INSTING MAKELAR
AKU Awalnya kaget, membaca berita dari berbagai Media nasional soal Pembelian Hellikopter Presiden jokowi.
Dalam berita banyak disebutkan PT.DI Produksi Hellikopter sendiri jenis EC-725 dan lebih canggih, kenapa Pemerintah membeli Helikppter VVIP AW101 produksi Italia dan Inggris itu ?
Berbagai komentar bermunculan.. pro dan konra tak terelakan.
Dalam benaku jg begitu, “Sejak kapan PT.DI bandung Produksi Helikopter? Seingatku dulu Indonesia lewat Bpk .BJ. Habibie di IPTN berhasil produksi pesawat CN-235 jenis Komersial dibarter dengan BERAS KETAN 110.Rb Ton asal Thailand , dan Para Insinyur Indonesia marah besar karena merasa dilecehkan .Out Put Insinyur disamakan dengan Petani Thailand, dan itu adalah produk trakhir sebelum Dihantam Badai Krimon thn 1997 dan Terjungkalnya Rezim Orba.
Apapun alasan Penguasa kala itu tak bisa diterima akal sehat. Masih untung tidak ditukar dengan MARTABAK.
Lhah ini kok tumben PT DI bisa produksi Heli sendiri. Hmmm ..
Tanganku menggelitik otak atik klick. Ternyata PT DI adalah Tidak Produksi sendiri Helikopter jenis EC-725 pengganti Puma. Tapi PT.DI sebagai Agen atau MAKELAR dari Produsen negara Prancis dan German juga. Weleh…weleh..!
Kata “Rekomendasi” itu bisa berarti Mengizinkan.
Jadi PT DI hanyalah Agen dari Perusahaan helikopter Perancis dan berkolaborasi dengan German.
Yang lebih Gila lagi Ngototnya TB. Hasanudin dari Fraksi PDIP sendiri soal mesponsori pembelian heli ini. Ngotot harga EC-725 lebih murah dan lebih canggih bla,..bla..bla.. hingga soal Harga.
Nah.. mulai deh. Otak MAKELAR pada jalan semua.
Yang lucu malah Si Ruhut, justru Menangkis bahwa Heli Dalam negri lebih mahal dari luar negri. Wah… opo iyo ta ?
[MISINFORMASI] Jokowi Lebih Memilih Helikopter Buatan Luar Negeri Dibandingkan Buatan PT Dirgantara Indonesia
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 28/10/2016
Berita
Hasil Cek Fakta
Isu pembelian helikopter VVIP AW101 produksi Italia oleh presiden Jokowi menjadi polemik untuk Indonesia. Banyak masyarakat yang memberikan beragam opini terkait isu itu. Komentarnya ada yang pro dan kontra terhadap kebijakan Jokowi akan pembelian helikopter dari Italia. Masyarakat yang kontra terhadap isu tersebut, berpendapat bahwa Jokowi tidak nasionalis dan lebih memilih produksi luar negeri dibandingkan produksi dalam negeri yang dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia (DI).
Nyatanya, masyarakat yang kontra masih kurang informasi tentang PT DI. PT DI sendiri tidak memproduksi helikopter maupun pesawat. Tapi, PT DI sebagai agen atau makelar untuk pembelian pesawat maupun helikopter dan sebagai tempat perakitannya.
Dalam kasus ini, PT Dirgantara Indonesia merekomendasikan helikopter antipeluru tipe EC-725 Cougar yang bermarkas di Perancis, untuk digunakan sebagai kendaraan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Dikutip dari beritasatu.com, “Helikopter Airbus EC-725 sangat direkomendasikan bagi VVIP yakni Presiden dan Wakil Presiden, dan lebih unggul dibandingkan buatan Italia,” ujar Direktur Produksi PTDI Arie Wibowo saat memamerkan Helikopter EC-725 yang 20 persen bagiannya adalah buatan lokal, di hanggar PTDI, Bandung, Rabu (25/11).
Arie Wibowo pun membandingkan helikopter EC-725 dengan helikopter Italia AW-101 yang diberikan PTDI, tampak bahwa EC-725 memiliki lebih banyak keunggulan.
Helikopter EC-725 telah digunakan sedikitnya 32 kepala negara, sementara AW-101 digunakan empat kepala negara.
Selain itu EC-725 telah dipakai dalam kondisi perang di Lebanon, Chad, Afghanistan, Mali, Libya dan lain-lain, sedangkan AW-101 baru pernah digunakan mengangkut pasukan ke Afghanistan.
“Yang lebih jelas lagi, EC-725 lebih murah dibandingkan AW-101. Dan jika terjadi ‘engine failure’ EC-725 secara otomatis akan mengaktifkan autopilot untuk membantu stabilisasi helikopter, selain itu EC-725 juga telah dilengkapi perahu karet dan Forward Looking Infrared atau FLIR,” ujarnya.
Dia menekankan pengadaan helikopter Presiden oleh PTDI jauh lebih aman ketimbang membeli helikopter dari Italia dengan potensi terbongkarnya rahasia keamanan kendaraan khusus Presiden.
Rencana pengadaan helikopter khusus Presiden dan Wakil Presiden menuai pro dan kontra. TNI AU menginginkan helikopter Presiden dibeli dari Italia yakni jenis AW-101, sedangkan sejumlah kalangan merekomendasikan pembelian helikopter dari PTDI yakni tipe EC-725.
Salah satu kalangan tersebut dari politisi Ruhut Sitompul. Dia menilai, alasan orang nomor satu di Indonesia menggunakan produk asing lantaran faktor keamanan dan anggaran. Menurutnya, harga helikopter buatan PT DI lebih mahal dari heli yang akan dibeli pemerintah.
“Pembelian ini pastikan disetujui DPR sebagai pengawas anggaran. Kalau helikopter yang jadi kendala itu kalau produksi dalam negeri lebih mahal. Sementara bapak Presiden menginginkan penghematan anggaran,” kata Ruhut saat berbincang dengan Okezone, Kamis (26/11/2015).
Selain itu, faktor keamanan menjadi pertimbangan pemerintah membeli dari luar negeri. Menurutnya, helikopter produksi dari luar lebih aman, ketimbang produksi PT DI. “Untuk RI 1 itu harus mesti betul-betul aman. Yang saya tahu itu pak Jokowi orangnya sederhana makanya dia selalu menghemat anggaran untuk dirinya,” pungkas Ruhut.
Nyatanya, masyarakat yang kontra masih kurang informasi tentang PT DI. PT DI sendiri tidak memproduksi helikopter maupun pesawat. Tapi, PT DI sebagai agen atau makelar untuk pembelian pesawat maupun helikopter dan sebagai tempat perakitannya.
Dalam kasus ini, PT Dirgantara Indonesia merekomendasikan helikopter antipeluru tipe EC-725 Cougar yang bermarkas di Perancis, untuk digunakan sebagai kendaraan Presiden dan Wakil Presiden RI.
Dikutip dari beritasatu.com, “Helikopter Airbus EC-725 sangat direkomendasikan bagi VVIP yakni Presiden dan Wakil Presiden, dan lebih unggul dibandingkan buatan Italia,” ujar Direktur Produksi PTDI Arie Wibowo saat memamerkan Helikopter EC-725 yang 20 persen bagiannya adalah buatan lokal, di hanggar PTDI, Bandung, Rabu (25/11).
Arie Wibowo pun membandingkan helikopter EC-725 dengan helikopter Italia AW-101 yang diberikan PTDI, tampak bahwa EC-725 memiliki lebih banyak keunggulan.
Helikopter EC-725 telah digunakan sedikitnya 32 kepala negara, sementara AW-101 digunakan empat kepala negara.
Selain itu EC-725 telah dipakai dalam kondisi perang di Lebanon, Chad, Afghanistan, Mali, Libya dan lain-lain, sedangkan AW-101 baru pernah digunakan mengangkut pasukan ke Afghanistan.
“Yang lebih jelas lagi, EC-725 lebih murah dibandingkan AW-101. Dan jika terjadi ‘engine failure’ EC-725 secara otomatis akan mengaktifkan autopilot untuk membantu stabilisasi helikopter, selain itu EC-725 juga telah dilengkapi perahu karet dan Forward Looking Infrared atau FLIR,” ujarnya.
Dia menekankan pengadaan helikopter Presiden oleh PTDI jauh lebih aman ketimbang membeli helikopter dari Italia dengan potensi terbongkarnya rahasia keamanan kendaraan khusus Presiden.
Rencana pengadaan helikopter khusus Presiden dan Wakil Presiden menuai pro dan kontra. TNI AU menginginkan helikopter Presiden dibeli dari Italia yakni jenis AW-101, sedangkan sejumlah kalangan merekomendasikan pembelian helikopter dari PTDI yakni tipe EC-725.
Salah satu kalangan tersebut dari politisi Ruhut Sitompul. Dia menilai, alasan orang nomor satu di Indonesia menggunakan produk asing lantaran faktor keamanan dan anggaran. Menurutnya, harga helikopter buatan PT DI lebih mahal dari heli yang akan dibeli pemerintah.
“Pembelian ini pastikan disetujui DPR sebagai pengawas anggaran. Kalau helikopter yang jadi kendala itu kalau produksi dalam negeri lebih mahal. Sementara bapak Presiden menginginkan penghematan anggaran,” kata Ruhut saat berbincang dengan Okezone, Kamis (26/11/2015).
Selain itu, faktor keamanan menjadi pertimbangan pemerintah membeli dari luar negeri. Menurutnya, helikopter produksi dari luar lebih aman, ketimbang produksi PT DI. “Untuk RI 1 itu harus mesti betul-betul aman. Yang saya tahu itu pak Jokowi orangnya sederhana makanya dia selalu menghemat anggaran untuk dirinya,” pungkas Ruhut.
Rujukan
[BENAR] @rudiantara_id: “Tweet @PartaiHulk Ini Mengandung Fitnah yANg Sangat Keji dan Tidak Berdasar”
Sumber:Tanggal publish: 08/05/2019
Berita
Pernyataan Menkominfo @rudiantara_id melalui akun twitternya:
Slmt pagi. Tweet @PartaiHulk ini mengandung fitnah yg sangat keji & tidak berdasar. Yg disampaikan ybs tidak benar dan dapat diduga sbg perbuatan yg dilarang UU ITE. Mari selalu tabayyun, hindari fitnah berjamaah. Jangan sampai fitnah/hoax banyak disebar di medsos. Salam, ra.
Slmt pagi. Tweet @PartaiHulk ini mengandung fitnah yg sangat keji & tidak berdasar. Yg disampaikan ybs tidak benar dan dapat diduga sbg perbuatan yg dilarang UU ITE. Mari selalu tabayyun, hindari fitnah berjamaah. Jangan sampai fitnah/hoax banyak disebar di medsos. Salam, ra.
Hasil Cek Fakta
Rujukan
[BERITA] “PERJUANGAN SITUS KEBENCIAN MENGEMAS OMONG KOSONG”
Sumber: Media OnlineTanggal publish: 10/10/2017
Berita
“09/11/2017
AMATAN
PERJUANGAN SITUS KEBENCIAN MENGEMAS OMONG KOSONG
Demi membuat percaya pembaca, situs-situs penyebar kebencian mengemas omong kosong seolah karya jurnalistik. Dengan cara apa mereka melakukannya?
Kalau ada yang paling dikhawatirkan Bill Kovach, penulis buku populer Sembilan Elemen Jurnalisme (2012), maka ia adalah tergantikannya jurnalisme oleh berita palsu dan hoax. Di Indonesia, mimpi buruk Kovach kiranya sudah hampir menjadi nyata. Setiap hari kita menyaksikan hoax dan berita palsu hilir mudik di lini masa dan memicu debat publik yang tak perlu. Contoh terbaik dari hal ini adalah twit Elly Risman berikut:
AMATAN
PERJUANGAN SITUS KEBENCIAN MENGEMAS OMONG KOSONG
Demi membuat percaya pembaca, situs-situs penyebar kebencian mengemas omong kosong seolah karya jurnalistik. Dengan cara apa mereka melakukannya?
Kalau ada yang paling dikhawatirkan Bill Kovach, penulis buku populer Sembilan Elemen Jurnalisme (2012), maka ia adalah tergantikannya jurnalisme oleh berita palsu dan hoax. Di Indonesia, mimpi buruk Kovach kiranya sudah hampir menjadi nyata. Setiap hari kita menyaksikan hoax dan berita palsu hilir mudik di lini masa dan memicu debat publik yang tak perlu. Contoh terbaik dari hal ini adalah twit Elly Risman berikut:
Hasil Cek Fakta
Twit tersebut berasal dari akun Elly Risman, psikolog yang juga anggota panel blokir Kekominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi).Kita tahu bahwa berita tersebut adalah berita bohong yang diproduksi media abal-abal bernama Posmetro.com. Kasus Elly adalah tanda dari rendahnya literasi media publik Indonesia.
Sialnya, di era banjir informasi seperti saat ini, siapa saja bisa tertipu berita palsu. Elly Risman tidak sendiri, menteri pertahanan Pakistan, Khawaja Muhammad Asif, juga pernah kena provokasi berita palsu. Didasari informasi palsu tentang ancaman nuklir Israel pada Pakistan bila Pakistan mengirim tentara ke Suriah,Muhammad Asif mengancam balik Israel dengan mengatakan “Israel jangan lupa Pakistan juga negara nuklir”. Ngeri bukan?
Sebenarnya ada banyak cara mengenali berita palsu, salah satunya adalah dengan memahami bagaimana situs-situs berita palsu menyamarkan diri sebagai pers.
Bill Kovach, dalam bukunya Blur, mengatakan bahwa kehadiran internet memang meruntuhkan otoritas pers sebagai penentu berita yang layak dan tidak dipublikasikan. Namun klaim kebenaran objektif yang disandang jurnalisme tidak ikut runtuh. Klaim ini masih diterima luas oleh publik dan, karenanya, situs-situs penyebar kebencian sekalipun merasa perlu bersolek layaknya pers. Lihat saja situs-situs seperti Voa-Islam.com, postmetro.org, Arrahmah.com, atau pun Nahimungkar.com. Meski tidak menjalankan etika dan prosedur jurnalistik ketiganya kerap mendaku diri sebagai media atau pers Islam. Bagaimana mereka melakukannya? (Baca juga: “Pengadilan Media Atas Etnis Tionghoa” dan riset Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) mengenai daftar media-media radikal).
Teknik Pertama: Agama adalah Kriteria Jurnalistik Utama
Iklim kecurigaan adalah pondasi dari kredibilitas situs penyebar pesan kebencian. Kredibilitas mereka pertama-tama dibangun di atas narasi bahwa media-media arus utama memihak kepentingan tertentu. Klaim ini tidak sepenuhnya salah. Sebagaimana kita saksikan sendiri bulan madu media dan partai politik belum juga berakhir sejak 2014. Namun, dalam konteks situs penyebar kebencian, yang lebih penting diperhatikan adalah mengapa situs-situs tersebut turut serta memunculkan kritik terhadap media arus utama.
Yang paling mencolok dari kritik Voa-Islam.com di atas adalah dikotomi antara apa yang mereka sebut sebagai “media Islam” Vs “media Sekuler atau liberal”. Media sekuler tidak didefinisikan dengan pengertian sekulerisme sebagaimana dikenal dalam ilmu politik, melainkan asal “bermusuhan” atau melakukan “perang pikiran” (gazwul-fikr) dengan mereka yang mendaku sebagai “Media Islam”.
Dengan mengkritik apa yang mereka sebut sebagai “media sekuler”, Voa-Islam.com melakukan dua hal sekaligus. Pertama, mendefinisikan dirinya sebagai “Media Islam”. Kedua, mendelegitimasi media arus utama sebagai media “sekuler”, “katolik”, “liberal”, dan lain sebagainya.
Bingkai ini pula yang menjadi basis bagi segala persoalan yang ada dalam situs-situs ini. Mulai dari pemerintahan Jokowi, reklamasi, Syiah di Indonesia dan banyak lainnya. Dengan mengidentifikasi media-media arus utama sebagai media yang tidak mewakili kepentingan umat Islam, mereka menggiring opini publik untuk mengukur kebenaran tidak lagi pada kualitas jurnalistik, melainkan pada ideologi atau agama. Ujung politik identitas ini cuma satu; mencipta ceruk keuntungan dari pembaca muslim.
Teknik Kedua: Semakin Barat, Semakin Hebat
Politik identitas saja belum cukup. Demi memperkuat klaimnya sebagai “Media Islam”, maka segala atribut pers pun diadopsi. Nama “Voa-Islam” misalnya mengingatkan kita pada kantor berita Voice of America, sebuah media milik pemerintah Amerika. Penggunaan istilah ini sendiri adalah upaya mengidentikkan diri dengan lembaga pers yang dinilai kredibel. Pada bangsa yang mengidap inferioritas pasca-kolonial, “keminggris” memang dapat menimbulkan kesan pandai dan intelektual. Dengan cara ini, mereka berharap kebencian dan propaganda dapat dikesankan sebagai sesusatu yang bersifat “intelektual”. Menyedihkan memang.
Sialnya, alih-alih menguatkan citra mereka, pilihan ini justru mengungkap paradoks mereka sendiri dalam memandang “Barat”. Dalam banyak terbitan, Voa-Islam.com kerap menyerang “Barat” sebagai ancaman bagi Islam, namun di sisi yang lain mereka tak bisa menyembunyikan rasa rendah diri (inferioritas) mereka di hadapan Barat.
Selain meminjam konotasi VOA, inferioritas ini juga bisa diidentifikasi dari artikel-artikel seperti ilmuwan Barat masuk Islam karena mukjizat Al-Qur’an atau bagaimana orang Barat berbondong-bondong masuk Islam. Kita tak pernah menemukan artikel mengenai orang kepulan Fiji atau orang Tibet masuk Islam misalnya. Ini artinya “Barat” itu lebih penting dari kebanyakan orang dibelahan bumi lain.
Artikel demikian bersandar pada logika bahwa pada dasarnya Barat itu bangsa yang besar dan maju, dan bila Barat “masuk Islam”, itu berarti Islam besar dan maju. Dengan kata lain, mereka menyandarkan kebesaran Islam pada sejauh apa Barat mau menerimanya. Saya kira mental ini jugalah yang bekerja dibalik pemilihan nama Voa-Islam.com.
Mentalitas inferior ini tidak hanya ekslusif milik Voa-Islam.com saja. Lihat misalnya tagline Arrahmah.com: “Filter Your mind, Get The Truth”. Arrahmah.com juga memiliki dua rubrikasi berjudul “News” dan “Islamic World”. Meski judulnya berbahasa Inggris, semua konten Arrahmah ekslusif berbahasa Indonesia.
Teknik Ketiga: Meletakkan kebenaran (hanya) pada Tata Letak
Taktik lain yang dipakai untuk menjadikan kebencian seolah berita adalah layout situs. Situs-situs kebencian kerap memiliki rubrik dan layout yang serupa dengan portal-portal berita pada umumnya.
Teknik Keempat: Kebenaran ada di Mulut Narasumber
Terkadang untuk memperkuat “make believe” jurnalistik pesan kebencian, media penebar kebencian menambahkan embel-embel seperti “sumber A1”, “orang dalam istana”, dan lain-lain. Voa-Islam.com bahkan memiliki rubrik khusus bertajuk “Intelligent Leaks”.
Teknik Kelima: Manipulasi Angka
Perjuangan mengemas omong kosong tidak hanya berhenti pada teknik “appeal to authority” saja. Statistik adalah cara lain yang juga kerap digunakan. Simak dua berita dari Voa-Islam.com berikut: “Astagfirullah di Depok Ada 5.791 Gay, Di Sukabumi ada 1600 Gay” dan “Struktur Mati, Tapi Ideologi Hidup Adalah Keyakinan PKI Untuk Bangkit di Indonesia”. Pada berita kedua, Voa-Islam.com mengutip pernyataan Kivlan Zein mengenai simpatisan PKI yang katanya mencapai 15 juta orang. Soal dari mana data tersebut didapatkan, hanya Tuhan yang tahu.
Hal yang sama terjadi pada statistik jumlah gay di Depok.Data yang didapat dalam artikel Voa-Islam.com tersebut berasal dari berita dari Vivanews.com bertajuk “Survei: Ada 5.791 Pria Gay di Depok” dan Viva.com mendapatkan informasi ini dari Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kota Depok, Herry Kuntowo. Baik Viva.com dan banyak media lain yang turut mengutip pernyataan Harry, tak ada satu pun yang memverifikasi data yang disampaikan. Dalam hal ini termasuk Tempo.co.id yang menurunkan berita bertajuk “Setahun, Jumlah Gay di Kota Depok Meningkat 800 Orang”.
Media-media ini sama sekali tidak mempertanyakan bagaimana survei tersebut dilakukan. Agak sulit membayangkan sebuah survei mengenai orientasi seksual dilakukan di tengah masyarakat yang belum bisa menerima LBGT. Apakah orang dengan orientasi seksual non-heteronormatif mau dengan mudah berkata “ya” pada sebuah pertanyaan, “apakah anda memiliki orientasi seksual sejenis?”
Hal lain, data ini disampaikan oleh narasumber yang merupakan staf dari KPA, sehingga informasi ini mendorong kembali mitos soal HIV dan AIDS sebagai akibat dari perilaku hubungan sejenis. Padahal, jika mengacu pada laporan resmi KPA dalam “Laporan Perkembangan Situasi HIV-AIDS di Indonesia” yang dirilis tahun 2016, tak ada sama sekali informasi yang menghubungkan perilaku seks sejenis dengan HIV dan AIDS. Bahkan laporan yang sama justru menyebutkan, “faktor resiko penularan AIDS terbanyak terjadi pada heteroseksual (66%), penasun (11.3%), diikuti homoseksual (2.9%)”, dan “Jumlah AIDS tertinggi menurut status pekerjaan adalah pada ibu rumah tangga (10.691),
Sialnya, di era banjir informasi seperti saat ini, siapa saja bisa tertipu berita palsu. Elly Risman tidak sendiri, menteri pertahanan Pakistan, Khawaja Muhammad Asif, juga pernah kena provokasi berita palsu. Didasari informasi palsu tentang ancaman nuklir Israel pada Pakistan bila Pakistan mengirim tentara ke Suriah,Muhammad Asif mengancam balik Israel dengan mengatakan “Israel jangan lupa Pakistan juga negara nuklir”. Ngeri bukan?
Sebenarnya ada banyak cara mengenali berita palsu, salah satunya adalah dengan memahami bagaimana situs-situs berita palsu menyamarkan diri sebagai pers.
Bill Kovach, dalam bukunya Blur, mengatakan bahwa kehadiran internet memang meruntuhkan otoritas pers sebagai penentu berita yang layak dan tidak dipublikasikan. Namun klaim kebenaran objektif yang disandang jurnalisme tidak ikut runtuh. Klaim ini masih diterima luas oleh publik dan, karenanya, situs-situs penyebar kebencian sekalipun merasa perlu bersolek layaknya pers. Lihat saja situs-situs seperti Voa-Islam.com, postmetro.org, Arrahmah.com, atau pun Nahimungkar.com. Meski tidak menjalankan etika dan prosedur jurnalistik ketiganya kerap mendaku diri sebagai media atau pers Islam. Bagaimana mereka melakukannya? (Baca juga: “Pengadilan Media Atas Etnis Tionghoa” dan riset Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) mengenai daftar media-media radikal).
Teknik Pertama: Agama adalah Kriteria Jurnalistik Utama
Iklim kecurigaan adalah pondasi dari kredibilitas situs penyebar pesan kebencian. Kredibilitas mereka pertama-tama dibangun di atas narasi bahwa media-media arus utama memihak kepentingan tertentu. Klaim ini tidak sepenuhnya salah. Sebagaimana kita saksikan sendiri bulan madu media dan partai politik belum juga berakhir sejak 2014. Namun, dalam konteks situs penyebar kebencian, yang lebih penting diperhatikan adalah mengapa situs-situs tersebut turut serta memunculkan kritik terhadap media arus utama.
Yang paling mencolok dari kritik Voa-Islam.com di atas adalah dikotomi antara apa yang mereka sebut sebagai “media Islam” Vs “media Sekuler atau liberal”. Media sekuler tidak didefinisikan dengan pengertian sekulerisme sebagaimana dikenal dalam ilmu politik, melainkan asal “bermusuhan” atau melakukan “perang pikiran” (gazwul-fikr) dengan mereka yang mendaku sebagai “Media Islam”.
Dengan mengkritik apa yang mereka sebut sebagai “media sekuler”, Voa-Islam.com melakukan dua hal sekaligus. Pertama, mendefinisikan dirinya sebagai “Media Islam”. Kedua, mendelegitimasi media arus utama sebagai media “sekuler”, “katolik”, “liberal”, dan lain sebagainya.
Bingkai ini pula yang menjadi basis bagi segala persoalan yang ada dalam situs-situs ini. Mulai dari pemerintahan Jokowi, reklamasi, Syiah di Indonesia dan banyak lainnya. Dengan mengidentifikasi media-media arus utama sebagai media yang tidak mewakili kepentingan umat Islam, mereka menggiring opini publik untuk mengukur kebenaran tidak lagi pada kualitas jurnalistik, melainkan pada ideologi atau agama. Ujung politik identitas ini cuma satu; mencipta ceruk keuntungan dari pembaca muslim.
Teknik Kedua: Semakin Barat, Semakin Hebat
Politik identitas saja belum cukup. Demi memperkuat klaimnya sebagai “Media Islam”, maka segala atribut pers pun diadopsi. Nama “Voa-Islam” misalnya mengingatkan kita pada kantor berita Voice of America, sebuah media milik pemerintah Amerika. Penggunaan istilah ini sendiri adalah upaya mengidentikkan diri dengan lembaga pers yang dinilai kredibel. Pada bangsa yang mengidap inferioritas pasca-kolonial, “keminggris” memang dapat menimbulkan kesan pandai dan intelektual. Dengan cara ini, mereka berharap kebencian dan propaganda dapat dikesankan sebagai sesusatu yang bersifat “intelektual”. Menyedihkan memang.
Sialnya, alih-alih menguatkan citra mereka, pilihan ini justru mengungkap paradoks mereka sendiri dalam memandang “Barat”. Dalam banyak terbitan, Voa-Islam.com kerap menyerang “Barat” sebagai ancaman bagi Islam, namun di sisi yang lain mereka tak bisa menyembunyikan rasa rendah diri (inferioritas) mereka di hadapan Barat.
Selain meminjam konotasi VOA, inferioritas ini juga bisa diidentifikasi dari artikel-artikel seperti ilmuwan Barat masuk Islam karena mukjizat Al-Qur’an atau bagaimana orang Barat berbondong-bondong masuk Islam. Kita tak pernah menemukan artikel mengenai orang kepulan Fiji atau orang Tibet masuk Islam misalnya. Ini artinya “Barat” itu lebih penting dari kebanyakan orang dibelahan bumi lain.
Artikel demikian bersandar pada logika bahwa pada dasarnya Barat itu bangsa yang besar dan maju, dan bila Barat “masuk Islam”, itu berarti Islam besar dan maju. Dengan kata lain, mereka menyandarkan kebesaran Islam pada sejauh apa Barat mau menerimanya. Saya kira mental ini jugalah yang bekerja dibalik pemilihan nama Voa-Islam.com.
Mentalitas inferior ini tidak hanya ekslusif milik Voa-Islam.com saja. Lihat misalnya tagline Arrahmah.com: “Filter Your mind, Get The Truth”. Arrahmah.com juga memiliki dua rubrikasi berjudul “News” dan “Islamic World”. Meski judulnya berbahasa Inggris, semua konten Arrahmah ekslusif berbahasa Indonesia.
Teknik Ketiga: Meletakkan kebenaran (hanya) pada Tata Letak
Taktik lain yang dipakai untuk menjadikan kebencian seolah berita adalah layout situs. Situs-situs kebencian kerap memiliki rubrik dan layout yang serupa dengan portal-portal berita pada umumnya.
Teknik Keempat: Kebenaran ada di Mulut Narasumber
Terkadang untuk memperkuat “make believe” jurnalistik pesan kebencian, media penebar kebencian menambahkan embel-embel seperti “sumber A1”, “orang dalam istana”, dan lain-lain. Voa-Islam.com bahkan memiliki rubrik khusus bertajuk “Intelligent Leaks”.
Teknik Kelima: Manipulasi Angka
Perjuangan mengemas omong kosong tidak hanya berhenti pada teknik “appeal to authority” saja. Statistik adalah cara lain yang juga kerap digunakan. Simak dua berita dari Voa-Islam.com berikut: “Astagfirullah di Depok Ada 5.791 Gay, Di Sukabumi ada 1600 Gay” dan “Struktur Mati, Tapi Ideologi Hidup Adalah Keyakinan PKI Untuk Bangkit di Indonesia”. Pada berita kedua, Voa-Islam.com mengutip pernyataan Kivlan Zein mengenai simpatisan PKI yang katanya mencapai 15 juta orang. Soal dari mana data tersebut didapatkan, hanya Tuhan yang tahu.
Hal yang sama terjadi pada statistik jumlah gay di Depok.Data yang didapat dalam artikel Voa-Islam.com tersebut berasal dari berita dari Vivanews.com bertajuk “Survei: Ada 5.791 Pria Gay di Depok” dan Viva.com mendapatkan informasi ini dari Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kota Depok, Herry Kuntowo. Baik Viva.com dan banyak media lain yang turut mengutip pernyataan Harry, tak ada satu pun yang memverifikasi data yang disampaikan. Dalam hal ini termasuk Tempo.co.id yang menurunkan berita bertajuk “Setahun, Jumlah Gay di Kota Depok Meningkat 800 Orang”.
Media-media ini sama sekali tidak mempertanyakan bagaimana survei tersebut dilakukan. Agak sulit membayangkan sebuah survei mengenai orientasi seksual dilakukan di tengah masyarakat yang belum bisa menerima LBGT. Apakah orang dengan orientasi seksual non-heteronormatif mau dengan mudah berkata “ya” pada sebuah pertanyaan, “apakah anda memiliki orientasi seksual sejenis?”
Hal lain, data ini disampaikan oleh narasumber yang merupakan staf dari KPA, sehingga informasi ini mendorong kembali mitos soal HIV dan AIDS sebagai akibat dari perilaku hubungan sejenis. Padahal, jika mengacu pada laporan resmi KPA dalam “Laporan Perkembangan Situasi HIV-AIDS di Indonesia” yang dirilis tahun 2016, tak ada sama sekali informasi yang menghubungkan perilaku seks sejenis dengan HIV dan AIDS. Bahkan laporan yang sama justru menyebutkan, “faktor resiko penularan AIDS terbanyak terjadi pada heteroseksual (66%), penasun (11.3%), diikuti homoseksual (2.9%)”, dan “Jumlah AIDS tertinggi menurut status pekerjaan adalah pada ibu rumah tangga (10.691),
Rujukan
[BERITA] “Marak Hoax, Pemerintah Didesak Terapkan Kurikulum Digital”
Sumber: Media OnlineTanggal publish: 10/10/2017
Berita
Marak Hoax, Pemerintah Didesak Terapkan Kurikulum Digital
Agus Tri Haryanto – detikInet
Foto: Thinkstock
Jakarta – Secara umum, Indonesia masih belum menerapkan kurikulum khusus berkaitan dengan digital di tingkat sekolah. Padahal, informasi yang bersumber dari internet sangat deras dan masih sulit dicerna masyarakat.
Di satu sisi, teknologi dan informatika memberikan berbagai manfaat dan kemudahan bagi penggunanya. Sisi lain, marak peredaran informasi palsu, penipuan online, hingga ujaran kebencian.
Hal itu yang disayangkan Penelitian dan Pelatihan & Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika & Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada Purwanto. Pemerintah didesak untuk menerapkan kurikulum digital di sekolah, mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA.
“Edukasi ini lebih luas sampai ke kurikulum. Kita belum punya itu. Mungkin beberapa sekolah yang inovatif (sudah ada kurikulum semacam itu), tetapi kembali lagi siapa yang bisa mengakses (mendapat pendidikan itu)? Orang-orang berpenghasilan tinggi,” ujar Purwanto di Jakarta, Kamis (9/11/2017).
(Foto: Agus Tri Haryanto/detikINET)
Dampak ketiadaan pengetahuan terkait digital, saat ini masyarakat Indonesia mengalami overdosis dalam penggunaan mobile internet. Itu berdasarkan temuan dari hasil survei yang dilakukan P2EB Universitas Gadjah Mada dengan Indosat Ooredoo tentang penggunaan mobile internet.
Peneliti menyebutkan, overdosis ini disasarkan pada anak-anak, di mana mereka menjadi adiksi, kemampuan berkomunikasi yang menurun, social skills yang menurun bila dibandingkan dengan generasi X maupun generasi Y.
Selain itu, dampak sosial dari sisi negatif mobile internet ini juga terlihat dari ketidaksiapan masyaraka secara budaya dalam menerima kemajuan teknologi internet, meskipun secara teknis masyarakat sudah siap menghadapi kemajuan teknologi internet.
“Jangan salahkan teknologi tetapi bagaimana mengendalikan di balik pembuat dan yang memanfaatkan teknologi tersebut,” tutupnya. (rns/rou)”
Agus Tri Haryanto – detikInet
Foto: Thinkstock
Jakarta – Secara umum, Indonesia masih belum menerapkan kurikulum khusus berkaitan dengan digital di tingkat sekolah. Padahal, informasi yang bersumber dari internet sangat deras dan masih sulit dicerna masyarakat.
Di satu sisi, teknologi dan informatika memberikan berbagai manfaat dan kemudahan bagi penggunanya. Sisi lain, marak peredaran informasi palsu, penipuan online, hingga ujaran kebencian.
Hal itu yang disayangkan Penelitian dan Pelatihan & Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika & Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada Purwanto. Pemerintah didesak untuk menerapkan kurikulum digital di sekolah, mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA.
“Edukasi ini lebih luas sampai ke kurikulum. Kita belum punya itu. Mungkin beberapa sekolah yang inovatif (sudah ada kurikulum semacam itu), tetapi kembali lagi siapa yang bisa mengakses (mendapat pendidikan itu)? Orang-orang berpenghasilan tinggi,” ujar Purwanto di Jakarta, Kamis (9/11/2017).
(Foto: Agus Tri Haryanto/detikINET)
Dampak ketiadaan pengetahuan terkait digital, saat ini masyarakat Indonesia mengalami overdosis dalam penggunaan mobile internet. Itu berdasarkan temuan dari hasil survei yang dilakukan P2EB Universitas Gadjah Mada dengan Indosat Ooredoo tentang penggunaan mobile internet.
Peneliti menyebutkan, overdosis ini disasarkan pada anak-anak, di mana mereka menjadi adiksi, kemampuan berkomunikasi yang menurun, social skills yang menurun bila dibandingkan dengan generasi X maupun generasi Y.
Selain itu, dampak sosial dari sisi negatif mobile internet ini juga terlihat dari ketidaksiapan masyaraka secara budaya dalam menerima kemajuan teknologi internet, meskipun secara teknis masyarakat sudah siap menghadapi kemajuan teknologi internet.
“Jangan salahkan teknologi tetapi bagaimana mengendalikan di balik pembuat dan yang memanfaatkan teknologi tersebut,” tutupnya. (rns/rou)”
Hasil Cek Fakta
Rujukan
Halaman: 6206/6706