JAKARTA. Calon Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak melalui feasibility study yang baik.
"Saya menghargai niat pak Jokowi dalam memimpin pembangun infrastruktur. Tapi yang dilakukan oleh tim Jokowi itu bekerjanya kurang efisien," katanya di Hotel Sultan, Minggu (17/2).
"Banyak Infrastruktur yang dilakukan grusa grusu tanpa feasibility study yang bener, sehingga mengakibatkan proyek ini rugi sangat sulit dibayar. Ini yang jadi masalah. Infrastruktur untuk rakyat bukan, rakyat untuk infrastruktur," tambah dia.
Menurutnya, proyek infrastruktursaat ini hanya menjadi monumen seperti LRT Palembangan, Bandara Kertajati, dan lain-lain.
Capres Prabowo sebut proyek infrastruktur tidak melalui feasibility study
Sumber: Debat Capres 2019Tanggal publish: 17/02/2019
Berita
Hasil Cek Fakta
Elrika Hamdi dari Energy Finance Analyst IEEFA menyatakan semua proyek infrastruktur pasti menggunakan Feasibility Study dan Detailed Engineering Design sebagai pedoman pembangunan bagi para kontraktor sipil atau EPC.
Bila tidak ada FS dan DED, maka tidak mungkin kontraktor dapat melakukan pembangunan. Namun memang keandalan FS dan DED dari masing-masing proyek terkadang dipertanyakan, terutama yang berhubungan dengan dampaknya terhadap lingkungan.
Dokumen FS dan DED seharusnya tidak hanya mencakup teknikal dan finansial, namun juga meliputi pemeliharaan lingkungan dan perlindungan terhadap masyarakat indigenous dan pemerataan gender.
Dalam pembuatan infrastruktur besar seharusnya seluruh dokumen FS dan DED lengkap dan sesuai dengan standar international, salah satu yang sering dipakai adalah IFC Performance Standard.
Bila tidak ada FS dan DED, maka tidak mungkin kontraktor dapat melakukan pembangunan. Namun memang keandalan FS dan DED dari masing-masing proyek terkadang dipertanyakan, terutama yang berhubungan dengan dampaknya terhadap lingkungan.
Dokumen FS dan DED seharusnya tidak hanya mencakup teknikal dan finansial, namun juga meliputi pemeliharaan lingkungan dan perlindungan terhadap masyarakat indigenous dan pemerataan gender.
Dalam pembuatan infrastruktur besar seharusnya seluruh dokumen FS dan DED lengkap dan sesuai dengan standar international, salah satu yang sering dipakai adalah IFC Performance Standard.
Kesimpulan
Pernyataan Prabowo tidak tepat soal feasibility study
Jokowi: Kapal Nelayan di Bawah 10 GT Tidak Perlu Izin
Sumber: Debat CapresTanggal publish: 17/02/2019
Berita
Sektor perikanan menjadi salah satu fokus dalam debat capres kedua yang mempertemukan capres petahana Joko Widodo dan Jokowi dan Prabowo Subianto.
Awalnya, Prabowo mengatakan bahwa nelayan-nelayan miskin tidak punya akses ke teknologi, modal, kapal, dan dibatasi peraturan-peraturan yang membuat mereka kesulitan.
"Kami akan buat BUMN-BUMN khusus di bidang laut dan perikanan, kita latih nelayan-nelayan. Dan kemudian pemasarannya dibantu pemerintah," kata dia.
Capres nomor urut 01, Joko Widodo membantah pernyataan Prabowo Subianto.
"Mungkin Bapak belum tahu ada yang namanya (Perum) Perindo dan Perinus yang membantu membeli ikan-ikan dari rakyat," kata Jokowi.
"Untuk perizinan, nelayan-nelayan kecil yang punya 10 GT ke bawah tidak pakai izin lagi. Hanya yang 30 GT yang pakai izin ke KKP," tambah Jokowi.
Awalnya, Prabowo mengatakan bahwa nelayan-nelayan miskin tidak punya akses ke teknologi, modal, kapal, dan dibatasi peraturan-peraturan yang membuat mereka kesulitan.
"Kami akan buat BUMN-BUMN khusus di bidang laut dan perikanan, kita latih nelayan-nelayan. Dan kemudian pemasarannya dibantu pemerintah," kata dia.
Capres nomor urut 01, Joko Widodo membantah pernyataan Prabowo Subianto.
"Mungkin Bapak belum tahu ada yang namanya (Perum) Perindo dan Perinus yang membantu membeli ikan-ikan dari rakyat," kata Jokowi.
"Untuk perizinan, nelayan-nelayan kecil yang punya 10 GT ke bawah tidak pakai izin lagi. Hanya yang 30 GT yang pakai izin ke KKP," tambah Jokowi.
Hasil Cek Fakta
Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti sebelumnya mengatakan bahwa kapal nelayan dengan ukuran di bawah 10 gross tonnase (GT) bebas izin, seperti dikutip dari Kontan.co.id.
Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti, mengatakan kapal nelayan dengan ukuran di bawah 10 gross tonnase (GT) bebas izin.
"Dalam setiap kesempatan dan kunjungan saya selalu ingatkan dan tegaskan bahwa aturan untuk kapal nelayan berukuran di bawah 10 GT bebas dari masalah perizinan, jadi bisa langsung melaut," kata Susi di hadapan mahasiswa dan civitas akademika Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Sabtu (16/9).
Dikatakan, dengan adanya aturan itu, para nelayan kecil akan mudah melakukan aktivitas melaut atau bekerja mencari ikan di perairan.
Dikatakan, dengan adanya aturan itu, para nelayan kecil akan mudah melakukan aktivitas melaut atau bekerja mencari ikan di perairan.
"Dengan aturan itu, maka pemerintah daerah diharapkan tidak lagi mempersulit izin nelayan kecil," katanya.
Dijelaskan, untuk memperbaharui izin tidak membutuhkan waktu yang lama seperti pembuatan izin baru bagi kapal nelayan karena harus dilakukan proses verifikasi.
Dengan kemudahan yang diberikan pemerintah pusat tersebut kata Susi, diharapkan nelayan akan melakukan penangkapan ikan secara ramah lingkungan atau tanpa menggunakan bom dan potasium.
Susi juga berharap para nelayan kecil di Sulawesi Tenggara pada umumnya agar mendaftarakan diri ikut asuransi nelayan.
Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) akan mengoptimalkan tata kelola perizinan kapal perikanan.
KKP mengambil kebijakan percepatan layanan perizinan kapal perikanan dengan tetap mengedepankan pelayanan prima.
Menteri Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti, mengatakan kapal nelayan dengan ukuran di bawah 10 gross tonnase (GT) bebas izin.
"Dalam setiap kesempatan dan kunjungan saya selalu ingatkan dan tegaskan bahwa aturan untuk kapal nelayan berukuran di bawah 10 GT bebas dari masalah perizinan, jadi bisa langsung melaut," kata Susi di hadapan mahasiswa dan civitas akademika Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Sabtu (16/9).
Dikatakan, dengan adanya aturan itu, para nelayan kecil akan mudah melakukan aktivitas melaut atau bekerja mencari ikan di perairan.
Dikatakan, dengan adanya aturan itu, para nelayan kecil akan mudah melakukan aktivitas melaut atau bekerja mencari ikan di perairan.
"Dengan aturan itu, maka pemerintah daerah diharapkan tidak lagi mempersulit izin nelayan kecil," katanya.
Dijelaskan, untuk memperbaharui izin tidak membutuhkan waktu yang lama seperti pembuatan izin baru bagi kapal nelayan karena harus dilakukan proses verifikasi.
Dengan kemudahan yang diberikan pemerintah pusat tersebut kata Susi, diharapkan nelayan akan melakukan penangkapan ikan secara ramah lingkungan atau tanpa menggunakan bom dan potasium.
Susi juga berharap para nelayan kecil di Sulawesi Tenggara pada umumnya agar mendaftarakan diri ikut asuransi nelayan.
Sementara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) akan mengoptimalkan tata kelola perizinan kapal perikanan.
KKP mengambil kebijakan percepatan layanan perizinan kapal perikanan dengan tetap mengedepankan pelayanan prima.
Rujukan
Jokowi Sebut 488 Kapal Ilegal Telah Ditenggelamkan
Sumber: Debat CapresTanggal publish: 17/02/2019
Berita
Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo mengklaim, selama kepemimpinannya terdapat 488 kapal ilegal fishing yang dibakar dan ditenggelamkan.
Demikian dikatakan Joko Widodo dalam debat calon presiden putaran kedua, Minggu (17/2/2019).
Demikian dikatakan Joko Widodo dalam debat calon presiden putaran kedua, Minggu (17/2/2019).
Hasil Cek Fakta
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah kapal pelaku illegal fishing yang telah ditenggelamkan sejak Oktober 2014 adalah 488 kapal, dengan rincian Vietnam 276 kapal, Filipina 90 kapal, Thailand 50 kapal, Malaysia 41 kapal, Indonesia 26 kapal, Papua Nugini 2 kapal, Tiongkok 1 kapal, Belize 1 kapal dan tanpa negara 1 kapal.
Peneliti AURIGA, Iqbal Damanik menyatakan sejak 2014-2018 terdapat 825 kasus penindakan terhadap illegal fishing, dan yang telah inkracht sebanyak 479 kasus. Untuk jumlah kasusnya pada tahun 2014 (58), 2015 (198), 2016 (237), 2017 (197) dan 2018 (135).
“Jika dibandingkan sektor SDA, lainnya penegakan hukum di sektor kelautan dan perikanan memang jauh lebih baik. Utamanya di sektor pertambangan dan perkebunan, berbagai pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi belum banyak diselesaikan,” katanya.
Peneliti AURIGA, Iqbal Damanik menyatakan sejak 2014-2018 terdapat 825 kasus penindakan terhadap illegal fishing, dan yang telah inkracht sebanyak 479 kasus. Untuk jumlah kasusnya pada tahun 2014 (58), 2015 (198), 2016 (237), 2017 (197) dan 2018 (135).
“Jika dibandingkan sektor SDA, lainnya penegakan hukum di sektor kelautan dan perikanan memang jauh lebih baik. Utamanya di sektor pertambangan dan perkebunan, berbagai pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi belum banyak diselesaikan,” katanya.
Rujukan
Benarkah selama puluhan tahun banyak perusahaan besar meninggalkan limbah dan tidak membayar pajak?
Sumber: Debat CapresTanggal publish: 17/02/2019
Berita
Dalam arena debat calon presiden kedua, di Hotel Sultan, 17 Februari 2019, calon presiden Prabowo Subianto menyatakan, "Selama puluhan tahun perusahaan besar meninggalkan limbah dan tidak membayar pajak.”
Hasil Cek Fakta
Menurut Peneliti yayasan lingkungan hidup Auriga, Iqbal Damanik, tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP) Badan di sektor perkebunan sawit masih rendah. “Hasil evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam oleh Komisi Pemberantas Korupsi pada 2018,tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP) Badan di sektor perkebunan sawit hanya 46,3 persen,” kata Iqbal di Kantor Google, Jakarta Selatan pada Ahad, 17 Februari 2019.
Penerimaan pajak di sektor tersebut hanya Rp 18,13 triliun. Padahal, ada potensi penerimaan pajak yang mencapai Rp 40 triliun. Artinya ada potensi sebesar Rp 21,87 triliun potensi pajak yang hilang.
Mengutip dari Deutsche Welle, sejumlah perusahaan perkebunan yang divonis bersalah karena terbukti membakar hutan sejak 2009 hingga kini belum membayar uang denda bernilai trilyunan Rupiah. Padahal, dana itu akan digunakan untuk membiayai restorasi.
Perusahaan sawit dan kertas di Indonesia berhutang senilai USD 220 juta atau sekitar Rp. 3,1 trilyun kepada pemerintah. Jumlah tersebut membengkak menjadi USD 1,3 milyar atau setara dengan Rp. 18 trilyun jika ditambahkan dengan vonis denda dalam kasus pembalakan liar.
Dalam berbagai kasus dugaan pembakaran hutan antara tahun 2009 hingga 2012, perusahaan sawit Kallista Alam mengajukan banding terhadap hukuman denda senilai Rp. 336 milyar hingga ke Mahkamah Agung. Perusahaan itu sebelumnya terbukti membakar dan mengeringkan ladang gambut di Kuala Tripa dan membunuh satwa liar, antara lain orangutan, lewat kabut asap yang tercipta.
Kawasan yang dibakar PT. Kallista Alam termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, habitat terakhir di Bumi yang dihuni oleh harimau, gajah dan badak sumatera yang kian langka. Ketika MA menolak pengkajian ulang, perusahaan beralih ke Pengadilan Negeri Meulaboh yang membebaskan Kallista Alam dari semua tuduhan. Putusan PN Meulaboh lalu dibatalkan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Oktober 2018 silam.
Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai pembayaran denda. PT. Kallista Alam sendiri tidak bisa dihubungi lantaran nomer telepon yang ditampilkan perusahaan dalam profilnya tidak lagi aktif.
KesimpulanPernyataan Prabowo bahwa masih banyak perusahaan besar yang tidak membayar pajak adalah benar.
Penerimaan pajak di sektor tersebut hanya Rp 18,13 triliun. Padahal, ada potensi penerimaan pajak yang mencapai Rp 40 triliun. Artinya ada potensi sebesar Rp 21,87 triliun potensi pajak yang hilang.
Mengutip dari Deutsche Welle, sejumlah perusahaan perkebunan yang divonis bersalah karena terbukti membakar hutan sejak 2009 hingga kini belum membayar uang denda bernilai trilyunan Rupiah. Padahal, dana itu akan digunakan untuk membiayai restorasi.
Perusahaan sawit dan kertas di Indonesia berhutang senilai USD 220 juta atau sekitar Rp. 3,1 trilyun kepada pemerintah. Jumlah tersebut membengkak menjadi USD 1,3 milyar atau setara dengan Rp. 18 trilyun jika ditambahkan dengan vonis denda dalam kasus pembalakan liar.
Dalam berbagai kasus dugaan pembakaran hutan antara tahun 2009 hingga 2012, perusahaan sawit Kallista Alam mengajukan banding terhadap hukuman denda senilai Rp. 336 milyar hingga ke Mahkamah Agung. Perusahaan itu sebelumnya terbukti membakar dan mengeringkan ladang gambut di Kuala Tripa dan membunuh satwa liar, antara lain orangutan, lewat kabut asap yang tercipta.
Kawasan yang dibakar PT. Kallista Alam termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, habitat terakhir di Bumi yang dihuni oleh harimau, gajah dan badak sumatera yang kian langka. Ketika MA menolak pengkajian ulang, perusahaan beralih ke Pengadilan Negeri Meulaboh yang membebaskan Kallista Alam dari semua tuduhan. Putusan PN Meulaboh lalu dibatalkan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Oktober 2018 silam.
Namun, hingga kini belum ada kejelasan mengenai pembayaran denda. PT. Kallista Alam sendiri tidak bisa dihubungi lantaran nomer telepon yang ditampilkan perusahaan dalam profilnya tidak lagi aktif.
KesimpulanPernyataan Prabowo bahwa masih banyak perusahaan besar yang tidak membayar pajak adalah benar.
Rujukan
Halaman: 6380/6664