Polisi telah menetapkan tersangka pelaku penistaan agama di Hotel Novita Jambi. Tersangka merupakan karyawan honorer hotel tersebut. Pengumuman tersangka dilaksanakan dalam jumpa pers yang digelar di Gedung Siginjai Polda Jambi, Jl Soekarno Hatta, Thehok, Kota Jambi, Kamis (5/1/2016).
“Tersangka pelaku berinisial RZ, dia adalah karyawan honorer Hotel Novita,” ujar Kapolda Jambi Brigjen Pol Yazid Fanani kepada wartawan.
Menurut Yazid Fanani, tersangka sudah mengakui dialah yang membuat tulisan Arab berlafaz Allah di bawah pohon Natal di loby Hotel Novita.
“Dia menyatakan tidak ada niat untuk menistakan agama. Apa yang dia lakukan hanya sebagai bentuk protes kepada pemilik Hotel yang tidak memenuhi kewajibannya kepada tersangka. Pelaku tidak menduga apa yang dia perbuat akan menyebabkan persoalan yang besar seperti ini,” ujar Yazid.
Pihak hotel Novita pun memberikan klarifikasinya sekaligus meminta maaf
(KLARIFIKASI): Lafadz Allah Pada Pohon Natal di Novita Hotel
Sumber: Media OnlineTanggal publish: 05/01/2017
Hasil Cek Fakta
Rujukan
(HOAX): Viral !! Sistem Big Data Cyber Security dan Cybercrime Police
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 14/12/2017
Berita
Belakangan ini media sosial kembali dibuat heboh lewat pesan berantai atau broadcast message yang beredar luas. dalam isi pesan tersebut yang mengatasnamakan Kementrian Komunikasi dan Informatika menginfokan bahwa System Big Data Cyber Security (BDCS) Indonesia sudah terpasang, menyusul rencana Wantanas RI (Dewan Pertahanan Nasional) yang akan mengambil semua informasi melalui internet di Indonesia.
adopsi perkembangan teknologi
teknologi masa depan
dunia kesehatan big data
dampak big data
masa depan dunia kesehatan dengan big data
adopsi perkembangan teknologi
teknologi masa depan
dunia kesehatan big data
dampak big data
masa depan dunia kesehatan dengan big data
Hasil Cek Fakta
Menanggapi informasi yang beredar melalui berbagai media beberapa waktu belakangan ini terkait dengan adanya sistem big data cyber security dan cybercrime police dapat kami tegaskan informasi yang viral tersebut adalah HOAX, dan kami sampaikan sebagai berikut.
informasi tersebut merupakan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau merupakan informasi hoax.
Kementerian Kominfo telah berkoordinasi baik secara internal maupun dengan instansi lain untuk mengkonfirmasi hal ini dan fakta yang ada menegaskan bahwa sistem sebagaimana dimaksudkan dalam hoaxtersebut tidak diterapkan pada Instansi Pemerintah di Indonesia.
Teknologi Big Data merupakan teknologi pengolah data yang telah umum diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat saat ini, termasuk di Indonesia; baik untuk kepentingan korporasi maupun pemerintahan. Teknologi ini, pada dasarnya, dimaksudkan untuk memampukan pengolahan data dari berbagai sumber dengan efektif dan efisien. Akan tetapi, penerapan teknologi big data disertai pembatasan-pembatasan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka melindungi Hak Asasi Warga Negara.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur perlindungan data atau informasi dan pembatasan penggunaannya. Antara lain dalam UU ITE, UU Telekomunikasi, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perbankan, UU Perlindungan Konsumen, dan sebagainya. Oleh karena itu, penerapan teknologi big data juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang dimaksud.
Pada prinsipnya, pengawasan terhadap aktivitas seseorang di Internet dapat melanggar hak konstitusi warga negara khususnya mengenai privasi dan kebebasan berekspresi serta berkomunikasi. Perlindungan terhadap privasi, dan kebebasan berekspresi serta berkomunikasi merupakan bagian penting dari pengembangan demokrasi dan selaras dengan instrumen internasional.
Indonesia menjunjung tinggi penegakan hak asasi manusia melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu, penerapan sistem informasi yang dapat melanggar hak asasi manusia akan dilakukan assessment yang komprehensif untuk memastikan tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya intersepsi atau penyadapan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tetap menjaga dan menghormati hak asasi manusia.
Masyarakat diharapkan tidak terpengaruh terhadap informasi yang menyesatkan tersebut.
informasi tersebut merupakan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau merupakan informasi hoax.
Kementerian Kominfo telah berkoordinasi baik secara internal maupun dengan instansi lain untuk mengkonfirmasi hal ini dan fakta yang ada menegaskan bahwa sistem sebagaimana dimaksudkan dalam hoaxtersebut tidak diterapkan pada Instansi Pemerintah di Indonesia.
Teknologi Big Data merupakan teknologi pengolah data yang telah umum diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat saat ini, termasuk di Indonesia; baik untuk kepentingan korporasi maupun pemerintahan. Teknologi ini, pada dasarnya, dimaksudkan untuk memampukan pengolahan data dari berbagai sumber dengan efektif dan efisien. Akan tetapi, penerapan teknologi big data disertai pembatasan-pembatasan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka melindungi Hak Asasi Warga Negara.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur perlindungan data atau informasi dan pembatasan penggunaannya. Antara lain dalam UU ITE, UU Telekomunikasi, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Perbankan, UU Perlindungan Konsumen, dan sebagainya. Oleh karena itu, penerapan teknologi big data juga harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang dimaksud.
Pada prinsipnya, pengawasan terhadap aktivitas seseorang di Internet dapat melanggar hak konstitusi warga negara khususnya mengenai privasi dan kebebasan berekspresi serta berkomunikasi. Perlindungan terhadap privasi, dan kebebasan berekspresi serta berkomunikasi merupakan bagian penting dari pengembangan demokrasi dan selaras dengan instrumen internasional.
Indonesia menjunjung tinggi penegakan hak asasi manusia melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu, penerapan sistem informasi yang dapat melanggar hak asasi manusia akan dilakukan assessment yang komprehensif untuk memastikan tidak terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya intersepsi atau penyadapan. Hal ini dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tetap menjaga dan menghormati hak asasi manusia.
Masyarakat diharapkan tidak terpengaruh terhadap informasi yang menyesatkan tersebut.
Rujukan
[EDUKASI] “Mengapa Fakta Tidak Meyakinkan Orang (Dan Yang Bisa Anda Lakukan Tentang Ini)”
Sumber:Tanggal publish: 14/12/2017
Berita
Jika Anda pernah menghabiskan waktu di Bumi, Anda mungkin menyadari bahwa manusia bukanlah makhluk yang paling rasional.
Kita membuat keputusan berdasarkan emosi dan bukan fakta, dan seringkali kita dipandu oleh naluri kesukuan.
Masalahnya adalah bahwa otak manusia berevolusi untuk membantu kita bertahan, dan tidak harus membantu kita secara faktual akurat.
Jadi, kita sering merespon dinamika sosial dan kesukuan lebih baik daripada analisis intelektual.
Misalnya, jika berdasarkan suku seseorang percaya bahwa Obama adalah seorang Muslim rahasia yang lahir di Kenya, orang tersebut mungkin mengira bukti jelas akte kelahirannya di AS adalah palsu.
Kesimpulan itu tidak rasional dan tidak akurat.
Tapi dari perspektif kesukuan, masuk akal.
Lebih aman untuk setuju dengan suku Anda dan tetap bersatu secara ideologis, bahkan jika Anda salah tentang fakta, daripada tidak setuju dan mengisolasi diri Anda sendiri.
Bagian lain dari masalah ini adalah bahwa otak kita senantiasa melindungi pandangan dunia dan rasa identitas kita.
Jadi ketika pandangan dunia kita ditantang, bagian otak yang sama yang memproses bahaya fisik akan diaktifkan.
Inilah sebabnya mengapa orang terkadang bereaksi begitu agresif terhadap informasi yang membuktikan bahwa mereka salah.
Dan inilah mengapa seringkali sulit untuk mengadakan debat politik yang cerdas.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa ada “efek bangkitan” yang terjadi ketika orang menghadapi fakta yang bertentangan dengan kepercayaan mereka saat ini.
Mereka benar-benar menjadi LEBIH yakin akan gagasan asli mereka.
Jadi mengisyaratkan ketidaktahuan dengan fakta adalah seperti melawan api minyak dengan air.
Sepertinya bekerja, tapi sebenarnya justru membuat semuanya menjadi lebih buruk.
Terakhir ada masalah kurangnya empati.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa ketika manusia dibagi dalam kelompok dalam bentuk apa pun, secara naluriah kita kurang berempati kepada anggota kelompok “lainnya”.
Itu berarti demi kelangsungan hidup, secara naluriah kita bisa berempati sedikit dengan ras lain, negara lain, dan bahkan tim olah raga lainnya.
Dehumanisasi naluriah kelompok lain inilah yang membuat perbudakan dan genosida terjadi di masyarakat kita.
Jadi, apa yang bisa kamu lakukan?
Jika Anda ingin seseorang mempertimbangkan informasi faktual yang bertentangan dengan keyakinan mereka, pertama Anda harus mencegah otak mereka untuk melihat Anda sebagai ancaman pribadi.
Jadi, carilah cara untuk mengidentifikasi orang itu sebagai bagian dari suku Anda, dan Anda sebagai bagian dari mereka.
“Hei, kita bagian dari keluarga yang sama.”
“Hei, kita berdua orang tua.”
“Hei, kita berdua MASIH bermain PokemonGo.” Terserah.
Apa pun yang mengkomunikasikan bahwa Anda adalah bagian dari suku yang sama.
Itulah langkah pertama.
Kedua, pertimbangkan kemungkinan bahwa Anda mungkin salah.
Mungkin faktanya tidak ada di pihak Anda.
Dalam hal ini, mengakuinya akan membantu Anda memberi contoh kepada orang lain bahwa tidak apa-apa salah.
Saya mengerti semua ini tidak mudah atau mulus.
Tetapi jika kita ingin terus berfungsi sebagai masyarakat yang stabil, kita harus belajar untuk melewati bias alami kita sendiri.
Hanya saat itu terjadi, kita akan bisa maju menuju masa depan yang lebih baik.
Damai.” (Google Translate).
Kita membuat keputusan berdasarkan emosi dan bukan fakta, dan seringkali kita dipandu oleh naluri kesukuan.
Masalahnya adalah bahwa otak manusia berevolusi untuk membantu kita bertahan, dan tidak harus membantu kita secara faktual akurat.
Jadi, kita sering merespon dinamika sosial dan kesukuan lebih baik daripada analisis intelektual.
Misalnya, jika berdasarkan suku seseorang percaya bahwa Obama adalah seorang Muslim rahasia yang lahir di Kenya, orang tersebut mungkin mengira bukti jelas akte kelahirannya di AS adalah palsu.
Kesimpulan itu tidak rasional dan tidak akurat.
Tapi dari perspektif kesukuan, masuk akal.
Lebih aman untuk setuju dengan suku Anda dan tetap bersatu secara ideologis, bahkan jika Anda salah tentang fakta, daripada tidak setuju dan mengisolasi diri Anda sendiri.
Bagian lain dari masalah ini adalah bahwa otak kita senantiasa melindungi pandangan dunia dan rasa identitas kita.
Jadi ketika pandangan dunia kita ditantang, bagian otak yang sama yang memproses bahaya fisik akan diaktifkan.
Inilah sebabnya mengapa orang terkadang bereaksi begitu agresif terhadap informasi yang membuktikan bahwa mereka salah.
Dan inilah mengapa seringkali sulit untuk mengadakan debat politik yang cerdas.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa ada “efek bangkitan” yang terjadi ketika orang menghadapi fakta yang bertentangan dengan kepercayaan mereka saat ini.
Mereka benar-benar menjadi LEBIH yakin akan gagasan asli mereka.
Jadi mengisyaratkan ketidaktahuan dengan fakta adalah seperti melawan api minyak dengan air.
Sepertinya bekerja, tapi sebenarnya justru membuat semuanya menjadi lebih buruk.
Terakhir ada masalah kurangnya empati.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa ketika manusia dibagi dalam kelompok dalam bentuk apa pun, secara naluriah kita kurang berempati kepada anggota kelompok “lainnya”.
Itu berarti demi kelangsungan hidup, secara naluriah kita bisa berempati sedikit dengan ras lain, negara lain, dan bahkan tim olah raga lainnya.
Dehumanisasi naluriah kelompok lain inilah yang membuat perbudakan dan genosida terjadi di masyarakat kita.
Jadi, apa yang bisa kamu lakukan?
Jika Anda ingin seseorang mempertimbangkan informasi faktual yang bertentangan dengan keyakinan mereka, pertama Anda harus mencegah otak mereka untuk melihat Anda sebagai ancaman pribadi.
Jadi, carilah cara untuk mengidentifikasi orang itu sebagai bagian dari suku Anda, dan Anda sebagai bagian dari mereka.
“Hei, kita bagian dari keluarga yang sama.”
“Hei, kita berdua orang tua.”
“Hei, kita berdua MASIH bermain PokemonGo.” Terserah.
Apa pun yang mengkomunikasikan bahwa Anda adalah bagian dari suku yang sama.
Itulah langkah pertama.
Kedua, pertimbangkan kemungkinan bahwa Anda mungkin salah.
Mungkin faktanya tidak ada di pihak Anda.
Dalam hal ini, mengakuinya akan membantu Anda memberi contoh kepada orang lain bahwa tidak apa-apa salah.
Saya mengerti semua ini tidak mudah atau mulus.
Tetapi jika kita ingin terus berfungsi sebagai masyarakat yang stabil, kita harus belajar untuk melewati bias alami kita sendiri.
Hanya saat itu terjadi, kita akan bisa maju menuju masa depan yang lebih baik.
Damai.” (Google Translate).
Hasil Cek Fakta
Rujukan
(HOAX + LOGICAL FALLACY): Kesalahan Penulisan :Fitsa Hats” Di BAP Kepolisian
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 05/01/2017
Berita
Jonru secara implisit menyalahkan Polisi atas kesalahan tulis “Fitsa Hats”, sambil meledek “OM OTAK MANA OM” dengan membandingkan kasus Jokowi “I don’t read what I sign”
Hasil Cek Fakta
(1) Polisi menyatakan sudah konfirmasi seluruh isi BAP dengan Novel.
(2) Menyamakan kasus BAP Novel dengan Jokowi itu seperti membandingkan apel dengan jeruk. Tidak nyambung.
Cacat logika / logical fallacy ini dikenal dengan istilah “Non Sequitur”
===
Pada kasus Jokowi, ini adalah soal manajemen.
Lazim pada level atas di manajemen, seperti Direktur, menandatangani puluhan dokumen tanpa membaca lagi semuanya. Karena sudah diperiksa oleh masing-masing divisi / departemen yang terkait – sehingga Direktur hanya tinggal memberikan tanda tangan saja.
Dalam bidang manajemen, ini dikenal dengan istilah : delegasi. (pendelegasian tugas)
Tanpa proses delegasi, maka Presiden bisa jadi hanya akan duduk di kantornya setiap hari dari pagi sampai malam, membaca ratusan dokumen yang tebal satu per satu. Tidak ada lagi waktu untuk blusukan, memeriksa kinerja para menterinya, dan berbagai urusan negara lainnya.
===
Pada kasus Novel, ini adalah masalah hukum.
Dan terkait BAP (Berita Acara Pemeriksaan), tidak ada delegasi / pendelegasian. Semuanya harus diurus sendiri oleh yang bersangkutan, sampai akhirnya menjadi BAP.
BAP itu dibuat dengan sangat teliti oleh para penyidik di Kepolisian, karena ini adalah dokumen hukum yang penting.
Setelah itu BAP diserahkan kepada pihak terkait, untuk diperiksa lagi, dan #setiap halamannya ditanda tangan – sebagai konfirmasi bahwa memang seluruh isi halaman tersebut sudah benar.
(2) Menyamakan kasus BAP Novel dengan Jokowi itu seperti membandingkan apel dengan jeruk. Tidak nyambung.
Cacat logika / logical fallacy ini dikenal dengan istilah “Non Sequitur”
===
Pada kasus Jokowi, ini adalah soal manajemen.
Lazim pada level atas di manajemen, seperti Direktur, menandatangani puluhan dokumen tanpa membaca lagi semuanya. Karena sudah diperiksa oleh masing-masing divisi / departemen yang terkait – sehingga Direktur hanya tinggal memberikan tanda tangan saja.
Dalam bidang manajemen, ini dikenal dengan istilah : delegasi. (pendelegasian tugas)
Tanpa proses delegasi, maka Presiden bisa jadi hanya akan duduk di kantornya setiap hari dari pagi sampai malam, membaca ratusan dokumen yang tebal satu per satu. Tidak ada lagi waktu untuk blusukan, memeriksa kinerja para menterinya, dan berbagai urusan negara lainnya.
===
Pada kasus Novel, ini adalah masalah hukum.
Dan terkait BAP (Berita Acara Pemeriksaan), tidak ada delegasi / pendelegasian. Semuanya harus diurus sendiri oleh yang bersangkutan, sampai akhirnya menjadi BAP.
BAP itu dibuat dengan sangat teliti oleh para penyidik di Kepolisian, karena ini adalah dokumen hukum yang penting.
Setelah itu BAP diserahkan kepada pihak terkait, untuk diperiksa lagi, dan #setiap halamannya ditanda tangan – sebagai konfirmasi bahwa memang seluruh isi halaman tersebut sudah benar.
Rujukan
Halaman: 6018/6681