Cek Fakta: Tidak Benar dalam Video Ini Soeharto Bicara soal Ijazah Palsu
Sumber:Tanggal publish: 22/04/2025
Berita
Liputan6.com, Jakarta - Sebuah video yang diklaim Presiden ke-2 RI Soeharto berbicara soal ijazah palsu beredar di media sosial. Video tersebut disebarkan salah satu akun Facebook pada 16 April 2025.
Dalam video, Soeharto tampak sedang berbicara di depan kamera. Soeharto yang terlihat mengenakan kemeja batik itu mengatakan bahwa dulu sewaktu menjabat sebagai Presiden, dirinya menyeleksi dengan ketat para calon menteri. Termasuk memeriksa ijazahnya apakah asli atau palsu.
"Dulu saya seleksi para menteri dengan ketat, saya lihat ijazah mereka asli enggak. Yang ijazahnya palsu atau beli, sudah pasti saya singkirkan," ucap Soeharto dalam video tersebut.
"Pak Harto Dari Dulu Sudah Bicara' Ijazah Palsu....Sekarang Terbukti..Pelaku Ijazah Palsu Raja Jawa.. Jokodog Bikin Ijazah Palsu...Menipu Ratusan juta Rakyat Indonesia," tulis salah satu akun Facebook.
Konten yang disebarkan akun Facebook tersebut telah beberapa kali dibagikan dan mendapat 5 komentar dari warganet.
Benarkah dalam video itu Soeharto berbicara mengenai ijazah palsu? Berikut penelusurannya.
Hasil Cek Fakta
Cek Fakta Liputan6.com menelusuri video yang diklaim Presiden ke-2 RI Soeharto berbicara soal ijazah palsu. Penelusuran dilakukan dengan mengunggah gambar tangkapan layar dari video tersebut ke situs Google Images.
Hasilnya ditemukan gambar identik di situs berbagi video YouTube. Video tersebut berjudul "Temu Wicara Presiden Soeharto pada Acara Penerimaan Peserta RATINKOPAR" yang dimuat channel YouTube President Files pada 13 November 2019.
Berikut gambar tangkapan layarnya.
Channel YouTube President Files menuliskan keterangan bahwa video tersebut merupakan momen Presiden Soeharto saat berbincang dengan para peserta RATINKOPAR pada 29 Oktober 1994. Dalam video berdurasi 30 menit 35 detik itu, Soeharto berbicara mengenai koperasi dan dampaknya bagi perekonomian rakyat.
"Temu Wicara Presiden Soeharto Pada Acara Penerimaan Peserta RATINKOPAR - Tapos, 29 Oktober 1994," tulis channel YouTube President Files.
Penelusuran juga dilakukan dengan mengunggah video tersebut ke situs pendeteksi artificial intelligence (AI), deepware.ai. Hasilnya, video tersebut terindikasi dibuat menggunakan perangkat AI.
Berikut gambar tangkapan layarnya.
Kesimpulan
Video yang diklaim Presiden ke-2 RI Soeharto berbicara soal ijazah palsu ternyata tidak benar. Faktanya, video tersebut terindikasi telah dimanipulasi atau diedit menggunakan perangkat AI
Rujukan
Belum Ada Bukti: Donald Trump Alami Gangguan Jiwa
Sumber:Tanggal publish: 22/04/2025
Berita
TEMPO menerima permintaan pembaca untuk memeriksa konten terkait Donald Trump yang diklaim mengalami gangguan mental narsistik dan sosiopat.
Konten tersebut beredar di WhatsApp, Instagram, Facebook, dan TikTok, memperlihatkan tiga orang berdiri di podium. Satu di antaranya menyatakan, Trump mengalami kesehatan mental berdasarkan buku berjudul The Dangerous Case of Donald Trump yang ditulis oleh 27 pakar psikologi.
“Trump repeated comments about annexing Canada and his actions reveal sociopathy, that was described in detail in the 2017 book The Dangerous Case of Donald Trump. In it, 27 psychiatrists and mental health professionals made it clear that Trump is a sociopath who poses a threat, not just to the US but to the entire world,” tulis narasi tersebut.
Benarkah Trump mengalami gangguan kesehatan mental seperti yang dituliskan dalam buku tersebut?
Konten tersebut beredar di WhatsApp, Instagram, Facebook, dan TikTok, memperlihatkan tiga orang berdiri di podium. Satu di antaranya menyatakan, Trump mengalami kesehatan mental berdasarkan buku berjudul The Dangerous Case of Donald Trump yang ditulis oleh 27 pakar psikologi.
“Trump repeated comments about annexing Canada and his actions reveal sociopathy, that was described in detail in the 2017 book The Dangerous Case of Donald Trump. In it, 27 psychiatrists and mental health professionals made it clear that Trump is a sociopath who poses a threat, not just to the US but to the entire world,” tulis narasi tersebut.
Benarkah Trump mengalami gangguan kesehatan mental seperti yang dituliskan dalam buku tersebut?
Hasil Cek Fakta
Tempo berupaya menemukan video asli dari konten yang beredar itu menggunakan layanan reverse image search dari mesin pencari Google, dan kolom pencarian YouTube.
Hasilnya, ditemukan klip yang beredar tersebut asli serta pengeditan yang terdeteksi hanyalah pemotongan dari versi aslinya yang berdurasi sekitar 19 menit 28 detik. Namun, narasi yang mengatakan Trump mengalami gangguan jiwa belum memiliki bukti medis yang kuat. Berikut hasil penelusurannya:
Video yang beredar merupakan potongan dari versi aslinya yang tayang di saluran YouTube CPAC sejak pertengahan Februari 2025. CPAC memperkenalkan diri sebagai media independen dan non komersial yang berbasis di Kanada. Pria berkacamata yang pada video itu merupakan Fareed Khan aktivis anti-rasis dan pendiri grup Canadians United Against Hate yang mengatakan Trump telah menyatakan niatnya untuk mencaplok Kanada.
Hal itu, menurutnya sesuai dengan isi buku The Dangerous Case of Donald Trump yang menyatakan Trump mengalami sosiopat. Video itu direkam di kawasan yang menampung parlemen Kanada, yang disebut Parliament Hill, dalam rangka peringatan 60 tahun penggunaan bendera Kanada.
Buku The Dangerous Case of Donald Trump sesungguhnya diterbitkan karena kekhawatiran penulisnya atas kepemimpinan Trump sebagai Presiden AS di periode pertama pada 2017-2021. Isu tersebut kembali dibahas kini, ketika Trump melontarkan pernyataan dan kebijakan kontroversial di kepemimpinan periode keduanya. Buku kontroversial tersebut ditulis oleh 27 psikiater yang menilai seorang presiden, sebagaimana yang diulas Carlos Lozada dan tayang di Washingtonpost.com pada September 2017.
Buku itu berisi lebih dari 24 esai yang menganalisis pernyataan, sikap, dan perilaku Trump, yang mereka nilai sebagai pertanda buruk tersebut. Kemunculan buku itu ditambah tudingan dari sejumlah politikus dan kritikus yang menyebut emosi Trump tidak stabil dan pernyataannya tidak berdasar, bahkan ada sebutan gila dan tidak waras untuknya.
Politico.com menyatakan bahwa sesungguhnya langkah psikiater yang menyimpulkan kondisi mental seseorang tanpa memeriksa, mengadakan konsultasi dan asesmen secara langsung, pada umumnya tidak dilakukan di AS. Apalagi ada aturan Goldwater di mana komunitas psikiater di sana memandang tak layak bagi mereka untuk memberikan pernyataan tentang kesehatan mental politikus, tanpa memeriksanya sesuai prosedur dan mendapat izin mempublikasikannya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof. Dr. Suryanto, M.Si., menyatakan bahwa menilai kondisi mental psikologis seseorang harus melalui asesmen profesional. Pemeriksaan seperti itu, akan menghasilkan penilaian yang akurat dan tepat bila asesmen dilakukan secara langsung atau tatap muka. Di sisi lain, saat ini telah ada metode asesmen secara online, yakni subyek mengisi kuesioner, tes skala tentang diri sendiri, dan lain sebagainya.
“Namun bila asesmen melalui gejala, apalagi tidak bersentuhan dengan orang, maka hasilnya kurang akurat,” kata Suryanto melalui WhatsApp, Sabtu, 19 April 2025.
Dijelaskannya asesmen online masih diperbolehkan secara etika profesi psikolog atau psikiater. Artinya ada kesepakatan antara kedua pihak untuk saling berkomunikasi jarak jauh, sebagai psikolog dan klien. Namun, menurutnya menganalisa dan memberi penilaian/penghakiman tentang kesehatan mental pada seseorang tanpa bertemu menjadi melanggar etika profesi. Jika tetap dilakukan, hasil penilaian itu dia anggap sebagai komentar non diagnostik.
Ada juga metode ilmiah untuk melihat karakter seseorang berdasarkan bukunya, catatan hariannya, atau artefak miliknya yang dikenal sebagai analisis biogragis. Namun, akurasinya bergantung pada sumber, kualitas informasi dan subjektivitas psikolog yang menginterpretasikan materi-materi itu.
“Sikap masyarakat juga harus netral dulu dan skeptis, sebelum memutuskan menerima atau menolak suatu informasi. Berpikir skeptis artinya tidak mudah percaya, lalu diikuti usaha memvalidasi informasi untuk mencari kebenaran. Bila memang ada fakta dan data barulah boleh menyetujui,” kata Suryanto lagi.
Hasilnya, ditemukan klip yang beredar tersebut asli serta pengeditan yang terdeteksi hanyalah pemotongan dari versi aslinya yang berdurasi sekitar 19 menit 28 detik. Namun, narasi yang mengatakan Trump mengalami gangguan jiwa belum memiliki bukti medis yang kuat. Berikut hasil penelusurannya:
Video yang beredar merupakan potongan dari versi aslinya yang tayang di saluran YouTube CPAC sejak pertengahan Februari 2025. CPAC memperkenalkan diri sebagai media independen dan non komersial yang berbasis di Kanada. Pria berkacamata yang pada video itu merupakan Fareed Khan aktivis anti-rasis dan pendiri grup Canadians United Against Hate yang mengatakan Trump telah menyatakan niatnya untuk mencaplok Kanada.
Hal itu, menurutnya sesuai dengan isi buku The Dangerous Case of Donald Trump yang menyatakan Trump mengalami sosiopat. Video itu direkam di kawasan yang menampung parlemen Kanada, yang disebut Parliament Hill, dalam rangka peringatan 60 tahun penggunaan bendera Kanada.
Buku The Dangerous Case of Donald Trump sesungguhnya diterbitkan karena kekhawatiran penulisnya atas kepemimpinan Trump sebagai Presiden AS di periode pertama pada 2017-2021. Isu tersebut kembali dibahas kini, ketika Trump melontarkan pernyataan dan kebijakan kontroversial di kepemimpinan periode keduanya. Buku kontroversial tersebut ditulis oleh 27 psikiater yang menilai seorang presiden, sebagaimana yang diulas Carlos Lozada dan tayang di Washingtonpost.com pada September 2017.
Buku itu berisi lebih dari 24 esai yang menganalisis pernyataan, sikap, dan perilaku Trump, yang mereka nilai sebagai pertanda buruk tersebut. Kemunculan buku itu ditambah tudingan dari sejumlah politikus dan kritikus yang menyebut emosi Trump tidak stabil dan pernyataannya tidak berdasar, bahkan ada sebutan gila dan tidak waras untuknya.
Politico.com menyatakan bahwa sesungguhnya langkah psikiater yang menyimpulkan kondisi mental seseorang tanpa memeriksa, mengadakan konsultasi dan asesmen secara langsung, pada umumnya tidak dilakukan di AS. Apalagi ada aturan Goldwater di mana komunitas psikiater di sana memandang tak layak bagi mereka untuk memberikan pernyataan tentang kesehatan mental politikus, tanpa memeriksanya sesuai prosedur dan mendapat izin mempublikasikannya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof. Dr. Suryanto, M.Si., menyatakan bahwa menilai kondisi mental psikologis seseorang harus melalui asesmen profesional. Pemeriksaan seperti itu, akan menghasilkan penilaian yang akurat dan tepat bila asesmen dilakukan secara langsung atau tatap muka. Di sisi lain, saat ini telah ada metode asesmen secara online, yakni subyek mengisi kuesioner, tes skala tentang diri sendiri, dan lain sebagainya.
“Namun bila asesmen melalui gejala, apalagi tidak bersentuhan dengan orang, maka hasilnya kurang akurat,” kata Suryanto melalui WhatsApp, Sabtu, 19 April 2025.
Dijelaskannya asesmen online masih diperbolehkan secara etika profesi psikolog atau psikiater. Artinya ada kesepakatan antara kedua pihak untuk saling berkomunikasi jarak jauh, sebagai psikolog dan klien. Namun, menurutnya menganalisa dan memberi penilaian/penghakiman tentang kesehatan mental pada seseorang tanpa bertemu menjadi melanggar etika profesi. Jika tetap dilakukan, hasil penilaian itu dia anggap sebagai komentar non diagnostik.
Ada juga metode ilmiah untuk melihat karakter seseorang berdasarkan bukunya, catatan hariannya, atau artefak miliknya yang dikenal sebagai analisis biogragis. Namun, akurasinya bergantung pada sumber, kualitas informasi dan subjektivitas psikolog yang menginterpretasikan materi-materi itu.
“Sikap masyarakat juga harus netral dulu dan skeptis, sebelum memutuskan menerima atau menolak suatu informasi. Berpikir skeptis artinya tidak mudah percaya, lalu diikuti usaha memvalidasi informasi untuk mencari kebenaran. Bila memang ada fakta dan data barulah boleh menyetujui,” kata Suryanto lagi.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan Presiden AS Donald Trump mengalami penyakit jiwa narsistik dan sosiopat adalah klaim yang belum ada bukti, bila berdasarkan pemeriksaan kesehatan mental sesuai standar dan etika psikolog.
Narasi itu bersumber dari buku yang menilai kesehatan mental Trump tanpa memeriksanya secara tatap muka, atau metode-metode yang memenuhi standar diagnosa kesehatan mental.
Narasi itu bersumber dari buku yang menilai kesehatan mental Trump tanpa memeriksanya secara tatap muka, atau metode-metode yang memenuhi standar diagnosa kesehatan mental.
Rujukan
- https://www.instagram.com/voteinorout/reel/DHtm_HwxI6Q/
- https://www.facebook.com/reel/1359751175157173
- https://www.tiktok.com/@user022606617/video/7482851104619810078
- https://www.youtube.com/watch?v=jYD0R_CuD38
- https://www.washingtonpost.com/news/book-party/wp/2017/09/22/is-trump-mentally-ill-or-is-america-psychiatrists-weigh-in/
- https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/27/how-to-deal-with-a-narcissist-in-the-white-house-215072/ /cdn-cgi/l/email-protection#2340464845424857426357464e534c0d404c0d4a47
Keliru: Tautan Pendaftaran Grand Prize Mandiri Berhadiah Mobil Mewah
Sumber:Tanggal publish: 22/04/2025
Berita
SEBUAH tautan yang diklaim pendaftaran undian berhadiah Grand Prize Tabungan Bank Mandiri beredar di Facebook [arsip]. Falam narasinya, undian itu disebutkan dapat diikuti nasabah Bank Mandiri pengguna aplikasi Livin by Mandiri.
Narasi tersebut juga menyertakan puluhan hadiah, berupa mobil, gawai, dan perjalanan gratis. Warganet yang tertarik diminta mengunjungi tautan untuk mengetahui ketentuan selengkapnya dan melakukan pendaftaran.
Namun, benarkah tautan yang disertakan tersebut memuat pendaftaran undian berhadiah Grand Prize Tabungan Bank Mandiri?
Narasi tersebut juga menyertakan puluhan hadiah, berupa mobil, gawai, dan perjalanan gratis. Warganet yang tertarik diminta mengunjungi tautan untuk mengetahui ketentuan selengkapnya dan melakukan pendaftaran.
Namun, benarkah tautan yang disertakan tersebut memuat pendaftaran undian berhadiah Grand Prize Tabungan Bank Mandiri?
Hasil Cek Fakta
Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bahwa tautan tersebut bukan untuk pendaftaran undian berhadiah dari Mandiri.
Tempo memverifikasi konten tersebut dengan memeriksa isi tautan dan mengecek laman resmi Bank Mandiri. Hasilnya, tautan yang beredar bukan alamat situs web resmi Bank Mandiri. Pemalsuan seperti ini dapat menimbulkan risiko lanjutan terhadap phishing, hacking, dan serangan digital lainnya.
Saat Tempo mencoba membuka tautan yang disebarkan tersebut menggunakan peramban Mozilla Firefox, muncul peringatan bahaya yang mengatakan aplikasi itu diblokir karena diduga melakukan trik menginstal program secara tersembunyi atau mencuri data personal.
Akun Instagram Bank Mandiri juga mengumumkan agar nasabah berhati-hati pada orang yang menelpon dan mengaku sebagai pegawai Bank Mandiri, serta meminta data kredensial nasabah seperti kode OTP, nomor PIN, user ID dan password, serta nomor kartu kredit/debit.
Bank Mandiri menegaskan, pihaknya tidak pernah meminta data pribadi nasabah melalui telepon, SMS, chat atau link. Selain itu, kode OTP tidak untuk diberikan kepada orang lain sldengab alasan apapun. Jika merasa ragu, nasabah bisa menghubungi Mandiri Call 14000.
Corporate Secretary Bank Mandiri, Teuku Ali Usman, dalam laporan Tempo, 6 Mei 2024, meminta masyarakat mewaspadai kejahatan pembobolan rekening dan penipuan bermodus undian berhadiah yang mengatasnamakan Bank Mandiri.
Dia menjelaskan penipuan undian berhadiah biasanya menyebarkan informasi keliru di media sosial, tentang program ‘Gebyar Undian Grand Prize’ yang disertai tautan mengarah pada website pendaftaran. Padahal website itu menjadi alat mereka untuk melakukan phising atau pencurian data penting warganet, termasuk data akses ke akun perbankan.
Pihaknya mendorong masyarakat merahasiakan data penting seperti kode OTP sebagai verifikasi transaksi yang dikirimkan ke HP, nomor kartu debit/kredit, CVV/CVC (3 angka di belakang kartu), PIN, User ID dan password.
“Hal inilah yang dapat menyebabkan timbulnya kerugian finansial bagi siapa saja yang mengisinya (formulir palsu). Sehingga kami meminta pada seluruh nasabah untuk lebih berhati-hati," kata Teuku Ali.
Teuku Ali juga mengimbau masyarakat untuk mendapatkan informasi yang valid dari alamat website resmi Bank Mandiri, www.bankmandiri.co.id, dan akun media sosial resmi seperti Instagram (@bankmandiri), Twitter atau X (@bankmandiri) dan Facebook (Bank Mandiri). “Jadi selain (akun-akun) itu, tolong jangan percaya,” kata dia.
Tempo memverifikasi konten tersebut dengan memeriksa isi tautan dan mengecek laman resmi Bank Mandiri. Hasilnya, tautan yang beredar bukan alamat situs web resmi Bank Mandiri. Pemalsuan seperti ini dapat menimbulkan risiko lanjutan terhadap phishing, hacking, dan serangan digital lainnya.
Saat Tempo mencoba membuka tautan yang disebarkan tersebut menggunakan peramban Mozilla Firefox, muncul peringatan bahaya yang mengatakan aplikasi itu diblokir karena diduga melakukan trik menginstal program secara tersembunyi atau mencuri data personal.
Akun Instagram Bank Mandiri juga mengumumkan agar nasabah berhati-hati pada orang yang menelpon dan mengaku sebagai pegawai Bank Mandiri, serta meminta data kredensial nasabah seperti kode OTP, nomor PIN, user ID dan password, serta nomor kartu kredit/debit.
Bank Mandiri menegaskan, pihaknya tidak pernah meminta data pribadi nasabah melalui telepon, SMS, chat atau link. Selain itu, kode OTP tidak untuk diberikan kepada orang lain sldengab alasan apapun. Jika merasa ragu, nasabah bisa menghubungi Mandiri Call 14000.
Corporate Secretary Bank Mandiri, Teuku Ali Usman, dalam laporan Tempo, 6 Mei 2024, meminta masyarakat mewaspadai kejahatan pembobolan rekening dan penipuan bermodus undian berhadiah yang mengatasnamakan Bank Mandiri.
Dia menjelaskan penipuan undian berhadiah biasanya menyebarkan informasi keliru di media sosial, tentang program ‘Gebyar Undian Grand Prize’ yang disertai tautan mengarah pada website pendaftaran. Padahal website itu menjadi alat mereka untuk melakukan phising atau pencurian data penting warganet, termasuk data akses ke akun perbankan.
Pihaknya mendorong masyarakat merahasiakan data penting seperti kode OTP sebagai verifikasi transaksi yang dikirimkan ke HP, nomor kartu debit/kredit, CVV/CVC (3 angka di belakang kartu), PIN, User ID dan password.
“Hal inilah yang dapat menyebabkan timbulnya kerugian finansial bagi siapa saja yang mengisinya (formulir palsu). Sehingga kami meminta pada seluruh nasabah untuk lebih berhati-hati," kata Teuku Ali.
Teuku Ali juga mengimbau masyarakat untuk mendapatkan informasi yang valid dari alamat website resmi Bank Mandiri, www.bankmandiri.co.id, dan akun media sosial resmi seperti Instagram (@bankmandiri), Twitter atau X (@bankmandiri) dan Facebook (Bank Mandiri). “Jadi selain (akun-akun) itu, tolong jangan percaya,” kata dia.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa tautan yang diklaim menuju halaman pendaftaran undian berhadiah Grand Prize Tabungan Bank Mandiri merupakan narasi yang keliru.
Akun Facebook yang menyebarkannya dan alamat website yang disertakan bukan akun resmi milik Bank mandiri. Pihak Bank Mandiri pun menyatakan bahwa konten seperti itu berisi informasi yang menyesatkan.
Akun Facebook yang menyebarkannya dan alamat website yang disertakan bukan akun resmi milik Bank mandiri. Pihak Bank Mandiri pun menyatakan bahwa konten seperti itu berisi informasi yang menyesatkan.
Rujukan
- https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=pfbid02VfqJ8edxnSgBACVec4L7bj59784qeWPatuTx7SvpruUqh4VdiGBLiAJgCYZNXhggl&id=61575030013928
- https://mvau.lt/media/021388fe-1c3c-446e-9e76-7d129809cf73
- https://www.instagram.com/bankmandiri/p/DIJKP6tS_h0/?img_index=1
- https://www.tempo.co/info-tempo/bank-mandiri-imbau-nasabah-waspadai-modus-penipuan-berkedok-undian-61806
- http://www.bankmandiri.co.id /cdn-cgi/l/email-protection#6201070904030916032216070f120d4c010d4c0b06
Keliru: Konten Sapi Berkepala Dua
Sumber:Tanggal publish: 22/04/2025
Berita
SEBUAH foto sapi berkepala dua tengah memakan rumput di pinggir jalan beraspal beredar di Facebook [arsip]. Di belakangnya, sekitar sebelas orang menonton sapi itu dengan ekspresi heran atau takjub.
Namun, benarkah gambar yang memperlihatkan sapi dengan dua kepala itu asli?
Namun, benarkah gambar yang memperlihatkan sapi dengan dua kepala itu asli?
Hasil Cek Fakta
Tempo memverifikasi keaslian gambar tersebut dengan mengamati gambar secara langsung dan memindai gambar menggunakan aplikasi pendeteksi konten AI. Hasilnya, foto tersebut dibuat menggunakan AI atau kecerdasan buatan.
Ditemukan beberapa kejanggalan dari foto tersebut. Pertama, pada bagian orang-orang yang menonton di belakang sapi, terdapat tiga kepala orang yang berdekatan, namun hanya tampak tiga kaki, bukan tiga pasang atau enam kaki. Kedua, kaki pada sapi juga tampak hanya tiga, bukan empat seperti seharusnya.
Ketiga, di telinga kedua sapi terdapat tag atau label yang biasanya diberikan untuk memberikan kode identitas di peternakan yang memiliki banyak sapi. Namun sapi yang diperlihatkan di atas tidak berada di kawasan peternakan, melainkan pinggir jalan.
Kejanggalan-kejanggalan seperti itu, biasa ditemukan dalam gambar-gambar yang dibuat menggunakan bantuan AI.
Pemindaian menggunakan Hivemoderation.com juga menunjukkan bahwa kemungkinan gambar itu dibuat menggunakan AI sebesar 78,7 persen. Kesimpulannya gambar itu sangat mungkin dibuat menggunakan aplikasi AI.
Pemimpin redaksi sementara IEEE Intelligent Systems (publikasi jurnal ilmiah) San Murugesan dalam artikelnya di Computer.org menyatakan terdapat kekhawatiran bahwa perkembangan teknologi AI menyebabkan munculnya sejumlah pelanggaran etis seperti risiko plagiarisme dan masalah dalam hal hak cipta, risiko keamanan, dan masalah hukum. Tanpa kejelasan hak cipta atas konten yang dibuat menggunakan AI, penanggung jawab atas konten-konten bermasalah akan menjadi samar.
Untuk memastikan transparansi, pembuat konten seharusnya secara terbuka menyatakan konten tersebut dibuatnya dengan AI. Tanpa penjelasan tersebut konten akan menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat.
Ditemukan beberapa kejanggalan dari foto tersebut. Pertama, pada bagian orang-orang yang menonton di belakang sapi, terdapat tiga kepala orang yang berdekatan, namun hanya tampak tiga kaki, bukan tiga pasang atau enam kaki. Kedua, kaki pada sapi juga tampak hanya tiga, bukan empat seperti seharusnya.
Ketiga, di telinga kedua sapi terdapat tag atau label yang biasanya diberikan untuk memberikan kode identitas di peternakan yang memiliki banyak sapi. Namun sapi yang diperlihatkan di atas tidak berada di kawasan peternakan, melainkan pinggir jalan.
Kejanggalan-kejanggalan seperti itu, biasa ditemukan dalam gambar-gambar yang dibuat menggunakan bantuan AI.
Pemindaian menggunakan Hivemoderation.com juga menunjukkan bahwa kemungkinan gambar itu dibuat menggunakan AI sebesar 78,7 persen. Kesimpulannya gambar itu sangat mungkin dibuat menggunakan aplikasi AI.
Pemimpin redaksi sementara IEEE Intelligent Systems (publikasi jurnal ilmiah) San Murugesan dalam artikelnya di Computer.org menyatakan terdapat kekhawatiran bahwa perkembangan teknologi AI menyebabkan munculnya sejumlah pelanggaran etis seperti risiko plagiarisme dan masalah dalam hal hak cipta, risiko keamanan, dan masalah hukum. Tanpa kejelasan hak cipta atas konten yang dibuat menggunakan AI, penanggung jawab atas konten-konten bermasalah akan menjadi samar.
Untuk memastikan transparansi, pembuat konten seharusnya secara terbuka menyatakan konten tersebut dibuatnya dengan AI. Tanpa penjelasan tersebut konten akan menyebabkan kesalahpahaman di masyarakat.
Kesimpulan
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa gambar yang beredar memperlihatkan rekaman sapi berkepala dua yang sedang makan rumput di tepi jalan dan menjadi tontonan orang adalah klaim keliru.
Gambar itu bukan dihasilkan rekaman kamera dari kondisi yang sebenarnya, melainkan gambar yang di-generate menggunakan mesin AI. Tanpa menambahkan keterangan bahwa gambar itu dihasilkan AI, unggahan itu dinilai melanggar etika.
Gambar itu bukan dihasilkan rekaman kamera dari kondisi yang sebenarnya, melainkan gambar yang di-generate menggunakan mesin AI. Tanpa menambahkan keterangan bahwa gambar itu dihasilkan AI, unggahan itu dinilai melanggar etika.
Rujukan
- https://www.facebook.com/photo/?fbid=122203486616160649&set=a.122104610684160649
- https://mvau.lt/media/8bab3b33-f17a-4ace-9de7-09e816fa229f
- http://hivemoderation.com
- https://www.computer.org/publications/tech-news/trends/ethical-concerns-on-ai-content-creation /cdn-cgi/l/email-protection#f596909e93949e8194b5819098859adb969adb9c91
Halaman: 96/6684