[ISU] Melahirkan Terkena Denda Rp 700 Ribu
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 12/07/2016
Berita
Susanti, warga Sulawesi Selatan didenda 700rb karena telah melahirkan di rumah. Ia yang tidak memiliki uang lebih memilih melahirkan dirumah dengan jasa dukun beranak. Namun pihak puskesmas setempat mengatakan bahwa setiap kelahiran harus dilakukan di puskesmas, dimana uangnya untuk menggaji para staf. Peraturan aneh ini pun memaksa Susanti meminjam uang ke tetangga untuk membayar denda.
Hasil Cek Fakta
Informasi di atas dapat dikategorikan isu. Mengingat terjadinya perubahan keterangan dari pihak Susanti beserta Suaminya, Suardi.
Awalnya, Suardi mengatakan dirinya dan Susanti dikenakan denda oleh pihak Puskesmas karena melahirkan di rumah. Namun Suardi menjelaskan, melahirkan di rumah karena alasan bidan Puskesmas terlambat datang ke rumahnya.
“Awalnya kami panggil bidan puskesmas kerumah, hanya saja bidan ini datangnya terlambat, sehingga istri saya keburu melahirkan dengan bantuan seorang dukun. Tidak lama kemudian bidannya datang,” kata Suardi, Rabu (18/5/2016).
Di lain pihak, bidan Puskesmas Cina, Asniati menjelaskan bahwa uang tersebut merupakan jasa baginya untuk dibagikan kepada petugas di Puskesmas. Menurutnya hal ini berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Puskesmas.
“Itu uang jasa dan itu sudah diatur dalam aturan puskesmas. Peraturan ini sudah berjalan sejak februari tahun 2016 lalu,” jelas Asniati.
Namun dalam pemberitaan Tribun News ada sedikit perbedaan, dimana dikatakan bidan Puskesmas mendatangi Suardi dan Susanti tiga hari setelah melahirkan. Dijelaskan juga Suardi membayar denda tersebut dengan menghutang kepada tetangganya.
Dua bulan kemudian, berdasarkan pemberitaan di Liputan 6, Suardi memberikan keterangan Susanti melahirkan pada bulan Mei sebelumnya dibantu oleh bidan desa bukan bidan Puskesmas. “Sempat dibantu dengan bidan desa, tapi waktu melahirkan hanya saya dan mertua saya berdua membantu proses kelahiran itu. Tapi, sekali lagi bukan lewat dukun,” paparnya, Kamis (14/7/2016).
Keterangan Suardi berbeda dengan Kepala Puskesmas Cina, Samanhudi yang membantah tudingan mengenakan denda terhadap Susianti karena melahirkan di rumah. Menurut dia, uang yang ditagihkan kepada Susianti adalah biaya untuk proses melahirkan di puskesmas. Besarannya juga hanya Rp 200 ribu.
“Semua sudah selesai. Kami hanya mengenakan biaya kepada warga tersebut sebesar Rp 200 ribu setelah proses melahirkan dilakukan di puskesmas. Dibanding warga ke bidan desa, itu biayanya Rp 400 Ribu,” tutur Sumanhudi.
Awalnya, Suardi mengatakan dirinya dan Susanti dikenakan denda oleh pihak Puskesmas karena melahirkan di rumah. Namun Suardi menjelaskan, melahirkan di rumah karena alasan bidan Puskesmas terlambat datang ke rumahnya.
“Awalnya kami panggil bidan puskesmas kerumah, hanya saja bidan ini datangnya terlambat, sehingga istri saya keburu melahirkan dengan bantuan seorang dukun. Tidak lama kemudian bidannya datang,” kata Suardi, Rabu (18/5/2016).
Di lain pihak, bidan Puskesmas Cina, Asniati menjelaskan bahwa uang tersebut merupakan jasa baginya untuk dibagikan kepada petugas di Puskesmas. Menurutnya hal ini berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Puskesmas.
“Itu uang jasa dan itu sudah diatur dalam aturan puskesmas. Peraturan ini sudah berjalan sejak februari tahun 2016 lalu,” jelas Asniati.
Namun dalam pemberitaan Tribun News ada sedikit perbedaan, dimana dikatakan bidan Puskesmas mendatangi Suardi dan Susanti tiga hari setelah melahirkan. Dijelaskan juga Suardi membayar denda tersebut dengan menghutang kepada tetangganya.
Dua bulan kemudian, berdasarkan pemberitaan di Liputan 6, Suardi memberikan keterangan Susanti melahirkan pada bulan Mei sebelumnya dibantu oleh bidan desa bukan bidan Puskesmas. “Sempat dibantu dengan bidan desa, tapi waktu melahirkan hanya saya dan mertua saya berdua membantu proses kelahiran itu. Tapi, sekali lagi bukan lewat dukun,” paparnya, Kamis (14/7/2016).
Keterangan Suardi berbeda dengan Kepala Puskesmas Cina, Samanhudi yang membantah tudingan mengenakan denda terhadap Susianti karena melahirkan di rumah. Menurut dia, uang yang ditagihkan kepada Susianti adalah biaya untuk proses melahirkan di puskesmas. Besarannya juga hanya Rp 200 ribu.
“Semua sudah selesai. Kami hanya mengenakan biaya kepada warga tersebut sebesar Rp 200 ribu setelah proses melahirkan dilakukan di puskesmas. Dibanding warga ke bidan desa, itu biayanya Rp 400 Ribu,” tutur Sumanhudi.
Rujukan
[DISINFORMASI] Ketidakjujuran Presiden Jokowi Perihal Silsilah Keluarganya
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 10/07/2016
Berita
“Jonru, kali ini Anda kurang kerjaan atau kehabisan bahan, ya? Kok masalah pribadi seperti ibu kandung Jokowi juga dibahas?”
Hei, begini teman: Jika ada pemimpin yang latar belakang keluarganya tidak jelas, menjadi pro dan kontra, dan selama ini terkesan seperti ditutup-tutupi, tak pernah diklarifikasi, tidakkah Anda melihat ada sesuatu yang aneh?
Jika silsilah keluarga Jokowi memang jelas, seharusnya dia dan keluarganya bisa dengan mudah menjelaskan, secara jujur dan terbuka sejelas-jelaskan.
Tapi faktanya kok seperti ditutup-tutupi? Ada apa di balik semua ini?
Ini soal KEJUJURAN seorang presiden. Jika untuk urusan silsilah keluarga saja dia tidak jujur, maka… ya sudahlah. Silahkan diteruskan.
Toh fakta pun selama ini sudah membuktikan bahwa banyak sekali bukti KETIDAKJUJURAN Jokowi, termasuk soal janji-janji kampanye yang tidak ditepati.
Jadi..
Anda masih menganggap urusan silsilah keluarga ini masalah pribadi semata?
Ayo mikir pake otak!”
Hei, begini teman: Jika ada pemimpin yang latar belakang keluarganya tidak jelas, menjadi pro dan kontra, dan selama ini terkesan seperti ditutup-tutupi, tak pernah diklarifikasi, tidakkah Anda melihat ada sesuatu yang aneh?
Jika silsilah keluarga Jokowi memang jelas, seharusnya dia dan keluarganya bisa dengan mudah menjelaskan, secara jujur dan terbuka sejelas-jelaskan.
Tapi faktanya kok seperti ditutup-tutupi? Ada apa di balik semua ini?
Ini soal KEJUJURAN seorang presiden. Jika untuk urusan silsilah keluarga saja dia tidak jujur, maka… ya sudahlah. Silahkan diteruskan.
Toh fakta pun selama ini sudah membuktikan bahwa banyak sekali bukti KETIDAKJUJURAN Jokowi, termasuk soal janji-janji kampanye yang tidak ditepati.
Jadi..
Anda masih menganggap urusan silsilah keluarga ini masalah pribadi semata?
Ayo mikir pake otak!”
Hasil Cek Fakta
Soal ini sudah jelas semenjak zaman Pilpres dahulu, saat itu (dan selalu diulang kembali) yang membuat tidak jelas adalah Jonru sendiri. Jonru berputar-putar pada saat dikonfrontir oleh Budi Sujatmiko dengan data yang jelas, alasannya: datanya kopian, minta aslinya, dia mau cek dulu, yang intinya berputar-putar, sebelum akhirnya memblokir kembali lawan diskusinya (EDIT: Budi Sujatmiko, sebelumnya saya tulis Budiman Sujatmiko).
@jonru: “Kok fotokopian? Aslinya mana? @budisujatmiko: Akta Nikah beliau gimana? ???? Cc. @kaesangp pic.twitter.com/jvSpzb0Rez” (selengkapnya di http://chirpstory.com/li/241887)
Jadi sebetulnya tidak tepat memberikan data yang valid sekalipun ke Jonru, karena dia punya kriteria tersendiri mengenai data yang menurut dia valid. Sekian dari saya, terimafitnah eh… terimakasih.
@jonru: “Kok fotokopian? Aslinya mana? @budisujatmiko: Akta Nikah beliau gimana? ???? Cc. @kaesangp pic.twitter.com/jvSpzb0Rez” (selengkapnya di http://chirpstory.com/li/241887)
Jadi sebetulnya tidak tepat memberikan data yang valid sekalipun ke Jonru, karena dia punya kriteria tersendiri mengenai data yang menurut dia valid. Sekian dari saya, terimafitnah eh… terimakasih.
Rujukan
[HOAX] FOTO KEMACETAN DI BREBES
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 07/07/2016
Berita
Sebuah foto dengan tampilan kondisi pintu tol yang dipenuhi oleh kendaraan, dan diklaim berada di salah satu pintu tol Indonesia.
Hasil Cek Fakta
ika diberi keterangan bahwa foto tersebut diambil di Indonesia tentunya HOAX. Pasalnya foto tersebut diambil dari kondisi kemacetan disalah satu lokasi di China.
Rujukan
(HOAX) Cerita Inspiratif Thomas Alva Edison
Sumber: Sosial MediaTanggal publish: 22/02/2016
Berita
Seorang Ibu yang Luar Biasa
Suatu hari, Thomas Alva Edison pulang sekolah dan menyerahkan selembar kertas pemberian gurunya untuk ibunya. Sang ibu menangis sambil membaca isi surat itu dengan mengeraskan suaranya: “Putra anda seorang jenius. Sekolah ini terlalu kecil untuk menampungnya dan tidak memiliki guru yang cakap untuk mendidiknya. Agar anda mendidiknya sendiri.”
Jauh setelah ibunya wafat dan Edison telah menjadi penemu ternama, dia melihat-lihat barang lama keluarga. Tiba-tiba dia melihat kertas surat terlipat di sorokan sebuah meja. Dia membukanya dan membaca isinya: “Putra Anda seorang anak yang bodoh. Kami tidak mengizinkan anak Anda bersekolah lagi.”
Edison menangis berjam-jam setelah itu dan kemudian menuliskan ini di diarynya: “Thomas Alva Edison, adalah anak bodoh yang, karena seorang Ibu yang Luar Biasa, mampu menjadi seorang jenius pada abad kehidupannya.”
Suatu hari, Thomas Alva Edison pulang sekolah dan menyerahkan selembar kertas pemberian gurunya untuk ibunya. Sang ibu menangis sambil membaca isi surat itu dengan mengeraskan suaranya: “Putra anda seorang jenius. Sekolah ini terlalu kecil untuk menampungnya dan tidak memiliki guru yang cakap untuk mendidiknya. Agar anda mendidiknya sendiri.”
Jauh setelah ibunya wafat dan Edison telah menjadi penemu ternama, dia melihat-lihat barang lama keluarga. Tiba-tiba dia melihat kertas surat terlipat di sorokan sebuah meja. Dia membukanya dan membaca isinya: “Putra Anda seorang anak yang bodoh. Kami tidak mengizinkan anak Anda bersekolah lagi.”
Edison menangis berjam-jam setelah itu dan kemudian menuliskan ini di diarynya: “Thomas Alva Edison, adalah anak bodoh yang, karena seorang Ibu yang Luar Biasa, mampu menjadi seorang jenius pada abad kehidupannya.”
Hasil Cek Fakta
Thomas Alva Edison memang keluar dari sekolahnya saat masih kecil. Sebagai penderita diseleksia, Edison memang sulit beradaptasi dengan situasi belajar yang statis. Salah seorang gurunya memang ada yang mengatakan kalau Edison anak kacau dan sulit diajar. Ibunya, Nancy Matthews Elliott, tidak pernah menutupi kekurangan sang anak dan Edison paham kondisinya yang kurang mampu beradaptasi dengan kondisi belajar di dalam kelas.
Apalagi, guru yang mengajar Edison kala itu, memiliki pola belajar mengajar yang kaku sehingga Edison tidak betah duduk diam di dalam kelas. Dengan demikian, klaim pada narasi tidaklah tepat. Detil penjelasan mengenai kondisi Edison saat masih kecil dapat dibaca di situs truthorfiction.com. Berikut kutipan penjelasan dari situs tersebut mengenai kabar Edison:
[…] This rumor contains a few accurate details. Thomas Edison was dyslexic, which made it difficult for him to succeed in an 1800s classroom. And one of Edison’s teacher’s reportedly described him as “addled.” But the central claim — that Edison’s mother hid that fact from him — is not accurate.
The Foundation for Economic Education reports that Edison was well aware of his teacher’s diagnosis, and that he was enraged by it. Edison was seven years old when his teacher, the Rev. G.B. Engle, described him as “addled.” The boy stormed out of the school in Port Huron, Michigan, and returned the next day with his mother, Nancy. Nancy hoped to reconcile, but she became frustrated with Engle’s “rigid ways” and decided to educate young Thomas at home.
In the biography, “Thomas Alva Edison: Great American Inventor,” Louise Betts goes into more detail about why young Edison had problems with Reverend Engle’s teaching style. Betts writes that sitting still in a classroom was “pure misery” for Edison to begin with, and Engle forced his students to learn by memorizing lessons and reciting them out loud. Students were whipped with a leather strap if they made mistakes, and “Mrs. Engle also heartily approved of using the whip as a way of teaching students better study habits. her whippings were often worse than her husband’s!”
Betts concludes that Edison wasn’t able to memorize lessons and needed hands-on experience to understand and learn things. Edison also needed to ask lots of questions, which frustrated his teacher. Later, Edison said, “I remember I used to never be able to get along at school. I was always at the foot (bottom) of the class. I used to feel that the teachers did not sympathize with me, and that my father thought I was stupid.”
Later in life, Edison said, “My mother was the making of me. She was so true, so sure of me: and I felt I had something to live for, someone I must not disappoint.” […]
Apalagi, guru yang mengajar Edison kala itu, memiliki pola belajar mengajar yang kaku sehingga Edison tidak betah duduk diam di dalam kelas. Dengan demikian, klaim pada narasi tidaklah tepat. Detil penjelasan mengenai kondisi Edison saat masih kecil dapat dibaca di situs truthorfiction.com. Berikut kutipan penjelasan dari situs tersebut mengenai kabar Edison:
[…] This rumor contains a few accurate details. Thomas Edison was dyslexic, which made it difficult for him to succeed in an 1800s classroom. And one of Edison’s teacher’s reportedly described him as “addled.” But the central claim — that Edison’s mother hid that fact from him — is not accurate.
The Foundation for Economic Education reports that Edison was well aware of his teacher’s diagnosis, and that he was enraged by it. Edison was seven years old when his teacher, the Rev. G.B. Engle, described him as “addled.” The boy stormed out of the school in Port Huron, Michigan, and returned the next day with his mother, Nancy. Nancy hoped to reconcile, but she became frustrated with Engle’s “rigid ways” and decided to educate young Thomas at home.
In the biography, “Thomas Alva Edison: Great American Inventor,” Louise Betts goes into more detail about why young Edison had problems with Reverend Engle’s teaching style. Betts writes that sitting still in a classroom was “pure misery” for Edison to begin with, and Engle forced his students to learn by memorizing lessons and reciting them out loud. Students were whipped with a leather strap if they made mistakes, and “Mrs. Engle also heartily approved of using the whip as a way of teaching students better study habits. her whippings were often worse than her husband’s!”
Betts concludes that Edison wasn’t able to memorize lessons and needed hands-on experience to understand and learn things. Edison also needed to ask lots of questions, which frustrated his teacher. Later, Edison said, “I remember I used to never be able to get along at school. I was always at the foot (bottom) of the class. I used to feel that the teachers did not sympathize with me, and that my father thought I was stupid.”
Later in life, Edison said, “My mother was the making of me. She was so true, so sure of me: and I felt I had something to live for, someone I must not disappoint.” […]
Rujukan
Halaman: 6276/6771