• HEADLINE: Akses Medsos Dibatasi Pasca-Aksi 22 Mei, Efektif Redam Hoaks?

    Sumber:
    Tanggal publish: 30/07/2019

    Berita

    Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan membatasi akses dan fitur media sosial dan aplikasi pesan guna mencegah penyebaran hoaks dan konten provokasi terkait aksi 22 Mei agar tak memperkeruh situasi.

    Adapun media sosial yang dibatasi adalah Facebook dan Instagram, serta aplikasi pesan yakni WhatsApp.

    Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyatakan, pembatasan fitur download dan upload foto dan video dilakukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan aksi unjuk rasa. Sebab, pesan foto dan video dirasa lebih menyentuh emosi ketimbang pesan teks.

    "Di media sosial dan messaging system, kadang kita posting gambar, video itu viralnya cepat dan secara emosional langsung berdampak pada kita. Oleh karenanya kita nonaktifkan fitur (gambar dan video)," ungkap pria yang akrab dipanggil Chief RA tersebut.

    Hasil Cek Fakta

    Tindakan ini diambil setelah berdiskusi dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. "Negara tidak boleh kalah dengan aksi jahat semacam ini. Negara harus melindungi segala bangsa, warga negara tumpah darah Indonesia," kata Wiranto dalam jumpa pers di Gedung Kemenko Polhukam, Rabu, 22 Mei 2019.

    Pemerintah sengaja tak menutup sarana komunikasi masyarakat secara keseluruhan, melainkan hanya melakukan pembatasan agar masyarakat bisa tetap bisa berkomunikasi.

    Keputusan Tepat

    Pengamat politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mengatakan, langkah pemerintah membatasi akses dan fitur media sosial sudah tepat untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi saat aksi 22 Mei.

    "Saya kira tujuannya oleh pemerintah baik ya untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi, karena ada berbagai kreatifitas seolah-olah kejadian padahal tidak," kata Emrus saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Jumat (24/5/2019).

    Sejauh ini, dia menilai, pembatasan penggunaan media sosial cukup efektif dalam memutus penyebaran hoaks dan konten-konten negatif.

    Meski ada warganet yang menginstal aplikasi VPN (virtual private network) agar bisa tetap mengakses media sosial, namun kebijakan ini membuat penyebaran hoaks tidak semasif sebelum adanya pembatasan.

    "Untuk ngerem, saya kira efektif. Hoaks dan konten provokatif tidak menyebar masif, karena orang-orang yang menyebarkan hoaks jadi berhenti kan," ucap Emrus.

    Imbas Pembatasan
    Namun, ia menilai pemerintah seharusnya bisa menyeleksi dan tidak membatasi medsos secara menyeluruh. Sehingga, mereka yang tidak menyebarkan hoaks, tidak ikut terkena imbas. Sebab, pembatasan medsos ini telah merugikan masyarakat, termasuk yang memanfaatkan medsos untuk berdagang.

    "Saya kira pembatasan medsos itu jangan digeneralisasi. Misal buat dagang atau klarifikasi hoaks, tapi ternyata kenyataannya jadi kena semua pembatasan medsos," terang Emrus.

    Untuk itu ke depan, dia menyarankan agar pemerintah memilik instrumen atau alat yang bisa mengidentifikasi akun medsos yang berpotensi menyebarkan hoaks dan konten negatif. Sehingga jika ada akun yang teridentifikasi menyebar hoaks terus menerus, pemerintah bisa langsung bertindak tegas. Misalnya dengan memblokir atau menutup permanen.

    "Bila perlu dilakukan secara permanen, diblokir atau di-take down. Tetapi yang saya kritisi adalah pembatasan ini berlaku untuk semua. Jadi ada sebagian yang nakal, mayoritas yang baik jadi kena," tambah Emrus.

    Jalan Terbaik

    Pengamat Media Sosial Indonesia, Enda Nasution sependapat dengan Emrus bahwa pemerintah seharusnya tidak perlu membatasi sosmed secara menyeluruh dan lebih tepat sasaran ditujukan pada nomor-nomor yang terdeteksi menyebarkan hoaks dan konten provokatif. Tapi melihat situasi yang memanas dan dibutuhkan keputusan yang cepat, pembatasan media sosial merupakan jalan terbaik.

    "Mungkin yang dilakukan bisa lebih baik, misalnya mengidentifikasi nomor-nomor telepon yang menyebarkan informasi provokatif. Akan tetapi, melihat kondisi kemarin, mungkin pemerintah memiliki informasi intelijen yang menganggap langkah pembatasan media sosial itu adalah jalan terbaik," tutur Enda saat dihubungi Liputan6.com.

    Menurut dia, langkah pemerintah membatasi akses media sosial merupakan langkah yang cukup tepat untuk menghindari provokasi dan hoaks semakin meluas. "Provokatif itu berbahaya, karena banyak video lama dengan narasi baru yang memprovokasi orang untuk ikut bergabung melakukan unjuk rasa," tutur Enda.

    Namun demikian, Enda menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi secara terus menerus dan berharap pembatasan akses ini tidak berkepanjangan.

    Rujukan

    • Liputan 6
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • Pamit Reunian, Abdul Aziz Tewas di Kerusuhan 22 Mei

    Sumber:
    Tanggal publish: 22/05/2019

    Berita

    Apakah aparat membunuh 6 korban kerusuha 22 mei?

    Hasil Cek Fakta

    PANDEGLANG – Seorang anggota Front Pembela Islam (FPI) Pandeglang yang turut serta dalam aksi penolakan hasil pemilu curang dikhabarkan tewas di wilayah Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (22/5) dini hari.

    Korban diketahui bernama Abdul Aziz (17) Laskar FPI warga Kampung Rocek Barat, Desa Rocek, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang.

    Johani orangtua korban menuturkan bahwa korban memang pamit mau ke Jakarta untuk bertemu saudaranya dan dilanjutkan reuni bersama temannya.

    Johani menuturkan bahwa anaknya itu santri di salah satu pondok pesantren di Kuningan, Jawa Barat.

    “Mondok di kuningan. Kan dari pesantren dia ga pernah kemana-mana, cuman mondok doang ga kerja. Cuman dia bilang mau ke Jakarta mau reunian sama kawan-kawannya,” tutur Johani kepada wartawan di rumah duka, Rabu (22/5/2019).

    Lanjut Johani, sebelum berangkat ke Jakarta pada Senin (21/5/2019) kemarin memang korban sempat meminta izin dan memohon do’a pada mereka, namun tidak menyebutkan bahwa korban hendak ikut aksi unjuk rasa.

    “Berangkatnya dia sendirian kemarin dari sini jam 9. Izin katanya mau ke Jakarta mau ngelongok abang sama adeknya di Jakarta cuma itu doang, Dapat kabar tadi pagi dari Pak Lurah,” ujarnya.

    Menurut keterangan keluarga saat ini jasad korban masih berada di Rumah Sakit Kramat Jati Jakarta Timur. Keluarga berharap jasad korban bisa segera dibawa pulang untuk dimakamkan.

    “Jasad korban katanya masih di rumah sakit, katanya tadi mau dikembalikan gak bisa dicabut katanya harus ada yang bertanggung jawab padahal sudah ada keluarganya di sana. Keinginan kami kalau boleh mau langsung dibawa aja, cuman itu doang,” terangnya. (haryono/tri)

    Rujukan

    • Mafindo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [SALAH] Pengumuman KPU Sebelum tanggal 22 Mei Tidak Sah

    Sumber:
    Tanggal publish: 30/07/2019

    Berita

    Beredar gambar dengan narasi yang menyebutkan bahwa penetapan hasil pemilu dan pilpres 2019 pada 21 Mei 2019 dini hari adalah tidak sah. Salah satu penyebarnya adalah akun OlloNg Roji’in Ahmad ( facebook.com/ollong.ahmad ) di grup Penggemar Rocky Gerung (facebook.com/groups/973608109430611 ).

    Narasi lengkap sebagai berikut :

    “Pengumuman kpu tadi malam TIDAK SAH karena :
    1. Dilakukan sebelum waktu penetapan yang sebenarnya yaitu tgl 22 Mei 2019.
    2. Perubahan waktu pengumuman dari tgl 22 ke 21 Mei tidak pernah diinformasikan secara tertulis dan terbuka kepada kedua paslon.
    3. Perubahan waktu itu tanpa persetujuan kedua paslon.
    Untuk itu :
    1. Pengumuman wajib diulang pada tgl sesuai penetapan awal yaitu tgl 22 Mei 2019.
    2. Adakan rapat terbuka dan disiarkan oleh tv.
    Bila tidak :
    1. Pemilu dianggap batal.
    2. Paslon 01 di diskualifikasi dan KPU dibubarkan serta diproses hukum.
    3. Paslon 02 otomatis dinyatakan sebagai pemenang.”

    Hasil Cek Fakta

    PENJELASAN

    Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur batas waktu pengumuman hasil pemilu oleh penyelenggara pemilu. Aturan itu tertuang dalam Pasal 413 ayat 1 yang berbunyi:

    KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara Pasangan Calon, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 35 (tiga puluh lima) hari setelah hari pemungutan suara.

    Ketentuan paling lambat 35 hari tersebut jatuh pada 22 Mei 2019. Artinya, KPU punya batas waktu sampai tanggal 22 Mei 2019 untuk menetapkan hasil Pemilu secara nasional beserta hasil perolehan suara pasangan calon dan partai politik.

    Dengan demikian, penetapan rekapitulasi hasil pemilu 2019 oleh KPU pada 21 Mei 2019 sekitar pukul 02.00 WIB, masih berada dalam rentang waktu yang ditetapkan undang-undang.

    Melalui akun resminya di Twitter, KPU RI telah menjawab narasi yang berkembang di media sosial tersebut.

    “KPU tetapkan hasil pemilu sudah sesuai amanah UU No.7 Tahun 2017. Tanggal 22 Mei 2019 adalah batas akhir, dan penetapan tanggal 21 Mei 2019 sudah sesuai jadwal, bahkan lebih cepat sehari dari batas akhir,” tulis KPU.

    KPU tetapkan hasil pemilu sudah sesuai amanah UU No.7 Tahun 2017. Tanggal 22 Mei 2019 adalah batas akhir, dan penetapan tanggal 21 Mei 2019 sudah sesuai jadwal, bahkan lebih cepat sehari dari batas akhir #KPUmelayani#Pemilu2019pic.twitter.com/PFXLnK4HON

    Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra mengatakan tidak ada yang aneh dengan pengumuman perolehan suara Pemilu 2019 yang berlangsung pada dini hari tadi. Ia menjelaskan hal itu terjadi lantaran proses rekapitulasi suara tingkat nasional baru selesai dini hari.

    “Tidak ada yang janggal. Ketentuan undang-undang (pengumuman perolehan suara) paling lambat 35 hari (setelah pencoblosan), jatuhnya tanggal 22 Mei 2019. Tapi karena rekap provinsi dan luar negeri sudah selesai, maka kami tuntaskan malam tadi,” katanya lewat pesan singkat kepada Tempo, Selasa, 21 Mei 2019.

    Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan KPU, pasangan calon nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf mendapat 85.607.362 suara atau sebesar 55,50 persen. Sedangkan, pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mendapat 68.650.239 suara atau sebesar 44,50 persen. Adapun, total jumlah sah pada pemilu presiden 2019 mencapai 154.257.601.

    Setelah ditetapkan, KPU memberikan waktu 3×24 jam kepada peserta pemilu untuk mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika dalam waktu 3×24 jam atau hingga tanggal 24 Mei tidak ada yang mengajukan sengketa, maka KPU mempunyai waktu tiga hari untuk menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden serta penetapan perolehan suara parpol dan para calegnya.

    Disetujui dua saksi paslon

    Kedua saksi pasangan calon presiden 2019 dan beberapa saksi dari partai politik peserta pemilu 2019 hadir dalam rekapitulasi hasil pemilu oleh KPU pada 21 Mei dini hari. Bahkan menurut Komisioner KPU, Ilham Saputra, proses yang berlangsung hingga dini hari tersebut turut dihadiri saksi dari para peserta pemilu, termasuk perwakilan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

    Menurut Ilham, rapat pleno penghitungan suara yang berlangsung hingga malam dan tidak diskors telah mendapat persetujuan dari seluruh pihak yang hadir. “Kan, disetujui oleh para saksi. Nggak ada pemaksaan. Semua sudah selesai rekap provinsi maupun luar negeri,” ujarnya seperti dilaporkan Tempo.

    Sejumlah media memberitakan, bahwa saksi dari kubu paslon 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kemudian menolak menandatangani hasil rekapitulasi tersebut.

    “Penolakan ini sebagai monumen moral bahwa kami tidak menyerah untuk melawan kecurangan, kebohongan, kesewenangan-wenangan, melawan ketidakadilan. Sekaligus pada saat bersamaan, juga untuk melawan tindakan apa saja yang akan mencederai demokrasi,” kata saksi dari kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Aziz Subekti di ruang sidang KPU, Jakarta Pusat, Selasa 21 Mei 2019.

    Selain itu, sejumlah saksi dari partai politik juga menolak hasil rekapitulasi KPU untuk pemilihan legislatif. Beberapa partai yang menyatakan menolak hasil rekapitulasi pemilu legislatif adalah, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Berkarya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerindra.

    Saksi dari Partai Amanat Nasional Fikri Yasin mengatakan partainya menolak menandatangani hasil pileg untuk Provinsi Papua karena masih ada daerah pemilihan yang masih dipermasalahkan. “Jadi sebagaimana ada teman yang lain, kami belum bisa tanda tangan,” kata Fikri.

    Rujukan

    • Mafindo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini

  • [HOAKS] Data Resmi TNI Tunjukan Kemenangan Prabowo Pada Pilpres 2019

    Sumber: Sosial Media
    Tanggal publish: 30/07/2019

    Hasil Cek Fakta

    Beredar Artikel di blog dan media sosial bernama pettrok.blogspot.com yang diberi judul “Menurut Data Resmi TNI, Prabowo Sudah Menang, Tidak Perlu Ada Pemilu Ulang!”.

    Setelah ditelusuri foto tersebut pada alamat situs milik TNI Angkatan Darat yakni tniad.mil.id. Dalam artikel milik TNI AD tersebut dijelaskan bahwa Korem 162/WB siap membantu pengamanan dalam Pemilu, baik Pemilihan Legislatif maupun Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 di wilayah Nusa Tenggara Barat. Hal tersebut disampaikan oleh Danrem 162 Kolonel Czi Ahmad Rizal Ramdhani, saat melaksanakan kunjungan kerja ke Komisi Pemilihan Umum KPU Provinsi NTB pada Minggu 6 Januari 2019.

    Rujukan

    • Mafindo
    • 1 media telah memverifikasi klaim ini