook.com/bernadette.mcquitty.71/posts/pfbid0ZwdzhvmW5PjufAJQg3p2XPcW5vPshvWKPRwnKhNbthehuskGxXe8tYDojHVEuAuCl?_rdc=1&_rdr
- https://upk.kemkes.go.id/new/kenali-bahaya-dan-gejala-mpox
- https://www.reuters.com/fact-check/who-didnt-admit-monkeypox-is-side-effect-pfizers-covid-vaccine-2024-10-30/
- https://mediabiasfactcheck.com/slay-news-bias-and-credibility/
Membedah Teori Konspirasi Covid-19 dari Dharma Pongrekun
Sumber:Tanggal publish: 01/11/2024
Berita
tirto.id - Media sosial dibuat ramai dengan pernyataan salah satu Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta, Dharma Pongrekun, soal Covid-19, yang disebutnya sebagai agenda politik global. Hal tersebut ia sampaikan saat mengisi acara bincang-bincang yang cuplikannya tersebar di media sosial.
"Covid, Certificate Of Vaccine Identity Digital. 19-nya apa? AI, satunya sama dengan A, sembilan sama dengan I. Artificial Intelligence," ujarnya dalam video unggahan salah satu akun di X (dulu Twitter) pada 30 Oktober 2024.
Cuitan tersebut bernada bergurau. Namun, Dharma, dalam video tersebut, terlihat sangat serius dalam menyampaikan pesannya.
Dharma menyimpulkan, virus Covid-19 adalah buatan manusia, dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Menurutnya, virus tersebut disebarluaskan oleh pihak tertentu.
Dia juga melanjutkan dengan membedah istilah lain, seperti "Virus" yang disebut sebagai kepanjangan, Vibration of Us, kemudian "Viral" yang dikatakan kepanjangan dari Virus for All. Dia menutup dengan mengatakan dirinya tidak pernah divaksin dan meremehkan virus.
Unggahan tersebut mengumpulkan 1,2 juta views, 636 reposts, 743 quotes, dan lebih dari 2 ribu tanda suka, sampai dengan 1 November 2024, atau dalam hitungan dua hari.
Pembawa acara tayangan siniar (podcast) tersebut, Merry Riana, juga membagikan cuplikan video serupa di akun TikTok dan Instagram-nya yang mengumpulkan atensi penonton cukup besar.
Lalu bagaimana faktanya? bagaimana kebenaran pernyataan Dharma terkait Covid-19 tersebut?
"Covid, Certificate Of Vaccine Identity Digital. 19-nya apa? AI, satunya sama dengan A, sembilan sama dengan I. Artificial Intelligence," ujarnya dalam video unggahan salah satu akun di X (dulu Twitter) pada 30 Oktober 2024.
Cuitan tersebut bernada bergurau. Namun, Dharma, dalam video tersebut, terlihat sangat serius dalam menyampaikan pesannya.
Dharma menyimpulkan, virus Covid-19 adalah buatan manusia, dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Menurutnya, virus tersebut disebarluaskan oleh pihak tertentu.
Dia juga melanjutkan dengan membedah istilah lain, seperti "Virus" yang disebut sebagai kepanjangan, Vibration of Us, kemudian "Viral" yang dikatakan kepanjangan dari Virus for All. Dia menutup dengan mengatakan dirinya tidak pernah divaksin dan meremehkan virus.
Unggahan tersebut mengumpulkan 1,2 juta views, 636 reposts, 743 quotes, dan lebih dari 2 ribu tanda suka, sampai dengan 1 November 2024, atau dalam hitungan dua hari.
Pembawa acara tayangan siniar (podcast) tersebut, Merry Riana, juga membagikan cuplikan video serupa di akun TikTok dan Instagram-nya yang mengumpulkan atensi penonton cukup besar.
Lalu bagaimana faktanya? bagaimana kebenaran pernyataan Dharma terkait Covid-19 tersebut?
Hasil Cek Fakta
Menanggapi komentar dari Dharma tersebut, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Iwan Ariawan, menyampaikan bantahannya.
“Pernyataan Dharma Pongrekun tentang Covid-19 merupakan singkatan dari Certificate Of Vaccine Digital Identity dan 19 = AI (Artificial Intelligence) adalah salah dan tidak ada dasar ilmiahnya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (31/10/2024).
Menurut Iwan, disinformasi ini sudah menyebar sejak tahun 2021, bersamaan dengan mulai beredarnya vaksinasi Covid-19 dan kewajiban sertifikat vaksinasi untuk syarat perjalanan.
“Kelompok anti-vaksin merupakan pelopor penyebaran hoaks ini. Singkatan yang benar dari Covid-19 adalah Corona Virus Disease 2019. Nama penyakit yang disebabkan oleh virus korona, mulai menyebar Desember 2019, sampai menjadi pandemi pada tahun 2019-2023,” terang dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memuat penjelasan dalam situs resminya soal asal usul penyakit dan virus penyebab Covid. Covid-19 adalah nama penyakit, yang merupakan akronim dari Coronavirus Disease, yang kasus pertamanya ditemukan pada tahun 2019. Sementara nama virus penyebabnya adalah severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penamaan ini secara resmi diumumkan pada 11 Februari 2020. Sebelumnya, penyakit ini dikenal sebagai "2019 novel coronavirus" alias 2019-nCoV.
Dalam video penjelasan singkat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menjabarkan kalau nama coronavirus karena bentuknya yang menyerupai mahkota, atau dalam Bahasa Inggrisnya, "crown".
Lebih lanjut, soal terkait akronim yang disebut oleh Dharma, kami juga menemukan unggahan berikut yang tersebar tahun 2020, yang menyebut teori konspirasi serupa, yakni bahwa Covid-19 adalah kepanjangan dari Certificate of Vaccination Identification, dengan rujukan angka 19 yang berarti AI, seperti yang disampaikan Dharma. Unggahan ini telah ditandai sebagai hoaks. Pada tahun 2020, Reuters melakukan pemeriksaan fakta dan menyimpulkan informasi ini tidak tepat.
Kembali ke video pendek yang menampilkan Dharma, dia juga menjabarkan singkatan untuk "Virus" sebagai "Vibration of US". Menurut Iwan dari FKM UI, ini juga tidak ada dasar ilmiahnya.
“Hoaks ini disebarkan oleh kelompok orang yang percaya dengan teori konspirasi dan anti-vaksin. Kata Virus berasal dari bahasa Latin yang berarti “racun” atau “cairan kental”, yang kaitannya dengan penyebab infeksi. Virus adalah penyebab infeksi submikroskopik yang hanya dapat memperbanyak diri di dalam sel mahluk hidup lainnya,” begitu penjelasan Iwan.
Lebih lanjut, soal singkatan "Viral" sebagai "Virus for All", disebut juga tidak ada dasar ilmiahnya. “Pada ilmu kedokteran, istilah viral digunakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang disebabkan oleh virus. Sedangkan di internet dan media sosial, istilah viral berarti konten yang menyebar secara cepat dan luas,” terang Iwan.
Iwan juga menyoroti komentar Dharma soal vaksin Covid-19 yang disebut tidak ada manfaatnya. Hal itu menurutnya sama sekali tidak benar. Iwan mengatakan, vaksinasi Covid-19 telah terbukti pada penelitian uji klinik maupun data terkait kematian pasien. Vaksin Covid-19 mencegah keparahan dan kematian orang yang terinfeksi penyakit itu.
“Data di Indonesia menunjukkan orang yang terinfeksi Covid-19, yang sudah memperoleh vaksin booster, memiliki risiko kematian 5-10 kali lebih kecil dari orang yang tidak memperoleh vaksin,” tutur Iwan.
Pada tahun 2022, Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes) menyebut, vaksinasi Covid-19 lengkap, ditambah booster, dapat memberi perlindungan hingga 91 persen dari kematian. Angka tersebut berasal dari analisis pasien terjangkit Covid-19 yang berada di bawah pengawasan Kemenkes.
Sementara American Medical Association (AMA) pada Maret 2023 menyebut, orang yang mendapat suntikan dosis booster Covid-19, memiliki kemungkinan meninggal 14 kali lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima vaksin apa pun.
“Pernyataan Dharma Pongrekun tentang Covid-19 merupakan singkatan dari Certificate Of Vaccine Digital Identity dan 19 = AI (Artificial Intelligence) adalah salah dan tidak ada dasar ilmiahnya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (31/10/2024).
Menurut Iwan, disinformasi ini sudah menyebar sejak tahun 2021, bersamaan dengan mulai beredarnya vaksinasi Covid-19 dan kewajiban sertifikat vaksinasi untuk syarat perjalanan.
“Kelompok anti-vaksin merupakan pelopor penyebaran hoaks ini. Singkatan yang benar dari Covid-19 adalah Corona Virus Disease 2019. Nama penyakit yang disebabkan oleh virus korona, mulai menyebar Desember 2019, sampai menjadi pandemi pada tahun 2019-2023,” terang dia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memuat penjelasan dalam situs resminya soal asal usul penyakit dan virus penyebab Covid. Covid-19 adalah nama penyakit, yang merupakan akronim dari Coronavirus Disease, yang kasus pertamanya ditemukan pada tahun 2019. Sementara nama virus penyebabnya adalah severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penamaan ini secara resmi diumumkan pada 11 Februari 2020. Sebelumnya, penyakit ini dikenal sebagai "2019 novel coronavirus" alias 2019-nCoV.
Dalam video penjelasan singkat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menjabarkan kalau nama coronavirus karena bentuknya yang menyerupai mahkota, atau dalam Bahasa Inggrisnya, "crown".
Lebih lanjut, soal terkait akronim yang disebut oleh Dharma, kami juga menemukan unggahan berikut yang tersebar tahun 2020, yang menyebut teori konspirasi serupa, yakni bahwa Covid-19 adalah kepanjangan dari Certificate of Vaccination Identification, dengan rujukan angka 19 yang berarti AI, seperti yang disampaikan Dharma. Unggahan ini telah ditandai sebagai hoaks. Pada tahun 2020, Reuters melakukan pemeriksaan fakta dan menyimpulkan informasi ini tidak tepat.
Kembali ke video pendek yang menampilkan Dharma, dia juga menjabarkan singkatan untuk "Virus" sebagai "Vibration of US". Menurut Iwan dari FKM UI, ini juga tidak ada dasar ilmiahnya.
“Hoaks ini disebarkan oleh kelompok orang yang percaya dengan teori konspirasi dan anti-vaksin. Kata Virus berasal dari bahasa Latin yang berarti “racun” atau “cairan kental”, yang kaitannya dengan penyebab infeksi. Virus adalah penyebab infeksi submikroskopik yang hanya dapat memperbanyak diri di dalam sel mahluk hidup lainnya,” begitu penjelasan Iwan.
Lebih lanjut, soal singkatan "Viral" sebagai "Virus for All", disebut juga tidak ada dasar ilmiahnya. “Pada ilmu kedokteran, istilah viral digunakan untuk menjelaskan segala sesuatu yang disebabkan oleh virus. Sedangkan di internet dan media sosial, istilah viral berarti konten yang menyebar secara cepat dan luas,” terang Iwan.
Iwan juga menyoroti komentar Dharma soal vaksin Covid-19 yang disebut tidak ada manfaatnya. Hal itu menurutnya sama sekali tidak benar. Iwan mengatakan, vaksinasi Covid-19 telah terbukti pada penelitian uji klinik maupun data terkait kematian pasien. Vaksin Covid-19 mencegah keparahan dan kematian orang yang terinfeksi penyakit itu.
“Data di Indonesia menunjukkan orang yang terinfeksi Covid-19, yang sudah memperoleh vaksin booster, memiliki risiko kematian 5-10 kali lebih kecil dari orang yang tidak memperoleh vaksin,” tutur Iwan.
Pada tahun 2022, Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes) menyebut, vaksinasi Covid-19 lengkap, ditambah booster, dapat memberi perlindungan hingga 91 persen dari kematian. Angka tersebut berasal dari analisis pasien terjangkit Covid-19 yang berada di bawah pengawasan Kemenkes.
Sementara American Medical Association (AMA) pada Maret 2023 menyebut, orang yang mendapat suntikan dosis booster Covid-19, memiliki kemungkinan meninggal 14 kali lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima vaksin apa pun.
Kesimpulan
Hasil pemeriksaan fakta menunjukkan, pernyataan Dharma Pongrekun soal akronim Covid-19, virus, dan viral, serta klaim vaksin tidak ada manfaatnya, bersifat salah dan menyesatkan (false & mileading).
Terkait penamaan penyakit dan virus, WHO telah menjelaskan bahwa Covid-19 adalah coronavirus disease yang pertama kali ditemukan pada tahun 2019.
Sementara terkait tidak efektifnya vaksin, beberapa sumber telah membuktikan vaksin Covid-19 terbukti efektif menekan angka kematian.
Terkait penamaan penyakit dan virus, WHO telah menjelaskan bahwa Covid-19 adalah coronavirus disease yang pertama kali ditemukan pada tahun 2019.
Sementara terkait tidak efektifnya vaksin, beberapa sumber telah membuktikan vaksin Covid-19 terbukti efektif menekan angka kematian.
Rujukan
- https://x.com/dondihananto/status/1851651327174348962?t=w1reElwoq7RbsqTqc_GVvg&s=08
- https://www.tiktok.com/@merryriana/video/7431566414928006406
- https://www.instagram.com/merryriana/reel/DBwCUqxPxb_/
- https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-guidance/naming-the-coronavirus-disease-(covid-2019)-and-the-virus-that-causes-it
- https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-remarks-at-the-media-briefing-on-2019-ncov-on-11-february-2020
- https://stacks.cdc.gov/view/cdc/93060#:~:text=The%20new%20name%20of%20this,or%20%E2%80%9C2019-nCoV.%E2%80%9D
- https://www.youtube.com/watch?v=8PxJCvKdaCs
- https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2644986435827090&set=a.1459966224329123&type=3&theater
- https://www.reuters.com/article/world/false-claim-covid-19-stands-for-certification-of-vaccination-identification-by-idUSKCN2262AG/
- https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20220225/0939385/data-vaksinasi-booster-dapat-memberikan-perlindungan-hingga-91-dari-risiko-terburuk-covid-19/
- https://www.ama-assn.org/delivering-care/public-health/why-covid-19-deaths-among-vaccinated-show-boosters-matter
Halaman: 407/6321