[KLARIFIKASI] Pembangunan Bangunan Kuliah Akademi Komunitas Negeri Tidak Terkait Kepentingan Agama Tertentu
Sumber:Tanggal publish: 14/02/2018
Berita
Beredar isu bahwa pembangunan Akademi Komunitas Negeri terkait kepentingan Agama Budha. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya, Aceh melakukan klarifikasi bahwa pembangunan itu tidak terkait kepentingan agama apapun. Adapun, pembangunan gedung tersebut merupakan sumbangan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan murni bentuk aksi kemanusiaan pascagempa Pidie Jaya tahun 2016.
Hasil Cek Fakta
Rujukan
[HOAX] Komedian Kelik Pelipur Lara Meninggal Dunia
Sumber: Media OnlineTanggal publish: 21/01/2016
Berita
Komedian Kelik Pelipur Lara Dikabarkan Meninggal Dunia
Hasil Cek Fakta
Jarang tampil di televisi, komedian Kelik Pelipur Lara yang bernama asli Raden Keliek Sumaryoto, diberitakan meninggal dunia oleh media daring okezone.com.
Kabar duka tersebut muncul di media sosial Twitter dengan akun Anak Jalanan hingga mendapat banyak ucapan belasungkawa dari netizen.
“Indonesia kembali kehilangan salah satu komediannya ..Kelik Pelipur Lara yang meninggal di RS Tangerang, Rabu, 20 Jan 2016, pk. 23.00 #RIP,” tulis anakjalanan @lisaboykecil.
Tidak lama, beredar kabar duka dari pihak keluarga melalui pesan berantai di awak media. Komedian asal Yogyakarta itu akan disemayamkan di rumah duka di kawasan Cileduk, Tangerang.
“Kepada teman-teman yang mengenalnya atas nama keluarga, mohon di maafkan segala kesalahan dan kehilafannya, semasa beliau hidup semoga segala amal baiknya di terima Alloh SWT dan di berikan ke iklasan bagi keluarga yg di tinggalkan. Bagi yang ingin datang ke rumah duka, jl. Anggrek 1/33 cileudug masuk dari jl.Swadaya cileudug..terima kasih,” tulis pesan tersebut.
Kabar itu langsung diklarifikasi oleh Kelik Pelipur Lara, seperti dikutip dari bintang.com.
“Terus terang saya kaget bukan main saat banyak sekali SMS dan telpon dari kerabat dan sahahat. Mereka bertanya soal kabar saya meninggal dunia. Terpaksa saya menjelaskan kalau bukan Kelik Pelipur Lara yang meninggal. Tapi Kelik WS yang tinggal di Jakarta. Saya sendiri masih sibuk dengan persiapan acara baru di TVRI,” ungkapnya saat dihubungi Bintang.com pada Kamis (21/1/2016).
Kabar duka tersebut muncul di media sosial Twitter dengan akun Anak Jalanan hingga mendapat banyak ucapan belasungkawa dari netizen.
“Indonesia kembali kehilangan salah satu komediannya ..Kelik Pelipur Lara yang meninggal di RS Tangerang, Rabu, 20 Jan 2016, pk. 23.00 #RIP,” tulis anakjalanan @lisaboykecil.
Tidak lama, beredar kabar duka dari pihak keluarga melalui pesan berantai di awak media. Komedian asal Yogyakarta itu akan disemayamkan di rumah duka di kawasan Cileduk, Tangerang.
“Kepada teman-teman yang mengenalnya atas nama keluarga, mohon di maafkan segala kesalahan dan kehilafannya, semasa beliau hidup semoga segala amal baiknya di terima Alloh SWT dan di berikan ke iklasan bagi keluarga yg di tinggalkan. Bagi yang ingin datang ke rumah duka, jl. Anggrek 1/33 cileudug masuk dari jl.Swadaya cileudug..terima kasih,” tulis pesan tersebut.
Kabar itu langsung diklarifikasi oleh Kelik Pelipur Lara, seperti dikutip dari bintang.com.
“Terus terang saya kaget bukan main saat banyak sekali SMS dan telpon dari kerabat dan sahahat. Mereka bertanya soal kabar saya meninggal dunia. Terpaksa saya menjelaskan kalau bukan Kelik Pelipur Lara yang meninggal. Tapi Kelik WS yang tinggal di Jakarta. Saya sendiri masih sibuk dengan persiapan acara baru di TVRI,” ungkapnya saat dihubungi Bintang.com pada Kamis (21/1/2016).
Rujukan
[KLARIFIKASI] Harga Beras Di Pangkalpinang Tidak Naik
Sumber: Media DaringTanggal publish: 15/02/2018
Berita
Beredar isu di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung bahwa harga beras naik melonjak naik hingga Rp14.000 per kilogram atau di atas harga eceran tertitnggi (HET). Menanggapi isu tersebut, Kepala Dinas Pangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Damiri, mengatakan harga beras di Pangkal Pinang masih normal atau masih di bawah HET. Dengan demikian, isu naiknya harga beras di Pangkal Pinang tidak benar.
Setelah dilakukan pengecekan oleh Dinas Pangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan bertanya kepada para pedagang sepanjang Jalan Muntok, diketahui bahwa harga beras normal dan stok cukup untuk memenuhi permintaan masyarakat.
Setelah dilakukan pengecekan oleh Dinas Pangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan bertanya kepada para pedagang sepanjang Jalan Muntok, diketahui bahwa harga beras normal dan stok cukup untuk memenuhi permintaan masyarakat.
Hasil Cek Fakta
Rujukan
[BERITA] “Ketika Emosi Dominasi Politik”
Sumber:Tanggal publish: 16/10/2017
Berita
Kompas 15 Nov 2017 Oleh HARYATMOKO
Fenomena hoaks yang masif menyebar mengentak akal sehat masyarakat dan dunia politik. Di satu sisi, banyak orang skeptis terhadap kredibilitas media massa. Namun, di sisi lain, hoaks menunjukkan, masyarakat justru mudah percaya pada beragam informasi media sosial. Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas berita, pesan, atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. Kebohongan menyelinap masuk melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Akibatnya, di dalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan dan konflik semakin mudah dipicu. Parahnya, hoaks semakin menyuburkan polarisasi masyarakat karena meneguhkan keyakinan setiap kelompok. Setiap kelompok cenderung menolak penalaran yang berbeda meski masuk akal atau obyektif. Kebohongan menyuburkan ideologi. Masalahnya, kebohongan bukan hanya bentuk mekanisme pertahanan diri, melainkan dirancang, diciptakan, dikembangkan, dan direkayasa ke dalam wacana publik. Kebohongan jadi bagian dari serangan strategis terkoordinasi yang dimaksudkan untuk menyembunyikan kebenaran, mengacaukan publik dengan menciptakan pertentangan yang awalnya tak ada. Tujuannya, menghentikan kemajuan dalam kehidupan bersama demi kekuasaan. Mengapa kebohongan memikat? Karena pembohong, menurut Arendt, berbicara/menalar dengan mengikuti logika dan harapan yang dibohongi (1979). Tesis Arendt ini mirip logika hoaks yang mau memuaskan keyakinan audiensnya. Hoaks adalah anak kandung era post-truth. Era post-truth, menurut JA Llorente, merupakan iklim sosial-politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda (2017: 9). Post-truth lebih tepat disebut lawan kata dari fact-checking: relativisasi kebenaran berhadapan obyektivitas data. Lalu terjadi banalisasi data karena adanya supremasi wacana emosional (JA Zarzalejos, 2006).
Kebaruan ”post-truth”
Era post-truth mendapat momentumnya karena massa jenuh dan membenci limpahan pesan dan rayuan: semua berujung meminta untuk membeli, mengonsumsi, memilih, memberi pendapat, atau ambil bagian di kehidupan sosial. Ada tiga kondisi era post-truth yang disambut hangat masyarakat: (1) ada devaluasi kebenaran sebagai dampak dari narasi politisi penebar demagogi, (2) banyak orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang telah dipilih, dan (3) media menekankan sensasi sehingga seakan hanya yang spektakuler atau sensasional layak disebut worth news. Kecenderungan ini menyuburkan perkembangan hoaks. Membanjirnya hoaks membuat masyarakat tak sempat lagi atau malas, bahkan menolak, untuk memverifikasi fakta. Hoaks mengukir karier gemilangnya melalui keberhasilan membungkam pemikiran kritis. Meluasnya fenomena hoaks yang melemahkan obyektivitas dan kredibilitas informasi tak bisa dilepaskan dari cara-cara baru mengakses ke opini publik berkat berkembangnya media alternatif: WhatsApp, Facebook, blog pribadi, SnapChat, Twitter, dan Youtube. Media sosial ini memudahkan berita palsu menyebar. Kredibilitas media pudar, kalah dari opini pribadi. Fakta jadi nomor dua, kalah dari keyakinan pribadi. Era post-truth mengutamakan bagaimana melihat dan membaca versi fakta yang lebih dekat dengan ideologi masing-masing. Lalu apa kebaruannya dibandingkan kebohongan yang sejak dulu sudah dipraktikkan dalam politik? Ada lima kebaruan yang menandai era post-truth: (1) luasnya akses ke konten informasi berkat digitalisasi komunikasi, (2) masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui medsos berkat demokratisasi media dan jurnalisme warga, (3) masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas-komunitas seideologi, (4) teknologi telah merancukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika, dan (5) kebenaran tidak perlu lagi difalsifikasi atau dibantah, tetapi kebenaran menjadi nomor dua. Kelima kebaruan itu memberi peluang politisi yang haus kekuasaan untuk merekayasa agar prasangka negatif kelompok-kelompok masyarakat diintensifkan melalui manipulasi emosi mereka.
Bangkitkan permusuhan
Semua gerakan politik yang mau mendiskreditkan lawannya berusaha menggunakan unsur-unsur yang lebih sentimental/emosional. Tujuannya, untuk menciptakan dan membakar emosi massa. Upaya seperti ini menjadi bagian dari populisme: persuasi emosional lebih efektif daripada kriteria rasionalitas. Populisme piawai menggunakan demagogi karena inti komunikasinya membidik pengaruh melalui manipulasi. Demagog disebut politikus yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Maka, dia sangat piawai menyesuaikan diri dengan situasi emosi rakyat sampai mampu menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Demagog mudah mengaduk-aduk emosi massa. Bagi seorang demagog, merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya (Bellenger). Manipulasi menyusup di celah-celah antara nilai, gagasan, dan opini sehingga ketiganya sulit dibedakan untuk akhirnya diterima sebagai fakta. Bentuk disinformasi ini mau menyentuh emosi masyarakat agar mudah membungkam pikiran kritis. Tujuannya: membangkitkan ketegangan dan permusuhan untuk mobilisasi massa. Jadi, disinformasi ini menjadi instrumen persuasi yang membidik empat hal: (1) bentuk rekayasa informasi agar orang bingung dalam menafsirkan realitas, (2) manajemen taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok masyarakat, (3) menciptakan mitos-mitos politik, dan (4) self-fulfilling prophecy: pembenaran argumen politikus yang dikemas seperti ramalan, padahal sebetulnya peramal sekaligus algojonya.
Menipu tanpa merasa salah
Menipu tak lagi menimbulkan rasa salah karena tipuan dianggap sebagai versi lain semi-kebenaran. Mengapa bisa tak merasa bersalah? Kebanyakan orang sibuk dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya sehingga apa pun bisa dilakukan demi citra baik di mata orang lain. Menipu jadi hal yang biasa di seluruh tingkat kehidupan (R Keyes, 2004: 3-5). Tuntutan pencitraan diri itu yang mendorong orang mudah berbohong. Memilih mana yang mau dikatakan seakan hanyalah masalah mana yang lebih nyaman, bukan lagi terbebani tanggung jawab moral. Semua dilakukan demi citra diri di mata orang lain, terutama kelompoknya. Kecenderungan berbohong menunjukkan, dalam hal politik dan moral, manusia pada dasarnya lebih groupish daripada selfish (Haidt, 2012: 97, 203). Orang lebih memberi perhatian kepada kelompoknya. Kecenderungan berpihak kepada kelompoknya ini menjelaskan dari mana datangnya fanatisme kelompok. Haidt menunjuk empat penyebab fanatisme kelompok: (1) insting sosial mendorong orang yang merasa kuat dekat dengan kelompok, (2) berlakunya hukum kesalingan, yaitu yang mudah menolong cepat mendapat pertolongan, (3) memuji dan menyalahkan jadi faktor penting dalam membentuk ikatan kelompok karena seleksi kelompok ditentukan berdasarkan keberhasilan upaya menekan selfishness (Haidt, 2012: 206-207), dan (4) pengaruh oksitosin, hormon neurotransmiter yang dihasilkan hipotalamus, untuk mendorong mencintai anggota kelompoknya dan membenci bukan kelompoknya. Menurut Haidt, hormon ini akan muncul pada saat situasi intim berkat hubungan dekat dan berani terluka/mati ketika menghadapi musuh (Haidt, 2012: 247). Berbohong juga dipakai untuk melindungi kelompok. Kebohongan memecah belah kelompok-kelompok masyarakat dan melemahkan budaya politik sehingga konsensus ideologis menjadi tidak mungkin. Warga negara biasa, bahkan intelektual, tidak mampu melawan kebohongan yang terorganisasi rapi. Akademisi direkrut untuk memberi legitimasi ilmiah rekayasa politisi. Demi kekuasaan, manipulasi media mampu menciptakan situasi di mana kebenaran menjadi tidak relevan lagi.
Pengajar di Universitas Sanata Dharma dan FIB Universitas Indonesia”
Fenomena hoaks yang masif menyebar mengentak akal sehat masyarakat dan dunia politik. Di satu sisi, banyak orang skeptis terhadap kredibilitas media massa. Namun, di sisi lain, hoaks menunjukkan, masyarakat justru mudah percaya pada beragam informasi media sosial. Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas berita, pesan, atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. Kebohongan menyelinap masuk melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Akibatnya, di dalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan dan konflik semakin mudah dipicu. Parahnya, hoaks semakin menyuburkan polarisasi masyarakat karena meneguhkan keyakinan setiap kelompok. Setiap kelompok cenderung menolak penalaran yang berbeda meski masuk akal atau obyektif. Kebohongan menyuburkan ideologi. Masalahnya, kebohongan bukan hanya bentuk mekanisme pertahanan diri, melainkan dirancang, diciptakan, dikembangkan, dan direkayasa ke dalam wacana publik. Kebohongan jadi bagian dari serangan strategis terkoordinasi yang dimaksudkan untuk menyembunyikan kebenaran, mengacaukan publik dengan menciptakan pertentangan yang awalnya tak ada. Tujuannya, menghentikan kemajuan dalam kehidupan bersama demi kekuasaan. Mengapa kebohongan memikat? Karena pembohong, menurut Arendt, berbicara/menalar dengan mengikuti logika dan harapan yang dibohongi (1979). Tesis Arendt ini mirip logika hoaks yang mau memuaskan keyakinan audiensnya. Hoaks adalah anak kandung era post-truth. Era post-truth, menurut JA Llorente, merupakan iklim sosial-politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda (2017: 9). Post-truth lebih tepat disebut lawan kata dari fact-checking: relativisasi kebenaran berhadapan obyektivitas data. Lalu terjadi banalisasi data karena adanya supremasi wacana emosional (JA Zarzalejos, 2006).
Kebaruan ”post-truth”
Era post-truth mendapat momentumnya karena massa jenuh dan membenci limpahan pesan dan rayuan: semua berujung meminta untuk membeli, mengonsumsi, memilih, memberi pendapat, atau ambil bagian di kehidupan sosial. Ada tiga kondisi era post-truth yang disambut hangat masyarakat: (1) ada devaluasi kebenaran sebagai dampak dari narasi politisi penebar demagogi, (2) banyak orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang telah dipilih, dan (3) media menekankan sensasi sehingga seakan hanya yang spektakuler atau sensasional layak disebut worth news. Kecenderungan ini menyuburkan perkembangan hoaks. Membanjirnya hoaks membuat masyarakat tak sempat lagi atau malas, bahkan menolak, untuk memverifikasi fakta. Hoaks mengukir karier gemilangnya melalui keberhasilan membungkam pemikiran kritis. Meluasnya fenomena hoaks yang melemahkan obyektivitas dan kredibilitas informasi tak bisa dilepaskan dari cara-cara baru mengakses ke opini publik berkat berkembangnya media alternatif: WhatsApp, Facebook, blog pribadi, SnapChat, Twitter, dan Youtube. Media sosial ini memudahkan berita palsu menyebar. Kredibilitas media pudar, kalah dari opini pribadi. Fakta jadi nomor dua, kalah dari keyakinan pribadi. Era post-truth mengutamakan bagaimana melihat dan membaca versi fakta yang lebih dekat dengan ideologi masing-masing. Lalu apa kebaruannya dibandingkan kebohongan yang sejak dulu sudah dipraktikkan dalam politik? Ada lima kebaruan yang menandai era post-truth: (1) luasnya akses ke konten informasi berkat digitalisasi komunikasi, (2) masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui medsos berkat demokratisasi media dan jurnalisme warga, (3) masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas-komunitas seideologi, (4) teknologi telah merancukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika, dan (5) kebenaran tidak perlu lagi difalsifikasi atau dibantah, tetapi kebenaran menjadi nomor dua. Kelima kebaruan itu memberi peluang politisi yang haus kekuasaan untuk merekayasa agar prasangka negatif kelompok-kelompok masyarakat diintensifkan melalui manipulasi emosi mereka.
Bangkitkan permusuhan
Semua gerakan politik yang mau mendiskreditkan lawannya berusaha menggunakan unsur-unsur yang lebih sentimental/emosional. Tujuannya, untuk menciptakan dan membakar emosi massa. Upaya seperti ini menjadi bagian dari populisme: persuasi emosional lebih efektif daripada kriteria rasionalitas. Populisme piawai menggunakan demagogi karena inti komunikasinya membidik pengaruh melalui manipulasi. Demagog disebut politikus yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Maka, dia sangat piawai menyesuaikan diri dengan situasi emosi rakyat sampai mampu menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Demagog mudah mengaduk-aduk emosi massa. Bagi seorang demagog, merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya (Bellenger). Manipulasi menyusup di celah-celah antara nilai, gagasan, dan opini sehingga ketiganya sulit dibedakan untuk akhirnya diterima sebagai fakta. Bentuk disinformasi ini mau menyentuh emosi masyarakat agar mudah membungkam pikiran kritis. Tujuannya: membangkitkan ketegangan dan permusuhan untuk mobilisasi massa. Jadi, disinformasi ini menjadi instrumen persuasi yang membidik empat hal: (1) bentuk rekayasa informasi agar orang bingung dalam menafsirkan realitas, (2) manajemen taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok masyarakat, (3) menciptakan mitos-mitos politik, dan (4) self-fulfilling prophecy: pembenaran argumen politikus yang dikemas seperti ramalan, padahal sebetulnya peramal sekaligus algojonya.
Menipu tanpa merasa salah
Menipu tak lagi menimbulkan rasa salah karena tipuan dianggap sebagai versi lain semi-kebenaran. Mengapa bisa tak merasa bersalah? Kebanyakan orang sibuk dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya sehingga apa pun bisa dilakukan demi citra baik di mata orang lain. Menipu jadi hal yang biasa di seluruh tingkat kehidupan (R Keyes, 2004: 3-5). Tuntutan pencitraan diri itu yang mendorong orang mudah berbohong. Memilih mana yang mau dikatakan seakan hanyalah masalah mana yang lebih nyaman, bukan lagi terbebani tanggung jawab moral. Semua dilakukan demi citra diri di mata orang lain, terutama kelompoknya. Kecenderungan berbohong menunjukkan, dalam hal politik dan moral, manusia pada dasarnya lebih groupish daripada selfish (Haidt, 2012: 97, 203). Orang lebih memberi perhatian kepada kelompoknya. Kecenderungan berpihak kepada kelompoknya ini menjelaskan dari mana datangnya fanatisme kelompok. Haidt menunjuk empat penyebab fanatisme kelompok: (1) insting sosial mendorong orang yang merasa kuat dekat dengan kelompok, (2) berlakunya hukum kesalingan, yaitu yang mudah menolong cepat mendapat pertolongan, (3) memuji dan menyalahkan jadi faktor penting dalam membentuk ikatan kelompok karena seleksi kelompok ditentukan berdasarkan keberhasilan upaya menekan selfishness (Haidt, 2012: 206-207), dan (4) pengaruh oksitosin, hormon neurotransmiter yang dihasilkan hipotalamus, untuk mendorong mencintai anggota kelompoknya dan membenci bukan kelompoknya. Menurut Haidt, hormon ini akan muncul pada saat situasi intim berkat hubungan dekat dan berani terluka/mati ketika menghadapi musuh (Haidt, 2012: 247). Berbohong juga dipakai untuk melindungi kelompok. Kebohongan memecah belah kelompok-kelompok masyarakat dan melemahkan budaya politik sehingga konsensus ideologis menjadi tidak mungkin. Warga negara biasa, bahkan intelektual, tidak mampu melawan kebohongan yang terorganisasi rapi. Akademisi direkrut untuk memberi legitimasi ilmiah rekayasa politisi. Demi kekuasaan, manipulasi media mampu menciptakan situasi di mana kebenaran menjadi tidak relevan lagi.
Pengajar di Universitas Sanata Dharma dan FIB Universitas Indonesia”
Hasil Cek Fakta
Rujukan
Halaman: 6253/6770