• [Fakta atau Hoaks] Benarkah Klaim soal Museum di Prancis yang Simpan Tengkorak dari Kaum Muslim Ini?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 06/11/2020

    Berita


    Akun Facebook Pecinta Panji Rasulullah membagikan foto yang memperlihatkan etalase dengan tengkorak manusia yang berjajar. Tengkorak-tengkorak dalam foto itu diklaim sebagai koleksi sebuah museum di Paris, Prancis. Museum ini disebut berisi 18 ribu tengkorak manusia, yang sebagian besar adalah muslim.
    Di bawah foto tersebut, terdapat teks yang berbunyi: "Perancis marah karena kepala satu warganya dipenggal setelah menistakan Rasulullah, tapi mereka lupa telah membangun museum berisi 18.000 tengkorak manusia yang pernah mereka jajah."
    Akun ini pun menulis narasi bahwa mayoritas dari tengkorak itu adalah milik kaum muslim yang dipotong dan dikumpulkan oleh Prancis saat menjajah Aljazair dan negara lainnya. “Lalu dengan angkuh menolak untuk mengembalikan tengkorak-tengkorak tersebut kepada keluarganya.” Narasi ini diklaim berasal dari Asy Syaikh Dr. Iyad Qunaibi Hafizhahullah.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Pecinta Panji Rasulullah.
    Unggahan tersebut mirip dengan narasi yang dimuat oleh situs Portal-islam.id pada 25 Oktober 2020. Situs ini menambahkan bahwa informasi tentang tengkorak pejuang Aljazair itu diungkap oleh sejarawan Ali Farid Belkadi. Pada 2011, Belkadi membuat petisi agar Prancis memulangkan tengkorak pejuang Aljazair yang dibunuh tentara kolonial pada 1840-1850. Tengkorak-tengkorak itu ditemukan tersimpan di Musée de l'Homme, Paris.
    Artikel ini akan berisi pemeriksaan terhadap sejumlah klaim, yakni:

    Hasil Cek Fakta


    Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, narasi yang beredar di media sosial tersebut tidak sepenuhnya akurat. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa sebagian besar dari 18 ribu tengkorak manusia yang disimpan di sebuah museum di Paris, Prancis, adalah milik  muslim dari Aljazair dan sekitarnya. Hingga kini, belum semua tengkorak-tengkorak tersebut berhasil diidentifikasi.
    Selain itu, seorang sejarawan Aljazair menyebut jumlah tengkorak dan artefak lain dari negaranya yang berada di Prancis hanya berjumlah ratusan. Dari jumlah ini, sebanyak 24 tengkorak pejuang Aljazair yang disimpan di Prancis telah dikembalikan ke negaranya pada Juli 2020.
    Klaim soal pernyataan Iyad Qunaibi
    Iyad Qunaibi (atau Eyad Qunaibi ) yang disebut dalam unggahan akun Pecinta Panji Rasulullah adalah seorang profesor Farmakologi dari Yordania yang pernah dipenjara selama dua tahun karena mengkritik pemerintah negaranya di Facebook.
    Berdasarkan penelusuran Tempo, Qunaibi memang menyatakan “Prancis marah karena satu warganya dipenggal setelah menistakan Rasulullah, tapi mereka lupa telah membangun museum berisi 18 ribu tengkorak manusia yang pernah mereka jajah”. Pernyataan itu ditulis dalam bahasa Arab di akun Facebook miliknya pada 24 Oktober 2020, dan telah dibagikan lebih dari 20 ribu kali hingga 5 November 2020.
    Pernyataan itu dibuat di tengah protes negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim terhadap pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron soal Islam dan seruan boikot produk Prancis. Protes dan seruan boikot ini muncul pasca pembunuhan seorang guru asal Prancis bernama Samuel Paty dengan cara dipenggal serta penyerangan dengan pisau di sebuah gereja di Nice, Prancis, yang menewaskan tiga orang, di mana salah satunya juga dipenggal.
    Klaim soal mayoritas tengkorak di sebuah museum di Prancis adalah milik muslim yang dipotong dan dikumpulkan saat Prancis menjajah Aljazair dan sekitarnya
    Sesuai dengan isi artikel di situs Portal-islam.id, museum yang dimaksud adalah Musée de l'Homme. Museum yang terletak di Paris ini adalah museum antropologi yang juga dikenal dengan sebutan Museum Manusia. Diresmikan pada Juni 1938, Musée de l'Homme berawal dari Museum Etnografi Trocadéro yang berdiri pada 1882-1928.
    Musée de l'Homme berfokus pada evolusi manusia dan masyarakat dengan menggabungkan pendekatan biologis, sosial, serta budaya. Musée de l’Homme adalah bagian dari Muséum National d'Histoire Naturelle (Museum Nasional Sejarah Alam) yang juga berfungsi sebagai pusat penelitian dan konservasi. Musée de l'Homme mewarisi barang-barang koleksi bersejarah yang dibuat sejak abad ke-16. Koleksi ini diperkaya selama abad ke-19, dan masih terus ditambah isinya hingga hari ini.
    Dikutip dari The Guardian, beberapa koleksi Museum Nasional Sejarah Alam memang datang dari era kolonial yang dibawa oleh penjelajah, ilmuwan, dan tentara saat Prancis berkeliling dunia. Karya-karya yang sekarang berada di museum dan menjadi koleksi Prancis konon akan tetap menjadi bagian dari warisan nasional selamanya.
    Prinsip ini ditetapkan pada 1566, ketika Dekrit Moulins menyatakan wilayah kerajaan tidak dapat dicabut dan tidak dapat dipisahkan. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, perubahan dalam keseimbangan kekuatan politik dan ekonomi internasional telah menggeser prinsip tersebut. Tuntutan restitusi atau pengembalian telah menargetkan apa pun, mulai dari karya seni hingga sisa-sisa manusia dan penemuan arkeologi.
    Selain artefak, koleksi juga mencakup tengkorak manusia. Museum Nasional Sejarah Alam memang memiliki koleksi 18 ribu tengkorak manusia, yang beberapa di antaranya telah diidentifikasi. Di tengah tuntutan restitusi atau penyerahan kembali oleh negara-negara bekas koloni Prancis, mereka menetapkan kebijakan restitusi hanya untuk tengkorak yang telah berhasil diidentifikasi.
    Klaim soal Prancis menolak mengembalikan tengkorak pejuang Aljazair ke keluarganya
    Sejak 2011, sejarawan Aljazair menuntut pengembalian tengkorak para pejuang mereka yang disimpan selama beberapa dekade di museum Paris. Tuntutan ini akhirnya dipenuhi Prancis pada Juli 2020 dengan mengembalikan 24 tengkorak pejuang Aljazair yang dipenggal selama pendudukan kolonial Prancis di negara Afrika Utara.
    Dikutip dari Aljazeera, ke-24 pejuang tersebut bertempur melawan pasukan kolonial Prancis yang menduduki Aljazair pada 1830 dan terlibat dalam pemberontakan pada 1849. Setelah kepala mereka dipenggal, tengkorak mereka dibawa ke Prancis sebagai piala.
    Restitusi ini bermula pada 2011, ketika sejarawan dan peneliti Aljazair Ali Farid Belkadi menemukan tengkorak tersebut di Museum Manusia di Paris, di seberang Menara Eiffel, dan memberi tahu pihak berwenang Aljazair. Peneliti tersebut melobi selama bertahun-tahun agar tengkorak-tengkorak itu dikembalikan, dan Presiden Aljazair saat itu, Abdelaziz Bouteflika, akhirnya membuat permintaan repatriasi resmi.
    Pada 2018, Presiden Prancis Emmanuel Macron setuju dengan hal itu. Namun, kendala birokrasi menunda pemulangan tengkorak-tengkorak tersebut hingga sekarang. Pada Desember 2019, Macron mengatakan "kolonialisme adalah kesalahan besar" dan menyerukan untuk membalik halaman di masa lalu.
    Sejarawan Mohamed El Korso menyambut baik kembalinya sisa-sisa manusia tersebut, tapi mengatakan bahwa itu hanyalah bagian dari sejarah Aljazair yang masih berada di tangan Prancis. “Kami telah memulihkan sebagian dari ingatan kami. Tapi perjuangan harus terus berlanjut, sampai semua sisa-sisa pejuang perlawanan, yang jumlahnya ratusan, dan arsip revolusi kita kembali.”

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, narasi dalam unggahan akun Pecinta Panji Rasulullah sebagian benar. Eyad Qunaibi memang menyatakan “Prancis marah karena satu warganya dipenggal setelah menistakan Rasulullah, tapi mereka lupa telah membangun museum berisi 18 ribu tengkorak manusia yang pernah mereka jajah”. Klaim soal keberadaan 18 ribu tengkorak di sebuah museum di Prancis yang beberapa di antaranya adalah milik pejuang Aljazair juga benar.
    Namun, terdapat klaim yang tidak akurat, yakni bahwa Prancis menolak mengembalikan tengkorak pejuang Aljazair. Faktanya, Prancis di bawah kepemimpinan Presiden Emmanuel Macron telah mengembalikan 24 tengkorak pejuang Aljazair yang berada di sebuah museum di Paris pada Juli 2020. Menghubungkan kemarahan Prancis atas kasus pemenggalan kepala di negaranya dengan koleksi 18 ribu tengkorak manusia di museumnya juga tidak tepat. Tengkorak-tengkorak tersebut adalah warisan dari

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [Fakta atau Hoaks] Benarkah 48 Warga Korsel Tewas usai Terima Vaksin Covid-19?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/11/2020

    Berita


    Klaim bahwa 48 warga Korea Selatan tewas usai menerima vaksin Covid-19 beredar di media sosial. Klaim yang terdapat dalam judul artikel di blog Berita Indonwes ini, yang berbunyi “Innalilahi Wainnailahi Rojiun, 48 Orang Meninggal Usai Divaksin Corona”, beredar di tengah proses pengembangan dan uji coba klinis sejumlah vaksin Covid-19 di beberapa negara di dunia.
    Menurut artikel yang dimuat pada 2 November 2020 tersebut, jumlah itu merupakan akumulasi sejak munculnya kematian usai vaksinasi yang diumumkan otoritas Korsel pada 24 Oktober 2020. “Mengetahui kabar tersebut, otoritas Singapura bereaksi dengan menangguhkan penggunaan dua vaksin influenza, SKYCellflu Quadrivalent dan VaxigripTetra bagi warganya,” demikian narasi yang tertulis dalam artikel yang disebut bersumber dari kantor berita Reuters tersebut.
    Salah satu akun yang membagikan artikel Blog Berita Indonwes itu adalah akun Facebook Mbul Gembul, tepatnya pada 3 November 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 41 reaksi dan 39 komentar.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Mbul Gembul.
    Apa benar 48 warga Korsel tewas usai terima vaksin Covid-19?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memeriksa klaim di atas, Tim CekFakta Tempo menelusuri informasi terkait dengan memasukkan kata kunci “48 people died in South Korea after receiving Covid-19 vaccine” di mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan berita dari media-media kredibel yang memuat informasi tersebut. Tempo juga menelusuri pemberitaan Reuters terkait kejadian itu, namun tidak ditemukan pula artikel yang menyatakan 48 warga Korsel meninggal setelah menerima vaksin Covid-19. Tempo hanya menemukan pemberitaan terkait adanya warga Korsel yang meninggal setelah menerima vaksin flu.
    Dilansir dari berita Reuters pada 24 Oktober 2020, menurut Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korsel (KDCA), jumlah warga Kosel yang meninggal setelah menerima vaksin flu telah meningkat menjadi 48 orang. Meskipun begitu, pemberian vaksin kepada warga akan tetap dilanjutkan untuk mengurangi kemungkinan terkena wabah secara bersamaan, yakni flu dan Covid-19, saat musim dingin.
    Direktur KDCA Jeong Eun-kyung mengatakan bahwa lembaganya tidak menemukan hubungan langsung antara pemberian vaksin flu dengan kematian 26 korban yang telah diselidiki. Sekitar 20 hasil otopsi awal kepolisian dan Layanan Forensik Nasional Korsel menunjukkan 13 korban meninggal karena penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit lain yang tidak disebabkan oleh vaksinasi.
    Jeong pun memaparkan tindakan pencegahan yang harus dilakukan sebelum menerima vaksin, seperti minum air yang cukup dan memberi tahu petugas kesehatan tentang kondisi medis penerima vaksin. Dia juga menyarankan penerima vaksin untuk menunggu 15-30 menit sebelum meninggalkan klinik tempat mereka disuntik vaksin. “Jika memungkinkan, dapatkan vaksin flu saat cuaca hangat, karena ada kekhawatiran bahwa suhu rendah dapat mempengaruhi penyakit kardiovaskular atau penyakit serebrovaskular,” katanya.
    Hal itu juga diberitakan oleh NY Daily News pada 26 Oktober 2020. Menurut laporan NY Daily News, Korsel akan meneruskan vaksinasi flu, mengingat 48 kematian tersebut terjadi karena penyebab lain yang tidak terkait dengan vaksin. Meskipun begitu, Singapura untuk sementara menghentikan penggunaan dua jenis vaksin flu sembari terus mengevaluasinya. Di seluruh dunia, negara-negara melakukan vaksinasi terhadap flu dengan harapan terhindar dari epidemi ganda, mengingat musim flu semakin dekat dan kasus Covid-19 semakin meningkat. 
    Dilansir dari Kompas.com pada 29 Oktober 2020, Singapura menjadi negara pertama yang mengumumkan penghentian penggunaan dua vaksin flu secara terbuka. Dua vaksin itu adalah SKYCellflu Quadrivalent dan VaxigripTetra. Hal ini dilakukan sebagai tindakan pencegahan  sekaligus meredam kepanikan publik yang muncul setelah adanya berita mengenai kematian di Korsel karena vaksinasi flu. Meskipun begitu, di Singapura, belum ada laporan kematian akibat vaksinasi flu.
    Presiden Korsel Moon Jae-in mengatakan kematian tersebut tidak berhubungan dengan vaksin flu. Menurut dia, kematian terjadi pada mereka yang berusia 60-an tahun atau lebih dengan kondisi kesehatan yang sudah mendasari sebelumnya. Asosiasi Medis Korsel sempat merekomendasikan penangguhan sementara vaksinasi flu. Namun, berdasarkan hasil investigasi dan otopsi, dari 46 kasus, kematian sama sekali tidak terkait dengan vaksin.
    Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( CDC ), dalam panduan di situs resminya, “Vaksin flu tidak akan melindungi diri dari Covid-19. Namun, vaksinasi flu memiliki banyak manfaat penting lainnya. Vaksin flu telah terbukti mengurangi risiko penyakit flu, rawat inap, dan kematian. Mendapatkan vaksin pada flu musim gugur ini akan menjadi lebih penting dari sebelumnya, tidak hanya untuk mengurangi risiko flu, tapi juga untuk membantu melindungi potensi kelangkaan sumber daya perawatan kesehatan.”

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa “48 warga Korsel meninggal setelah menerima vaksin Covid-19” keliru. Sebanyak 48 warga Korsel memang meninggal usai mendapatkan vaksin, tapi vaksin flu, bukan vaksin Covid-19. Meskipun begitu, menurut hasil investigasi dan otopsi otoritas Korsel, tidak ada hubungan langsung antara pemberian vaksin flu dengan kematian korban yang telah diselidiki. Sekitar 20 hasil otopsi awal menunjukkan 13 orang meninggal karena penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit lain yang tidak disebabkan oleh vaksinasi.
    SITI AISAH
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [Fakta atau Hoaks] Benarkah Video Orang Prancis yang Bernyanyi di Depan Muslim yang Salat Ini terkait Pernyataan Macron soal Islam?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 05/11/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan sejumlah orang memegang poster dan bendera Prancis sembari bernyanyi di hadapan puluhan muslim yang sedang salat beredar di media sosial. Salat itu digelar di tengah jalan. Video ini diklaim sebagai video orang-orang Kristen di Prancis yang mencoba mengalihkan perhatian muslim yang sedang menggelar salat.
    Di Facebook, video beserta klaim itu dibagikan salah satunya oleh akun Info Menarik, tepatnya pada 29 Oktober 2020. Akun ini menulis, "Orang orang kristen mencoba mengalihkan perhatian muslim dr membuat sholat di prancis dgn bernyanyi dan memegang plakat didalam imam..kebencian tidak dapat menghentikan islam."
    Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah dikomentari lebih dari 9 ribu kali. Sejumlah akun yang mengomentari unggahan ini menghubungkan video tersebut dengan pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait Islam sebagai respons atas pembunuhan terhadap seorang guru asal Prancis yang bernama Samuel Paty.

    Apa benar video tersebut terkait dengan pernyataan Macron soal Islam sebagai respons atas pembunuhan Paty?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri jejak digitalnya dengan reverse image tool Yandex dan Google. Hasilnya, ditemukan bahwa video tersebut telah beredar di internet sejak November 2017 dan tidak terkait dengan pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron soal Islam yang merespons pembunuhan Samuel Paty.
    Video yang sama pernah diunggah ke YouTube oleh kanal Shah_Khalid Khan pada 13 November 2017 dengan judul “During the payment of Friday prayers in France, the wing of the unbelievers reminded the Mushrikine”. Video identik lainnya juga pernah diunggah oleh kanal Tanu Plaza pada 31 Mei 2018 dengan judul “Muslim in Ramzan praying namaz on street road side”.
    Video yang diambil dari peristiwa yang sama juga pernah diunggah oleh kanal milik Associated Press, AP Archive, pada 15 November 2017. Terdapat beberapa kesamaan antara video milik AP dengan video yang beredar. Salah satunya, seorang jamaah yang mengenakan jubah dengan motif garis yang berwarna hitam-putih. Dalam video yang beredar, jamaah tersebut terlihat di menit 1:17. Sementara dalam video milik AP, jamaah yang sama terlihat di menit 1:59.
    Video milik AP ini diberi judul “Paris suburb tries to stop Muslim street prayers”. Dalam keterangannya, AP menulis bahwa peristiwa dalam video tersebut terjadi pada Jumat, 10 November 2017, di jalanan wilayah Clichy, Kota Paris, Prancis. Ketika itu, Wali Kota Clichy Remi Muzeau dan warganya memprotes para muslim yang telah beribadah di sebuah jalan di wilayahnya selama berbulan-bulan. Perselisihan ini mencerminkan masalah nasional yang terjadi di Prancis, yakni kekurangan masjid.
    Polisi membentuk barikade di tengah puluhan muslim yang mencoba berdoa di jalanan Clichy dan ratusan demonstran yang mencoba menghentikan mereka. Saat para muslim meneriakkan kalimat "Allahu akbar", atau "Tuhan Maha Besar" dalam bahasa Arab, para demonstran menyanyikan lagu kebangsaan Prancis "La Marseillaise".
    Peristiwa tersebut juga diberitakan oleh BBC pada 10 November 2017. Menurut laporan BBC, sekitar 100 politikus Prancis berbaris di sebuah jalan di Clichy, pinggiran Kota Paris, untuk memprotes umat Islam yang menggelar salat Jumat di depan umum. Para politikus itu, yang mengenakan selempang dengan warna bendera Prancis dan menyanyikan lagu kebangsaan, mendatangi sekitar 200 jemaah di jalan tersebut.
    Polisi berusaha memisahkan kedua kelompok itu, namun beberapa bentrokan kecil terjadi. Para kritikus mengatakan salat di ruang publik tidak dapat diterima dalam sistem sekuler Prancis yang ketat. Namun, para jamaah mengatakan bahwa mereka tidak punya tempat lain untuk beribadah sejak pemerintah kota mengambil alih tempat yang biasa mereka gunakan untuk salat pada Maret 2017.
    Dilansir dari The Local, muslim setempat menggunakan jalanan untuk berdoa sebagai bentuk protes terhadap keputusan wali kota yang menutup tempat salat yang biasa mereka gunakan. Sekitar 5 ribu jamaah muslim salat di tempat itu setiap harinya. Pemerintah membuka masjid baru untuk mereka, tapi jaraknya 1,5 kilometer, dan jamaah mengatakan tempat tersebut sulit dijangkau.
    Protes ini mereka tujukan untuk menekan dewan lokal menyetujui dibukanya ruang salat di pusat Clichy. Tapi protes itu membuat marah pejabat lokal, yang telah meminta pemerintah pusat untuk campur tangan, dan menyatakan bahwa berdoa di jalan ilegal di Prancis. "Ruang publik tidak bisa diambil alih secara ilegal," kata Presiden Ile-de-France Valerie Pecresse. "Kami berada di negara di mana kami tidak berdoa di jalan, aturan hukum."
    Dalam artikel The Local ini, terdapat tautan cuitan jurnalis Prancis Theo Maneval yang memuat video demonstrasi pada 10 November 2017 itu. Dalam video tersebut, terlihat bahwa demonstrasi itu digelar di depan sebuah bank bernama Credit Mutuel. Bank ini juga terlihat dalam video yang beredar.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, unggahan akun Facebook Info Menarik menyesatkan. Video dalam unggahan itu memang diambil di Prancis, namun tidak terkait dengan pernyataan Presiden Emmanuel Macron soal Islam sebagai respons atas pembunuhan Samuel Paty. Peristiwa dalam video itu terjadi pada 10 November 2017, jauh sebelum peristiwa pembunuhan Paty pada 16 Oktober 2020.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [Fakta atau Hoaks] Benarkah Pembakaran Mobil Mewah Ini Bagian dari Aksi Boikot Produk Prancis?

    Sumber: cekfakta.tempo.co
    Tanggal publish: 04/11/2020

    Berita


    Video yang memperlihatkan momen ketika seorang pria membakar mobil mewah di sebuah lapangan beredar di media sosial. Video tersebut dibagikan dengan narasi bahwa pria itu sengaja membakar mobil mewahnya karena merupakan produk Prancis. Video ini menyebar di tengah seruan boikot produk Prancis.
    Di Facebook, video beserta klaim tersebut diunggah salah satunya oleh akun Lutfi Jaya, tepatnya pada 2 November 2020. Akun ini pun menulis narasi, “Membakar produk prancis salah satu bentuk kecintaan kepada rosulullah.” Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan lebih dari 4 ribu reaksi dan dibagikan lebih dari 4 ribu kali.
    Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Lutfi Jaya.
    Apa benar pembakaran mobil mewah dalam video tersebut terkait aksi boikot produk Prancis?

    Hasil Cek Fakta


    Untuk memverifikasi klaim di atas, Tim CekFakta Tempo mula-mula memfragmentasi video tersebut menjadi sejumlah gambar dengan tool InVID. Selanjutnya, gambar-gambar itu ditelusuri dengan reverse image tool Google dan Yandex. Hasilnya, ditemukan informasi bahwa mobil itu bermerk Mercedes-Benz, merk asal Jerman, dan alasan pria tersebut membakar mobilnya pun sama sekali tidak terkait dengan aksi boikot produk Prancis.
    Video ini merupakan video milik kanal YouTube terverifikasi berbahasa Rusia, Litvin. Video itu diunggah oleh kanal tersebut pada 24 Oktober 2020 dengan judul "Burn Burn Clear!". Dalam keterangan videonya, pemilik kanal tersebut, Mikhail Litvin, menulis sebagai berikut:
    “Sudah lama saya memikirkan tentang apa yang harus saya lakukan dengan Shark (nama yang diberikan oleh Litvin kepada mobilnya) setelah konflik dengan Mercedes... Saya pikir idenya adalah API! Itu saja... Berakhir... Mereka * Aku tidak senang...”
    Video serupa juga pernah diunggah oleh Litvin di akun Instagram-nya, @litvin.offiicial, pada 24 Oktober 2020. Dalam unggahan ini, Litvin hanya menulis, "I said everything." Hingga kini, video tersebut ini telah disaksikan lebih dari 27 ribu kali.
    Tempo kemudian menelusuri pemberitaan terkait pembakaran mobil Mercedes-Benz milik Mikhail Litvin tersebut. Dilansir dari situs otomotif Motor1.com, Litvin adalah vlogger asal Rusia yang berkonflik dengan dealer Mercedes di mana ia membeli Mercedes-AMG GT 63 S miliknya.
    Menurut sejumlah laporan, mobil ini terus-menerus mogok sejak Litvin membelinya, dan dealer tidak melakukan apa pun terkait masalah tersebut. Dia disebut telah mengirim mobilnya ke dealer hingga lima kali. Namun, dalam semua kasus, dealer mencari alasan untuk tidak memperbaiki mobilnya atau hanya menyimpan mobilnya beberapa minggu tanpa memperbaikinya.
    Akhirnya, Litvin memutuskan untuk mengirim pesan kepada Mercedes-Benz dengan membakar AMG GT 63 S miliknya di tengah lapangan berumput yang basah. Video pembakaran mobil milik Litvin ini berakhir ironis, di mana dia pergi dengan mobil pabrikan Ukraina lawas, ZAZ.
    Dilansir dari situs milik stasiun televisi India, NDTV, Mercedes-AMG GT 63 S milik Litvin dilaporkan rusak beberapa kali setelah ia membelinya dari dealer resmi. Dia pun mengirimkannya kembali ke dealer hingga lima kali, namun perbaikan tidak membantu.
    Secara keseluruhan, mobil tersebut menghabiskan lebih dari 40 hari dalam perbaikan, dan dalam salah satu kasus, turbin diganti dengan yang baru yang dipesan langsung dari Jerman. Setelah kasus terakhir, dealer berhenti menjawab telepon Litvin yang kembali menemui masalah di mobilnya. Pria yang akrab disapa Misha ini pun memutuskan untuk membakar mobil tersebut sebagai bentuk protes.

    Kesimpulan


    Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa pembakaran mobil mewah dalam video di atas terkait dengan aksi boikot produk Prancis, keliru. Mobil yang dibakar oleh pria bernama Mikhail Litvin tersebut adalah jenis Mercedes-AMG GT 63 S buatan Jerman, bukan Prancis. Pembakaran mobil tersebut sama sekali tidak terkait dengan aksi boikot produk Prancis. Litvin memutuskan membakar mobilnya sebagai bentuk protes kepada Mercedes-Benz atas layanan perbaikan dari dealer yang dinilai tidak memuaskan.
    ZAINAL ISHAQ
    Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini