• Cek Fakta: Tidak Benar Judul Artikel MUI Minta Masyarakat Waspada pada Agen Zionis yang Menyamar Jadi Habib

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/10/2024

    Berita


    Liputan6.com, Jakarta - Beredar di media sosial postingan artikel berjudul MUI minta masyarakat waspada pada agen zionis yang menyamar jadi habib. Postingan itu beredar sejak awal bulan ini.
    Salah satu akun ada yang mengunggahnya di Facebook. Akun itu mempostingnya pada 4 Oktober 2024.
    Dalam postingannya terdapat cuplikan layar artikel dari Tribunnews.com berjudul:
    "MUI Minta Masyarakat Waspada Sebab Agen Zionis Berkeliaran di Indonesia menyamar jadi habib"
    Akun itu menambahkan narasi:
    "Viral Pesan MUI minta masyarakat waspada"
    Lalu benarkah postingan artikel berjudul MUI minta masyarakat waspada pada agen zionis yang menyamar jadi habib?
     

    Hasil Cek Fakta


    Cek Fakta Liputan6.com menelusuri dan menemukan artikel yang identik dengan postingan.
    Artikel itu diunggah di Tribunnews.com pada 21 Juli 2024. Kesamaan terdapat pada foto artikel yang digunakan dan juga nama penulis.
    Namun dalam artikel asli berjudul "MUI Minta Masyarakat Waspada Sebab Agen Zionis Berkeliaran di Indonesia", tidak ada kalimat "menyamar jadi habib" seperti dalam postingan.
    Berikut isi artikelnya:
    "TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim meminta masyarakat untuk terus waspada terhadap agen dengan paham zionisme.
    Pasalnya, agen-agen yang menganut paham zionisme kini berkeliaran di Indonesia untuk memengaruhi masyarakat dari berbagai sisi.
    “Semua kampus, semua masjid, semua fasilitas umum, mahasiswa, anak muda harus dijaga dari pengaruh-pengaruh gerakan yang bisa memengaruhi,” ujar Sudarnoto di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Minggu (21/7/2024).
    “Yaitu mereka agen-agen zionis, sekarang masih ada di Indonesia, oleh karena itu mari kita bergerak,” sambungnya.
    Agen-agen itu, lanjutnya, memang bergerak di kalangan masyarakat dan menyasar individu per individu ketimbang di tingkat yang lebih besar seperti melalui jalur diplomasi.
    “Saya juga ingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa agen-agen Israel terus bergerak di kalangan masyarakat,” pungkasnya.
    Sebagai informasi, Sudartono hari ikut melakukan aksi penolakan keikutsertaan Israel dalam Olimpiade Paris 2024.
    Dalam aksi yang diinisiasi kelompok Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina (ARI-BP) ini, juga turut hadir eks Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid."

    Kesimpulan


    Postingan artikel berjudul MUI minta masyarakat waspada pada agen zionis yang menyamar jadi habib adalah tidak benar. Faktanya judul dalam artikel itu telah diedit dengan ditambahkan kalimat lain.

    Rujukan

    • Liputan 6
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Keliru, Rosianna Silalahi Menyiarkan Tentang Minuman Jahe Sebagai Penurun Tekanan Darah

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/10/2024

    Berita



    Sebuah akun di Facebook [ arsip ] mengunggah video program Rosi berlogo Kompas TV yang menyiarkan Rosianna Silalahi tengah mempromosikan minuman jahe sebagai penurun tekanan darah, serta memuat video Zaidul Akbar yang memberikan testimoni.

    Dalam video itu, Rosi mengatakan bahwa tekanan darah tinggi di Indonesia telah berakhir selamanya berkat penemuan minuman oleh dokter kardiolog Zaidul Akbar. Minuman itu dapat menormalkan tekanan darah hingga 120-80 hanya dalam 27 jam penggunaan. Sementara itu, Zaidul Akbar mengatakan bahwa ia telah melakukan lebih dari 770 eksperimen ilmiah untuk menemukan minuman yang terbuat dari akar jahe.  



    Hingga artikel ini ditulis, video yang diunggah pada 27 September 2024 tersebut disukai 8,4 ribu dan disaksikan 1,9 juta kali. Benarkah Rosianna Silalahi menyiarkan minuman jahe dapat menurunkan tekanan darah?

    Hasil Cek Fakta



    Verifikasi Tempo menunjukkan potongan video Kompas TV yang menyiarkan minuman jahe sebagai obat penurun tekanan darah tersebut merupakan hasil suntingan. Audio itu diubah dari aslinya dengan menggunakangenerated-AI audio.

    Tempo menelusuri video aslinya di kanal Youtube Kompas TV menggunakan kata kunci. Video identik pernah diunggah oleh akun YouTube Kompas TV pada 1 Juni 2024 dengan judul "Sutradara & Produser Ungkap Kronologi Intimidasi saat Pembuatan Film Vina | ROSI”.

    Video tersebut berisi obrolan antara Rosianna Silalahi dengan sutradara pembuat film Vina, Anggy Umbara. Mereka membahas bagaimana sebelum 7 hari, Anggy Umbara dan Produser Dheeraj Kalwani menerima intimidasi. Anggy menyebut sempat didatangi aparat saat pembuatan berlangsung. Mereka  mengaku dari kepolisian, namun tidak menyebut dari mana dan tidak mengenakan seragam. Oknum itu meminta agar film dihentikan.



    Dalam video tersebut, Rosi tidak pernah menyampaikan apapun tentang minuman jahe sebagai penurun tekanan darah. 

    Sosok Zaidul Akbar juga tidak ada dalam video. Video Zaidul Akbar sebelumnya pernah diunggah di kanal Youtube dr. Zaidul Akbar pada 18 Juni 2024 dengan judul "Cinta Membuat Produktif - dr. Zaidul Akbar Official". Ceramah Zaidul sama sekali tidak menyatakan tentang penemuan minuman jahe yang menormalkan tekanan darah tinggi.

    Tempo juga memverifikasi video dengan video detector, DeepFake-O-Meter. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa 96,3 persen kemungkinan audio dalam video Kompas TV tentang minuman jahe sebagai penurun tekanan darah telah diubah dengan generator AI.

    Kesimpulan



    Berdasarkan hasil pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan bahwa video klaim Rosianna Silalahi menyiarkan tentang minuman jahe sebagai obat penurun tekanan darah adalahkeliru.

    Video tersebut adalahdeepfake yang diubah menggunakan generated-AI audio.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Menyesatkan, Video Menkes Budi Gunadi Membahas Lockdown Terkait 'Great Reset'

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/10/2024

    Berita



    Sebuah konten beredar di Instagram [ arsip ] dan Facebook pada akun ini dan ini, yang diklaim Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyebut tentanglockdown dan sertifikasi digital untuk vaksinasi.

    Konten itu berisi video yang memperlihatkan Budi berbicara dalam bahasa Inggris di sebuah forum. Dalam teks yang menerjemahkan pernyataan Budi tersebut, tertulis bahwalockdown saat pandemi berkaitan dengan tata ulang dunia (great reset). Dia juga menyebut bahwa Kementerian Kesehatan menyiapkan sertifikasi digital untuk vaksinasi sesuai format dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).



    Namun, benarkah Budi mengatakan dua hal tersebut?

    Hasil Cek Fakta





    Potongan video Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin itu adalah momen saat dia berbicara dalam pertemuan B20 Summit 2022 di Nusa Dua, Bali pada 13-14 November 2022. Acara itu digelar Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, yang dihadiri 3.300 pimpinan perusahaan dan perwakilan negara. Rekaman utuh acara tersebut ditayangkan di kanal YouTube ASEAN BAC INDONESIA 2023.

    Tidak menyebut great reset

    Pernyataan Budi dimulai pada detik ke-1:17:52 saat ia menjawab pertanyaan dari moderator tentang bagaimana dunia bisnis bisa mengambil peran besar dalam isu-isu kesehatan atau jika pandemi terjadi kembali. Menkes Budi menyatakan agar kalangan bisnis yang hadir mengarahkan investasi mereka ke bidang kesehatan. Dia mengatakan dengan layanan kesehatan yang memadai, masyarakat akan berumur lebih panjang.

    Dia juga mengatakan bahwa krisis kesehatan seperti pandemi berbeda dengan krisis keuangan. Bila krisis keuangan bisa dikendalikan dengan pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) ke negara yang kesulitan, krisis kesehatan memiliki dampak yang lebih luas. Misalnya pandemi Covid-19 yang berdampak pada kesehatan dan aktivitas masyarakat, hingga perekonomian. Selain itu, penanggulangan pandemi menghadapi tantangan kesenjangan akses masyarakat terhadap alat diagnosa, terapi, dan vaksin.

    Pada jawaban tersebut dia tidak menyebut bahwalockdown adalah bagian untuk great reset, sebuah istilah yang menurut BBC, digagas Professor Klaus Schwab, kepala Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2020. Gagasan itu muncul untuk memanfaatkan pandemi Covid-19 mengatur ulang dunia hingga tercipta masa depan yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih sejahtera. Namun gagasan itu  mendapatkan kritik dan penolakan dari beberapa tokoh dan lembaga resmi. 

    Kejadian itulah yang menjadi bahan disinformasi dan teori konspirasi, yang disebarkan di internet. Berdasarkan riset BBC, jumlah unggahan dengan kata ‘great reset’ di Facebook tahun 2020 dan 2021 sangat tinggi mencapai puluhan ribu karena juga diamplifikasi oleh tokoh-tokoh dunia seperti Donald Trump.

    Terkait Sertifikasi Digital Vaksin

    Berikutnya Menkes Budi menilai penyediaan sertifikat vaksin digital lintas negara yang diinisiasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) bisa menjadi persiapan bila di masa depan kembali terjadi pandemi kembali. Data itu bisa digunakan masyarakat melakukan perjalanan, jika terjadi pandemi lagi, sehingga menghindarilockdown.

    Dilansir website WHO, mereka menginisiasi dibangunnya Jaringan Sertifikasi Kesehatan Digital Global WHO (GDHCN) untuk memperkuat kesiapsiagaan terhadap pandemi dan memberikan layanan kesehatan yang lebih baik untuk semua.

    GDHCN bukanlahmicrochip yang ditanam di dalam tubuh setelah vaksin. Narasi soal ini adalah keliru karena vaksin tidak mengandungmicrochip. Sertifikat digital yang disebut WHO berupa dokumen dalam file digital yang berisi sejumlah data, seperti digitalisasi sertifikat vaksinasi atau profilaksis internasional, verifikasi resep lintas batas, ringkasan pasien internasional, verifikasi sertifikat vaksinasi di dalam dan lintas batas, dan sertifikasi profesional kesehatan masyarakat (melalui Akademi WHO).

    Rancangan WHO memperlihatkan bahwa GDHCN akan melibatkan pemerintah antar negara, hingga terbentuk jaringan terpercaya dalam penanganan data-data tersebut. Data tersebut bisa digunakan untuk verifikasi catatan kesehatan untuk mendukung pengobatan berkesinambungan.

    Pemeriksa fakta Reuters.com dan AAp.com.au menyatakan dengan GDHCN, WHO berupaya menyediakan sertifikat vaksin dan data kesehatan lainnya, secara digital, tanpa ikut menentukan siapa orang yang boleh berpergian ke luar negeri, dan siapa yang dilarang.

    GDHCN tidak akan memberi kewenangan WHO dalam mengendalikan izin orang bepergian. Penentuan seseorang boleh atau tidak pergi ke luar negeri tetap ditentukan keputusan pemerintah di negara asalnya maupun di negara tujuan.

    Kesimpulan



    Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan Menkes Budi menyatakan membuat sertifikat vaksin digital yang sesuai dengan format WHO, dan hal itu berkaitan dengangreat resetadalah klaim yangmenyesatkan.

    Menkes memang mengatakan kalimat itu dalam pertemuan B20 Summit 2022 di Nusa Dua, Bali. Namun hal itu tidak berkaitan dengan isu great reset.Great resetadalah gagasan Professor Klaus Schwab yang belum jelas definisi dan penerapannya, yang telah ditolak berbagai pihak.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Keliru, Klaim Vaksin Cacar Monyet Sebagai Vaksin Eksperimental dan Dikaitkan sebagai Penyakit LGBT

    Sumber:
    Tanggal publish: 24/10/2024

    Berita



    Sebuah infografis tentang tiga calon vaksin cacar monyet RI dibagikan di Facebook [ arsip ] pada 16 Agustus 2024. Pengunggah konten tersebut mengklaim bahwa vaksin-vaksin tersebut tergolong vaksin eksperimental untuk kasus mpox. Dia juga menyebut cacar monyet sebagai penyakit LGBT.

    Narasi selengkapnya:Bersiaplah untuk omong kosong vaksin berikutnya, rezim sudah menyiapkan vaksin eksperimental, sama seperti dulu Covid, untuk penyakit LGBT Cacar Monyet /Monkeypox. Satu kata: TOLAK !!



    Benarkah vaksin mpox adalah vaksin eksperimental dan terkait dengan penyakit LGBT?

    Hasil Cek Fakta



    Hasil verifikasi Tempo, infografis tersebut dipublikasikan oleh situs berita Sindonews.com pada 8 September 2022 dengan judul “Ini 3 Calon Vaksin Cacar Monyet yang Sudah Dipesan Indonesia”. Ketiga vaksin tersebut yakni Imvamune, LC16M8, dan ACAM2000. Dalam artikel tidak pernah disebutkan bahwa ketiga vaksin tersebut adalah vaksin eksperimental.

    Peneliti virologi dari Universitas Airlangga, Dr. Arif Nur Muhammad Ansori, M.Si mengatakan bahwa vaksin mpox adalah "vaksin eksperimental" yang diberikan kepada masyarakat tanpa cukup uji keamanan dan efektivitas adalah keliru.

    Faktanya, lanjut Arif, ketiga vaksin tersebut untuk mencegah Mpox telah lama digunakan untuk melawan penyakit cacar (smallpox). Cacar yang disebabkan oleh virus variola, berasal dari golongan genus Orthopoxvirus, yang sama dengan virus penyebab Mpox. 

    “Oleh karena itu, vaksin cacar terbukti efektif dalam mencegah infeksi mpox,” kata Arif, Rabu, 23 Oktober 2024.

    Vaksin Imvamune (Jynneos) diproduksi oleh Bavarian Nordic, perusahaan bioteknologi Denmark dan disetujui oleh badan kesehatan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa untuk pencegahan cacar dan mpox.

    Jenis LC16M8 dikembangkan di Jepang sebagai vaksin generasi baru untuk cacar dan memiliki profil keamanan yang lebih baik dibandingkan vaksin generasi sebelumnya. 

    Sedangkan ACAM2000 adalah vaksin cacar generasi kedua yang disetujui oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat. Vaksin ini digunakan secara terbatas untuk individu dengan risiko paparan tinggi termasuk petugas kesehatan.

    Menurut Arif, tidak ada unsur eksperimen dalam distribusi vaksin tersebut. Vaksin mpox telah melewati uji klinis yang ketat dan telah digunakan di banyak negara untuk menangani wabah mpox. 

    “Di Indonesia sendiri, vaksin Imvamune telah disalurkan sejak Oktober 2023 untuk kelompok berisiko tinggi, yang termasuk dalam strategi nasional pencegahan Mpox,” kata Arif yang masuk Top 2 Percent World's Scientist 2024 ini. 

    Semua vaksin yang digunakan dalam pencegahan mpox, baik Imvamune, LC16M8, maupun ACAM2000, telah melalui berbagai tahapan uji klinis yang ketat sebelum mendapatkan persetujuan untuk digunakan oleh badan regulasi internasional seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) di Amerika Serikat, Badan Kesehatan Dunia (WHO), dan badan kesehatan di negara-negara lain, termasuk Indonesia. 

    Fakta bahwa vaksin ini berasal dari penelitian yang sudah dilakukan sejak dekade sebelumnya membuktikan bahwa tidak ada proses terburu-buru atau eksperimen yang tidak terkontrol.

    Dalam konteks Indonesia, kata Arif, vaksin Imvamune didatangkan dengan ribuan dosis awal, dan saat ini pemerintah telah menyiapkan lebih banyak dosis untuk mendukung program vaksinasi bagi kelompok berisiko. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah menyetujui distribusi vaksin ini, memastikan bahwa vaksin yang digunakan memenuhi standar keamanan dan kualitas yang berlaku.

    Hal yang sama diungkapkan peneliti dan epidemiologis di Oxford University Clinical Research Unit Indonesia, Henry Surendra. Menurut dia, vaksin tersebut direkomendasikan WHO yang sudah terbukti aman dan efektif untuk penyakit cacar, tetapi kemudian dikembangkan dan diperluas penggunaannya untuk pencegahan mpox.

    “Jadi dasar dan bukti ilmiahnya memang sudah ada. Hanya saja penggunaan vaksin tersebut direkomendasikan bagi kelompok berisiko tinggi untuk tertular Mpox, dan dalam konteks outbreak/kejadian luar biasa,” kata Henry kepada Tempo, kemarin.

    Vaksin untuk Kelompok Berisiko Tinggi 

    Salah satu informasi yang juga sering disalahpahami adalah anggapan bahwa vaksin mpox akan diberikan kepada seluruh masyarakat. Pada kenyataannya, vaksin ini tidak diberikan secara massal melainkan ditargetkan kepada kelompok tertentu yang dianggap beresiko tinggi terhadap penularan mpox. Di Indonesia, vaksin ini diberikan kepada:

    - Orang yang melakukan kontak erat dengan pasien mpox terkonfirmasi, termasuk anggota keluarga atau rekan sekamar.

    - Petugas kesehatan yang terlibat dalam perawatan pasien mpox atau dalam kontak langsung dengan sampel pasien.

    - Pria yang melakukan hubungan seksual dengan pria (MSM), terutama mereka yang memiliki banyak pasangan, karena pola penyebaran penyakit ini lebih mudah terjadi dalam jaringan sosial yang kecil dan terhubung erat.

    Penting untuk ditekankan bahwa walaupun sebagian besar kasus mpox yang terlapor adalah di antara pria yang berhubungan seks dengan pria, penyakit ini tidak eksklusif untuk kelompok tertentu saja. Mpox dapat menular ke siapa saja yang melakukan kontak kulit dekat dengan orang yang terinfeksi, baik melalui hubungan seksual maupun kontak fisik lainnya.

    “Oleh karena itu, menyebut penyakit ini sebagai "penyakit LGBT" adalah salah dan berpotensi menimbulkan stigma yang tidak berdasar,” tegas Arif.

    WHO merekomendasikan vaksinasi bagi orang-orang yang berisiko tinggi terkena mpox saat terjadi wabah, seperti petugas kesehatan atau orang yang pernah melakukan kontak dengan pengidap mpox. Selama wabah, WHO juga merekomendasikan vaksinasi untuk anak-anak yang berisiko tinggi terpapar.

    Wisatawan yang mungkin berisiko, berdasarkan penilaian risiko individu oleh penyedia layanan kesehatan mereka, mungkin ingin mempertimbangkan vaksinasi.

    Baik sudah divaksin atau belum, tetap berhati-hati agar tidak tertular dan menyebarkan mpox. Hal ini karena diperlukan waktu beberapa minggu untuk mengembangkan kekebalan setelah vaksinasi dan karena beberapa orang mungkin tidak memberikan respons penuh terhadap vaksinasi. Bagi mereka yang tertular mpox setelah vaksinasi, vaksin tersebut tetap melindungi dari penyakit parah dan rawat inap.

    Kesimpulan



    Berdasarkan hasil pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan bahwa klaim vaksin Mpox sebagai vaksin eksperimental adalahkeliru. 

    Vaksin tersebut sudah melewati uji klinis yang ketat dan sudah mendapat rekomendasi dari lembaga berwenang dunia seperti WHO.

    Rujukan

    • Tempo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini