JAKARTA, KOMPAS.com — Dokter Robiah Khairani Hasibuan atau biasa dikenal Ani Hasibuan belakangan menjadi pembicaraan publik lantaran pernyataannya mengenai banyak petugas Kelompok Panitia Pemunggutan Suara (KPPS) yang meninggal selama Pemilu 2019. Akibat pernyataannya, Ani dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dugaan ujaran kebencian. Berikut 5 fakta kasus pernyataan Ani Hasibuan yang dirangkum Kompas.com. 1. Pernyataan kontroversial Pernyataannya mengenai banyak petugas Kelompok Panitia Pemunggutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2019 di salah satu televisi swasta, beberapa waktu lalu, memicu kontroversi publik, khususnya di media sosial. Dikutip www.tribunnews.com, Ani awalnya mempertanyakan mengapa banyak petugas KPPS yang meninggal dunia di sela-sela kerja. "Saya sebagai dokter dari awal sudah merasa lucu, gitu. Ini bencana pembantaian atau pemilu? Kok banyak amat yang meninggal. Pemilu kan happy-happy mau dapat pemimpin barukah atau bagaimana? Nyatanya (banyak yang) meninggal,” ujar Ani.
Kemudian, Ani menyanggah pernyataan pihak KPU yang menyebutkan bahwa kasus meninggalnya petugas KPPS disebabkan kelelahan bekerja. Ani juga berpendapat, beban kerja petugas KPPS pada Pemilu 2019 ini tidak terlalu berat. Ia membandingkannya dengan dokter yang sedang mengambil spesialis. “Saya melihat beban kerjanya. Ada di laporan kerja saya. Itu beban kerjanya saya tidak melihat ada fisik yang capek. Yang saya tahu, dokter yang ambil spesialis itu capek kerja tiga hari tiga malam tidak ada yang mati. Yang ada itu malah tambah gendut,” kata Ani. Ani menambahkan, kemungkinan penyebab kematian adalah penyakit yang sudah diderita petugas KPPS.
2. Dilaporkan ke polisi Akibat pernyataannya tersebut, Ani dilaporkan ke polisi oleh seseorang bernama Carolus Andre Yulika pada 12 Mei 2019. Ani disebut menyatakan kematian massal anggota KPPS terkait senyawa kimia. Polda Metro Jaya memanggil dokter Robiah Khairani Hasibuan atau biasa dikenal Ani Hasibuan untuk dimintai keterangan sebagai saksi dugaan penyebaran ujaran kebencian. “Ya, benar, diklarifikasi terkait ucapannya yang menyebut senyawa kimia pemusnah massal,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono ketika dikonfirmasi, Kamis (16/5/2019). Surat panggilan itu terdaftar dengan nomor S.Pgl/1158/V/RES.2.5./2019/Dit Reskrimsus.
3. Mangkir dari panggilan Ani Hasibuan tidak memenuhi panggilan penyidik dengan alasan sakit. Sedianya pemanggilan Ani diagendakan pada Jumat (17/5/2019) pukul 10.00 oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
"Hari ini panggilan itu tidak bisa kami penuhi karena klien kami dalam kondisi sakit. Jadi, pagi ini kami meminta ke penyidik Polda Metro Jaya untuk melakukan penundaaan pemeriksaan klien kami," kata kuasa hukum Ani, Amin Fahrudin, di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat. Amin menyebut kliennya sedang beristirahat di rumah. "Sakitnya itu karena terlalu over secara fisik, mungkin beliau kelelahan. Saat ini, ibu Ani sedang di rumah, bukan perawatan rumah sakit," ujarnya.
4. Bantah sebut KPPS meninggal karena senyawa kimia Amin menyebut kliennya tidak pernah membuat pernyataan terkait penyebab kematian massal anggota KPPS karena senyawa kimia seperti dikutip dalam salah satu portal media online. Dalam situs online tamsh-news.com, nama Ani tercantum dalam judul berita disertai pernyataan, “Pembantaian Pemilu, Gugurnya 573 KPPS”. Menurut Amin, kliennya tidak pernah menjadi narasumber portal online tersebut.
"Itu bukan pernyataan dari klien kami. Tapi, media portal ini melakukan framing dan mengambil pernyataan beliau ketika wawancara di TV One. Beliau dikriminalisasi karena pelintiran pernyataan di media," tuturnya. Sementara itu, dalam sesi wawancara di TV One, Ani disebut hanya mengungkapkan rasa keprihatinan terkait kematian anggota KPPS. "Kemudian saat Ibu Ani melakukan talk show di TV swasta, beliau juga tidak pernah menyatakan pernyataan serupa (kematian massal anggota KPPS karena senyawa kimia)," ujar Amin.
5. Naik ke tahap penyidikan Direktur Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Iwan Kurniawan mengatakan, kasus dugaan ujaran kebencian dengan terlapor dokter Robiah Khairani Hasibuan atau biasa dikenal Ani Hasibuan ditingkatkan ke tahap penyidikan. Kenaikan status itu berdasarkan kelengkapan barang bukti yang dimiliki penyidik dan penyelidikan kasus tersebut memenuhi unsur tindak pidana. "Kalau (masuk tahap) penyidikan itu, kan, minimal kita sudah bisa memastikan ada (unsur) pidana, itu saja ya," ujar Iwan. Pihaknya akan mengagendakan ulang pemanggilan Ani untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
5 Fakta Kasus Dokter Ani Hasibuan, Pernyataan Kontroversial yang Berujung Laporan ke Polisi
Sumber:Tanggal publish: 29/07/2019
Hasil Cek Fakta
Rujukan
TNI AD Khawatir Komunisme Gaya Baru Bangkit di Indonesia
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 29/07/2019
Hasil Cek Fakta
Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya menggelar acara doa bersama mengenang para pahlawan revolusi yang gugur saat peristiwa pemberontakan PKI pada tanggal 30 September, peristiwa itu dikenal dengan G30S/PKI.
Acara doa bersama dipimpin Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI Tatang Sulaiman. Selain Tatang, hadir pejabat TNI lainnya Pangdam Jaya Mayjen TNI Joni Supriyanto.
Dalam sambutannya, Tatang membacakan amanat KSAD Jenderal TNI Mulyono, yang mewanti-wanti bangkitnya komunisme dengan gaya baru. Ia mengajak masyarakat untuk tetap waspada.
"Ideologi komunisme di negara kita kini tengah bermetaformasis dengan komunisme gaya baru, tanpa kita sadari telah menyusup ke dalam kehidupan bermasyarakat bangsa dan negara," kata Tatang di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Timur, Minggu (30/9)
"Oleh karena itu, kita perlu meneguhkan kembali komitmen untuk mencegah komunisme hidup lagi di negara yang kita cintai ini," imbuhnya..
Tatang menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir muncul simbol-simbol yang mengindikasikan bangkitnya kembali komunis di tengah masyarakat. Ia juga menyinggung adanya suatu forum diskusi yang mencoba mengulas kembali peristiwa G30S/PKI.
"Ada suatu forum diskusi atau seminar yang bermaksud mengungkit kembali peristiwa tahun 1965 dengan dalih pelurusan sejarah padahal sejarah telah menujukkan dengan gamblang bahwa PKI adalah penghianat bangsa," ungkapnya.
Tatang menegaskan, TNI tetap berkomitmen untuk mengawal TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 demi kesatuan bangsa Indonesia.
"TNI akan terus berkomitmen untuk mengawal ketetapan negara tersebut demi tetap tegaknya negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," pungkasnya.
Acara doa bersama dipimpin Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI Tatang Sulaiman. Selain Tatang, hadir pejabat TNI lainnya Pangdam Jaya Mayjen TNI Joni Supriyanto.
Dalam sambutannya, Tatang membacakan amanat KSAD Jenderal TNI Mulyono, yang mewanti-wanti bangkitnya komunisme dengan gaya baru. Ia mengajak masyarakat untuk tetap waspada.
"Ideologi komunisme di negara kita kini tengah bermetaformasis dengan komunisme gaya baru, tanpa kita sadari telah menyusup ke dalam kehidupan bermasyarakat bangsa dan negara," kata Tatang di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta Timur, Minggu (30/9)
"Oleh karena itu, kita perlu meneguhkan kembali komitmen untuk mencegah komunisme hidup lagi di negara yang kita cintai ini," imbuhnya..
Tatang menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir muncul simbol-simbol yang mengindikasikan bangkitnya kembali komunis di tengah masyarakat. Ia juga menyinggung adanya suatu forum diskusi yang mencoba mengulas kembali peristiwa G30S/PKI.
"Ada suatu forum diskusi atau seminar yang bermaksud mengungkit kembali peristiwa tahun 1965 dengan dalih pelurusan sejarah padahal sejarah telah menujukkan dengan gamblang bahwa PKI adalah penghianat bangsa," ungkapnya.
Tatang menegaskan, TNI tetap berkomitmen untuk mengawal TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 demi kesatuan bangsa Indonesia.
"TNI akan terus berkomitmen untuk mengawal ketetapan negara tersebut demi tetap tegaknya negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," pungkasnya.
Rujukan
Tolak hasil Pilpres di Nias Selatan, pendemo geruduk KPU Sumut
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 29/07/2019
Hasil Cek Fakta
Merdeka.com - Sehari jelang sidang gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), demo berlangsung di KPU Sumut dan Bawaslu Sumut, Selasa (5/8). Pengunjuk rasa menolak tegas hasil Pilpres di Kabupaten Nias Selatan yang telah diputuskan KPU.
Merdeka > Peristiwa
Tolak hasil Pilpres di Nias Selatan, pendemo geruduk KPU Sumut
Selasa, 5 Agustus 2014 12:15
Reporter : Yan Muhardiansyah
Tolak hasil Pilpres di Nias Selatan, pendemo geruduk KPU Sumut
Tolak hasil Pilpres di Nias Selatan, pendemo geruduk KPU Sumut. ©2014 Merdeka.com
Merdeka.com - Sehari jelang sidang gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), demo berlangsung di KPU Sumut dan Bawaslu Sumut, Selasa (5/8). Pengunjuk rasa menolak tegas hasil Pilpres di Kabupaten Nias Selatan yang telah diputuskan KPU.
BERITA TERKAIT
Menteri Pertahanan: TNI Tak Boleh Sedikit Pun Miliki Ambisi Kekuasaan
BEC Digeber, Berkah Bagi PKL dan Pelaku Wisata
Melihat Keseruan Anak Berkebutuhan Khusus Bermain Salju
Unjuk rasa dilakukan puluhan orang mengatasnamakan Forum Penyelamat Kabupaten Nias Selatan. Selain berorasi, dalam aksi ini pendemo membawa spanduk dan sejumlah poster yang menerangkan tuntutannya.
Mereka menyatakan telah terjadi praktik-praktik kecurangan yang masif dalam pemungutan suara Pilpres di Nias Selatan. "Banyak permasalahan yang terjadi di Kabupaten Nias, namun kenapa KPU tetap memaksakan pengumuman Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019," kata Tomas Lature, koordinator aksi di depan kantor KPU Sumut, Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan, Selasa (5/8/).
Dalam pernyataan sikapnya, Forum Penyelamat Kabupaten Nias Selatan menyatakan, kecurangan yang terjadi di antaranya rekayasa jumlah DPT di setiap TPS di 27 kecamatan di Nias Selatan. Mereka juga menuding jumlah pemilih yang hadir di setiap TPS rata-rata di bawah 50 persen namun yang direkapitulasi KPUD Nias Selatan bahkan melebihi 100 persen dari DPT.
"Karena itu kami menolak tegas hasil Pilpres di Nias Selatan yang telah diputuskan KPU. Kami meminta pemilihan ini diulang," kata koordinator aksi disambut teriakan massa.
Pengunjuk rasa juga mendesak KPU Sumut untuk menindak tegas seluruh komisioner KPU Kabupaten Nias Selatan. Mereka juga meminta agar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu, Bawaslu Sumut, agar segera merekomendasikan pemecatan komisioner KPU Kabupaten Nias Selatan.
"Kami juga meminta pemungutan ulang di seluruh Nias Selatan," sambung Tomas.
Massa aksi akhirnya diterima komisioner KPU Sumut, Evi Novida Ginting. Dia mengatakan, KPU Sumut telah menyerahkan permasalahan Pilpres di Nias Selatan ke tingkat pusat. Dugaan pelanggaran Pilpres juga telah diserahkan ke DKPP. "Ketidakpuasan massa terhadap tahapan itu semua ada di Bawaslu dan DKPP. Untuk pemecatan itu merupakan hak DKPP, kami tidak punya hak memberhentikan langsung," katanya. [hhw]
Merdeka > Peristiwa
Tolak hasil Pilpres di Nias Selatan, pendemo geruduk KPU Sumut
Selasa, 5 Agustus 2014 12:15
Reporter : Yan Muhardiansyah
Tolak hasil Pilpres di Nias Selatan, pendemo geruduk KPU Sumut
Tolak hasil Pilpres di Nias Selatan, pendemo geruduk KPU Sumut. ©2014 Merdeka.com
Merdeka.com - Sehari jelang sidang gugatan Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), demo berlangsung di KPU Sumut dan Bawaslu Sumut, Selasa (5/8). Pengunjuk rasa menolak tegas hasil Pilpres di Kabupaten Nias Selatan yang telah diputuskan KPU.
BERITA TERKAIT
Menteri Pertahanan: TNI Tak Boleh Sedikit Pun Miliki Ambisi Kekuasaan
BEC Digeber, Berkah Bagi PKL dan Pelaku Wisata
Melihat Keseruan Anak Berkebutuhan Khusus Bermain Salju
Unjuk rasa dilakukan puluhan orang mengatasnamakan Forum Penyelamat Kabupaten Nias Selatan. Selain berorasi, dalam aksi ini pendemo membawa spanduk dan sejumlah poster yang menerangkan tuntutannya.
Mereka menyatakan telah terjadi praktik-praktik kecurangan yang masif dalam pemungutan suara Pilpres di Nias Selatan. "Banyak permasalahan yang terjadi di Kabupaten Nias, namun kenapa KPU tetap memaksakan pengumuman Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019," kata Tomas Lature, koordinator aksi di depan kantor KPU Sumut, Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan, Selasa (5/8/).
Dalam pernyataan sikapnya, Forum Penyelamat Kabupaten Nias Selatan menyatakan, kecurangan yang terjadi di antaranya rekayasa jumlah DPT di setiap TPS di 27 kecamatan di Nias Selatan. Mereka juga menuding jumlah pemilih yang hadir di setiap TPS rata-rata di bawah 50 persen namun yang direkapitulasi KPUD Nias Selatan bahkan melebihi 100 persen dari DPT.
"Karena itu kami menolak tegas hasil Pilpres di Nias Selatan yang telah diputuskan KPU. Kami meminta pemilihan ini diulang," kata koordinator aksi disambut teriakan massa.
Pengunjuk rasa juga mendesak KPU Sumut untuk menindak tegas seluruh komisioner KPU Kabupaten Nias Selatan. Mereka juga meminta agar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu, Bawaslu Sumut, agar segera merekomendasikan pemecatan komisioner KPU Kabupaten Nias Selatan.
"Kami juga meminta pemungutan ulang di seluruh Nias Selatan," sambung Tomas.
Massa aksi akhirnya diterima komisioner KPU Sumut, Evi Novida Ginting. Dia mengatakan, KPU Sumut telah menyerahkan permasalahan Pilpres di Nias Selatan ke tingkat pusat. Dugaan pelanggaran Pilpres juga telah diserahkan ke DKPP. "Ketidakpuasan massa terhadap tahapan itu semua ada di Bawaslu dan DKPP. Untuk pemecatan itu merupakan hak DKPP, kami tidak punya hak memberhentikan langsung," katanya. [hhw]
Rujukan
Soal Wacana Mahkamah Internasional, KPU Tegaskan Tahapan Pemilu Selesai di Putusan MK Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Soal Wacana Mahkamah Internasional, KPU Tegaskan Tahapan Pemilu Selesai di Putusan MK", https://nasional.kompas.com/read/2019/06/28/16000351/soal-wacana-mahkamah-internasional-kpu-tegaskan-tahapan-pemilu-selesai-di. Penulis : Fitria Chusna Farisa Editor : Diamanty Meiliana
Sumber:Tanggal publish: 29/07/2019
Berita
narasi:
Selamat siang ka
Banyak beredar di media sosial tentang JAKI yang akan membawa sengketa pemilu ke mahkamah internasional.
Apa berita tersebut benar?
Atau hanya oknum yg mengatasnamakan JAKI
Selamat siang ka
Banyak beredar di media sosial tentang JAKI yang akan membawa sengketa pemilu ke mahkamah internasional.
Apa berita tersebut benar?
Atau hanya oknum yg mengatasnamakan JAKI
Hasil Cek Fakta
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Arief Budiman mengatakan, tahapan Pemilu Presiden selesai di putusan Mahkamah Konstitusi ( MK). Jika ada pihak yang mewacanakan untuk membawa sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Internasional, maka, hal itu tak masuk sebagai tahapan pemilu. "Itu bukan tahapan pemilu. Maka jangan tanya KPU. Kalau dalam tahapan pemilu, yang dibikin KPU, hanya sampai putusan MK finalnya," kata Arief di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2019).
Menurut Arief, putusan MK bersifat final dan mengikat seluruh pihak. Oleh karenanya, putusan MK wajib untuk dilaksanakan seluruh kalangan, tanpa terkecuali. Hal ini, telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. "Tapi kalau tahapan pemilu yang diatur dalam UU Pemilu ya putusan MK itu final and binding dalam tahapan pemilu kita," ujar Arief.
Sebelumnya Majelis hakim konstitusi menolak seluruh gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 yang diajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Majelis hakim menjawab satu per satu dalil yang diajukan Prabowo-Sandiaga. Menurut Mahkamah, seluruh permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dengan demikian, pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin akan memimpin Indonesia periode 2019-2024. Atas putusan tersebut, muncul wacana membawa sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Internasional dari pihak yang merasa tak puas.
Menurut Arief, putusan MK bersifat final dan mengikat seluruh pihak. Oleh karenanya, putusan MK wajib untuk dilaksanakan seluruh kalangan, tanpa terkecuali. Hal ini, telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. "Tapi kalau tahapan pemilu yang diatur dalam UU Pemilu ya putusan MK itu final and binding dalam tahapan pemilu kita," ujar Arief.
Sebelumnya Majelis hakim konstitusi menolak seluruh gugatan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 yang diajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Majelis hakim menjawab satu per satu dalil yang diajukan Prabowo-Sandiaga. Menurut Mahkamah, seluruh permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dengan demikian, pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin akan memimpin Indonesia periode 2019-2024. Atas putusan tersebut, muncul wacana membawa sengketa hasil pilpres ke Mahkamah Internasional dari pihak yang merasa tak puas.
Rujukan
Halaman: 5948/6664