“Ini lah CONTOH terbaik dari Gakbener DKI @aniesbaswedan utk para jajaran nya, yg lebih siap dan mahir merangkai kata, dari pada menciptakan KERJA NYATA.!!! @Kemendagri_RI Udah bangun dari tidur panjang nya belon, ato masih molor.
Sampah di Kali Bahagia Bekasi Sepanjang 1,5 Km”.
[SALAH] “CONTOH terbaik dari Gakbener DKI”
Sumber: twitter.comTanggal publish: 30/07/2019
Berita
Hasil Cek Fakta
Tidak ada kaitannya dengan Jakarta. Selain karena hulu ke hilir Kali Bahagia berawal dan berakhir di Bekasi, secara administratif Bekasi tidak termasuk wilayah DKI Jakarta.
Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI.
Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI.
Rujukan
Penembak Habib Alatas Diganjar 12 Tahun Penjara
Sumber:Tanggal publish: 30/07/2019
Berita
TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Majelis Hakim I Nengah Suriada, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 12 tahun kepada Nasurul alias Pak De, 47 tahun, terbukti bersalah membunuh penasehat Front Pembela Islam (FPI) Habib Saleh bin Abdullah Alatas hari Jumat (4/5). Putusan hakim itu lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Samadi Budisam yang mengganjar Nasurul dengan 15 tahun penjara untuk dakwaan pembunuhan berencana.
Selain terbukti secara yuridis, hal yang dianggap memberatkan terdakwa adalah karena memungkiri perbuatannya dan memberikan kesaksian yang berbelit-belit. Nasurul tidak memperlihatkan rasa penyesalan atas pembunuhan tersebut. “Terdakwa juga telah melakukan pembunuhan dengan sejumlah imbalan,” kata hakim.
Putusan hakim itu agaknya tak memuaskan banyak pihak. Nasurul, tak setuju, begitupun dengan pihak keluarga korban yang menginginkan pelaku pembunuhan itu dihukum lebih berat. Maklum, Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan hukuman minimal 20 tahun untuk tindak pidana pembunuhan berencana seperti dilakukan oleh Nasurul bersama Mukhdar Assegaf yang berperan sebagai otak pembunuhan itu. Namun, para pihak, baik jaksa maupun terdakwa menyatakan pikir-pikir atas putusan itu.
Tentang vonis yang dirasa terlalu ringan itu, Nengah yang ditemui Tempo membantah kemungkinan adanya permainan tidak jujur dalam penanganan kasus itu. Menurutnya, putusan itu sudah dipertimbangkan masak-masak walaupun akan mengundang ketidakpuasan. Ketika ditanya mengapa vonis justru berkurang dari dakwaan minimal pembunuhan berencana, Nengah menjawab bahwa tuntutan jaksa terlalu tinggi. “Dia kan bukan otaknya, hanya pelaksana (penembak),” kilahnya. Nasurul alias Pak De, 47 tahun, bersama terdakwa Mukhdar Assegaf yang kini buron, menembak Habib Alatas sekitar pukul 05.00 pada 23 Juni 2000 di depan rumah korban di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat.. Nasurul menembak Habib dengan senjata api jenis FN 45 atas perintah Mukhdar Assegaf yang kabur dari Rumah Tahanan Salemba.
Selain terbukti secara yuridis, hal yang dianggap memberatkan terdakwa adalah karena memungkiri perbuatannya dan memberikan kesaksian yang berbelit-belit. Nasurul tidak memperlihatkan rasa penyesalan atas pembunuhan tersebut. “Terdakwa juga telah melakukan pembunuhan dengan sejumlah imbalan,” kata hakim.
Putusan hakim itu agaknya tak memuaskan banyak pihak. Nasurul, tak setuju, begitupun dengan pihak keluarga korban yang menginginkan pelaku pembunuhan itu dihukum lebih berat. Maklum, Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan hukuman minimal 20 tahun untuk tindak pidana pembunuhan berencana seperti dilakukan oleh Nasurul bersama Mukhdar Assegaf yang berperan sebagai otak pembunuhan itu. Namun, para pihak, baik jaksa maupun terdakwa menyatakan pikir-pikir atas putusan itu.
Tentang vonis yang dirasa terlalu ringan itu, Nengah yang ditemui Tempo membantah kemungkinan adanya permainan tidak jujur dalam penanganan kasus itu. Menurutnya, putusan itu sudah dipertimbangkan masak-masak walaupun akan mengundang ketidakpuasan. Ketika ditanya mengapa vonis justru berkurang dari dakwaan minimal pembunuhan berencana, Nengah menjawab bahwa tuntutan jaksa terlalu tinggi. “Dia kan bukan otaknya, hanya pelaksana (penembak),” kilahnya. Nasurul alias Pak De, 47 tahun, bersama terdakwa Mukhdar Assegaf yang kini buron, menembak Habib Alatas sekitar pukul 05.00 pada 23 Juni 2000 di depan rumah korban di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat.. Nasurul menembak Habib dengan senjata api jenis FN 45 atas perintah Mukhdar Assegaf yang kabur dari Rumah Tahanan Salemba.
Hasil Cek Fakta
Pembunuhan itu berawal dari sengketa tanah waris antara keluarga korban dengan Mukhdar. Nasurul menjadi terlibat lantaran merasa berhutang budi pada Mukhdar yang pernah meminjami uang sebesar Rp 400 ribu. Untuk itu, Nasurul mengaku dirinya diberi imbalan uang Rp 20 juta dan sebuah sepeda motor baru dari Mukhdar. Jika dipenjara, Mukhdar akan menjamin tidak lebih dari lima bulan dan kebutuhan keluarganya ditanggung.
Keterangan yang diberikan Nasurul itu selalu ditunda-tunda ketika ditanya di depan sidang. Hingga Mukhdar kabur, ia menyangkal perbuatannya. Sementara kesaksian lainnya yang tertulis dalam berita acara diingkari karena ada teror dari Mukhdar. (Dede Ariwibowo)
Keterangan yang diberikan Nasurul itu selalu ditunda-tunda ketika ditanya di depan sidang. Hingga Mukhdar kabur, ia menyangkal perbuatannya. Sementara kesaksian lainnya yang tertulis dalam berita acara diingkari karena ada teror dari Mukhdar. (Dede Ariwibowo)
Rujukan
HEADLINE: Akses Medsos Dibatasi Pasca-Aksi 22 Mei, Efektif Redam Hoaks?
Sumber:Tanggal publish: 30/07/2019
Berita
Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan membatasi akses dan fitur media sosial dan aplikasi pesan guna mencegah penyebaran hoaks dan konten provokasi terkait aksi 22 Mei agar tak memperkeruh situasi.
Adapun media sosial yang dibatasi adalah Facebook dan Instagram, serta aplikasi pesan yakni WhatsApp.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyatakan, pembatasan fitur download dan upload foto dan video dilakukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan aksi unjuk rasa. Sebab, pesan foto dan video dirasa lebih menyentuh emosi ketimbang pesan teks.
"Di media sosial dan messaging system, kadang kita posting gambar, video itu viralnya cepat dan secara emosional langsung berdampak pada kita. Oleh karenanya kita nonaktifkan fitur (gambar dan video)," ungkap pria yang akrab dipanggil Chief RA tersebut.
Adapun media sosial yang dibatasi adalah Facebook dan Instagram, serta aplikasi pesan yakni WhatsApp.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyatakan, pembatasan fitur download dan upload foto dan video dilakukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan aksi unjuk rasa. Sebab, pesan foto dan video dirasa lebih menyentuh emosi ketimbang pesan teks.
"Di media sosial dan messaging system, kadang kita posting gambar, video itu viralnya cepat dan secara emosional langsung berdampak pada kita. Oleh karenanya kita nonaktifkan fitur (gambar dan video)," ungkap pria yang akrab dipanggil Chief RA tersebut.
Hasil Cek Fakta
Tindakan ini diambil setelah berdiskusi dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. "Negara tidak boleh kalah dengan aksi jahat semacam ini. Negara harus melindungi segala bangsa, warga negara tumpah darah Indonesia," kata Wiranto dalam jumpa pers di Gedung Kemenko Polhukam, Rabu, 22 Mei 2019.
Pemerintah sengaja tak menutup sarana komunikasi masyarakat secara keseluruhan, melainkan hanya melakukan pembatasan agar masyarakat bisa tetap bisa berkomunikasi.
Keputusan Tepat
Pengamat politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan, langkah pemerintah membatasi akses dan fitur media sosial sudah tepat untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi saat aksi 22 Mei.
"Saya kira tujuannya oleh pemerintah baik ya untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi, karena ada berbagai kreatifitas seolah-olah kejadian padahal tidak," kata Emrus saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Sejauh ini, dia menilai, pembatasan penggunaan media sosial cukup efektif dalam memutus penyebaran hoaks dan konten-konten negatif.
Meski ada warganet yang menginstal aplikasi VPN (virtual private network) agar bisa tetap mengakses media sosial, namun kebijakan ini membuat penyebaran hoaks tidak semasif sebelum adanya pembatasan.
"Untuk ngerem, saya kira efektif. Hoaks dan konten provokatif tidak menyebar masif, karena orang-orang yang menyebarkan hoaks jadi berhenti kan," ucap Emrus.
Imbas Pembatasan
Namun, ia menilai pemerintah seharusnya bisa menyeleksi dan tidak membatasi medsos secara menyeluruh. Sehingga, mereka yang tidak menyebarkan hoaks, tidak ikut terkena imbas. Sebab, pembatasan medsos ini telah merugikan masyarakat, termasuk yang memanfaatkan medsos untuk berdagang.
"Saya kira pembatasan medsos itu jangan digeneralisasi. Misal buat dagang atau klarifikasi hoaks, tapi ternyata kenyataannya jadi kena semua pembatasan medsos," terang Emrus.
Untuk itu ke depan, dia menyarankan agar pemerintah memilik instrumen atau alat yang bisa mengidentifikasi akun medsos yang berpotensi menyebarkan hoaks dan konten negatif. Sehingga jika ada akun yang teridentifikasi menyebar hoaks terus menerus, pemerintah bisa langsung bertindak tegas. Misalnya dengan memblokir atau menutup permanen.
"Bila perlu dilakukan secara permanen, diblokir atau di-take down. Tetapi yang saya kritisi adalah pembatasan ini berlaku untuk semua. Jadi ada sebagian yang nakal, mayoritas yang baik jadi kena," tambah Emrus.
Jalan Terbaik
Pengamat Media Sosial Indonesia, Enda Nasution sependapat dengan Emrus bahwa pemerintah seharusnya tidak perlu membatasi sosmed secara menyeluruh dan lebih tepat sasaran ditujukan pada nomor-nomor yang terdeteksi menyebarkan hoaks dan konten provokatif. Tapi melihat situasi yang memanas dan dibutuhkan keputusan yang cepat, pembatasan media sosial merupakan jalan terbaik.
"Mungkin yang dilakukan bisa lebih baik, misalnya mengidentifikasi nomor-nomor telepon yang menyebarkan informasi provokatif. Akan tetapi, melihat kondisi kemarin, mungkin pemerintah memiliki informasi intelijen yang menganggap langkah pembatasan media sosial itu adalah jalan terbaik," tutur Enda saat dihubungi Liputan6.com.
Menurut dia, langkah pemerintah membatasi akses media sosial merupakan langkah yang cukup tepat untuk menghindari provokasi dan hoaks semakin meluas. "Provokatif itu berbahaya, karena banyak video lama dengan narasi baru yang memprovokasi orang untuk ikut bergabung melakukan unjuk rasa," tutur Enda.
Namun demikian, Enda menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi secara terus menerus dan berharap pembatasan akses ini tidak berkepanjangan.
Pemerintah sengaja tak menutup sarana komunikasi masyarakat secara keseluruhan, melainkan hanya melakukan pembatasan agar masyarakat bisa tetap bisa berkomunikasi.
Keputusan Tepat
Pengamat politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan, langkah pemerintah membatasi akses dan fitur media sosial sudah tepat untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi saat aksi 22 Mei.
"Saya kira tujuannya oleh pemerintah baik ya untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi, karena ada berbagai kreatifitas seolah-olah kejadian padahal tidak," kata Emrus saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
Sejauh ini, dia menilai, pembatasan penggunaan media sosial cukup efektif dalam memutus penyebaran hoaks dan konten-konten negatif.
Meski ada warganet yang menginstal aplikasi VPN (virtual private network) agar bisa tetap mengakses media sosial, namun kebijakan ini membuat penyebaran hoaks tidak semasif sebelum adanya pembatasan.
"Untuk ngerem, saya kira efektif. Hoaks dan konten provokatif tidak menyebar masif, karena orang-orang yang menyebarkan hoaks jadi berhenti kan," ucap Emrus.
Imbas Pembatasan
Namun, ia menilai pemerintah seharusnya bisa menyeleksi dan tidak membatasi medsos secara menyeluruh. Sehingga, mereka yang tidak menyebarkan hoaks, tidak ikut terkena imbas. Sebab, pembatasan medsos ini telah merugikan masyarakat, termasuk yang memanfaatkan medsos untuk berdagang.
"Saya kira pembatasan medsos itu jangan digeneralisasi. Misal buat dagang atau klarifikasi hoaks, tapi ternyata kenyataannya jadi kena semua pembatasan medsos," terang Emrus.
Untuk itu ke depan, dia menyarankan agar pemerintah memilik instrumen atau alat yang bisa mengidentifikasi akun medsos yang berpotensi menyebarkan hoaks dan konten negatif. Sehingga jika ada akun yang teridentifikasi menyebar hoaks terus menerus, pemerintah bisa langsung bertindak tegas. Misalnya dengan memblokir atau menutup permanen.
"Bila perlu dilakukan secara permanen, diblokir atau di-take down. Tetapi yang saya kritisi adalah pembatasan ini berlaku untuk semua. Jadi ada sebagian yang nakal, mayoritas yang baik jadi kena," tambah Emrus.
Jalan Terbaik
Pengamat Media Sosial Indonesia, Enda Nasution sependapat dengan Emrus bahwa pemerintah seharusnya tidak perlu membatasi sosmed secara menyeluruh dan lebih tepat sasaran ditujukan pada nomor-nomor yang terdeteksi menyebarkan hoaks dan konten provokatif. Tapi melihat situasi yang memanas dan dibutuhkan keputusan yang cepat, pembatasan media sosial merupakan jalan terbaik.
"Mungkin yang dilakukan bisa lebih baik, misalnya mengidentifikasi nomor-nomor telepon yang menyebarkan informasi provokatif. Akan tetapi, melihat kondisi kemarin, mungkin pemerintah memiliki informasi intelijen yang menganggap langkah pembatasan media sosial itu adalah jalan terbaik," tutur Enda saat dihubungi Liputan6.com.
Menurut dia, langkah pemerintah membatasi akses media sosial merupakan langkah yang cukup tepat untuk menghindari provokasi dan hoaks semakin meluas. "Provokatif itu berbahaya, karena banyak video lama dengan narasi baru yang memprovokasi orang untuk ikut bergabung melakukan unjuk rasa," tutur Enda.
Namun demikian, Enda menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi secara terus menerus dan berharap pembatasan akses ini tidak berkepanjangan.
Rujukan
Pamit Reunian, Abdul Aziz Tewas di Kerusuhan 22 Mei
Sumber:Tanggal publish: 22/05/2019
Berita
Apakah aparat membunuh 6 korban kerusuha 22 mei?
Hasil Cek Fakta
PANDEGLANG – Seorang anggota Front Pembela Islam (FPI) Pandeglang yang turut serta dalam aksi penolakan hasil pemilu curang dikhabarkan tewas di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (22/5) dini hari.
Korban diketahui bernama Abdul Aziz (17) Laskar FPI warga Kampung Rocek Barat, Desa Rocek, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang.
Johani orangtua korban menuturkan bahwa korban memang pamit mau ke Jakarta untuk bertemu saudaranya dan dilanjutkan reuni bersama temannya.
Johani menuturkan bahwa anaknya itu santri di salah satu pondok pesantren di Kuningan, Jawa Barat.
“Mondok di kuningan. Kan dari pesantren dia ga pernah kemana-mana, cuman mondok doang ga kerja. Cuman dia bilang mau ke Jakarta mau reunian sama kawan-kawannya,” tutur Johani kepada wartawan di rumah duka, Rabu (22/5/2019).
Lanjut Johani, sebelum berangkat ke Jakarta pada Senin (21/5/2019) kemarin memang korban sempat meminta izin dan memohon do’a pada mereka, namun tidak menyebutkan bahwa korban hendak ikut aksi unjuk rasa.
“Berangkatnya dia sendirian kemarin dari sini jam 9. Izin katanya mau ke Jakarta mau ngelongok abang sama adeknya di Jakarta cuma itu doang, Dapat kabar tadi pagi dari Pak Lurah,” ujarnya.
Menurut keterangan keluarga saat ini jasad korban masih berada di Rumah Sakit Kramat Jati Jakarta Timur. Keluarga berharap jasad korban bisa segera dibawa pulang untuk dimakamkan.
“Jasad korban katanya masih di rumah sakit, katanya tadi mau dikembalikan gak bisa dicabut katanya harus ada yang bertanggung jawab padahal sudah ada keluarganya di sana. Keinginan kami kalau boleh mau langsung dibawa aja, cuman itu doang,” terangnya. (haryono/tri)
Korban diketahui bernama Abdul Aziz (17) Laskar FPI warga Kampung Rocek Barat, Desa Rocek, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang.
Johani orangtua korban menuturkan bahwa korban memang pamit mau ke Jakarta untuk bertemu saudaranya dan dilanjutkan reuni bersama temannya.
Johani menuturkan bahwa anaknya itu santri di salah satu pondok pesantren di Kuningan, Jawa Barat.
“Mondok di kuningan. Kan dari pesantren dia ga pernah kemana-mana, cuman mondok doang ga kerja. Cuman dia bilang mau ke Jakarta mau reunian sama kawan-kawannya,” tutur Johani kepada wartawan di rumah duka, Rabu (22/5/2019).
Lanjut Johani, sebelum berangkat ke Jakarta pada Senin (21/5/2019) kemarin memang korban sempat meminta izin dan memohon do’a pada mereka, namun tidak menyebutkan bahwa korban hendak ikut aksi unjuk rasa.
“Berangkatnya dia sendirian kemarin dari sini jam 9. Izin katanya mau ke Jakarta mau ngelongok abang sama adeknya di Jakarta cuma itu doang, Dapat kabar tadi pagi dari Pak Lurah,” ujarnya.
Menurut keterangan keluarga saat ini jasad korban masih berada di Rumah Sakit Kramat Jati Jakarta Timur. Keluarga berharap jasad korban bisa segera dibawa pulang untuk dimakamkan.
“Jasad korban katanya masih di rumah sakit, katanya tadi mau dikembalikan gak bisa dicabut katanya harus ada yang bertanggung jawab padahal sudah ada keluarganya di sana. Keinginan kami kalau boleh mau langsung dibawa aja, cuman itu doang,” terangnya. (haryono/tri)
Rujukan
Halaman: 5944/6664